Menyusuri Jejak Hukuman Mati di Indonesia

Menyusuri Jejak Hukuman Mati di Indonesia

 

Jakarta, CNN Indonesia — Infeksi saluran pernapasan atau tuberculosis (TB) mengantarkan terpidana mati Bahar bin Matar ke tempat peristirahatan terakhir, pada 12 Agustus 2012 sekitar pukul 18.54 WIB. Bahar divonis mati, pada 5 Maret 1970, dalam kasus pembunuhan di Tebilahan, Riau.

Vonis mati yang telah ditetapkan Pengadilan Negeri Bengkalis, Tembilahan, Indragiri Hilir, itu tak kunjung dieksekusi. Bahar sempat mengajukan grasi tahun 1973, namun ditolak. Grasi kedua kembali dia sampaikan, pada 1990, namun hingga dia meninggal dunia di RSUD Cilacap, Jawa Tengah, pengajuan grasi Bahar tak berbalas.

Kematian Bahar di tengah penantian panjang menghadapi regu tembak membuat kontroversi hukuman mati semakin mengemuka. Bahar harus meregang nyawa setelah 42 tahun berada di balik jeruji besi tanpa kepastian atas eksekusi mati.
 

Mereka yang kontra terhadap vonis mati menyebut, Bahar telah menjalani tiga hukuman sekaligus dalam satu waktu: hukuman mati, hukuman penjara selama 42 tahun, dan hukuman psikologis.

Berbagai argumentasi memang saling sahut menyahut dalam kontroversi hukuman mati yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia. Mereka yang pro hukuman mati bersepakat bahwa vonis itu patut diterima para terdakwa yang melakukan kejahatan besar sebagai bentuk keadilan bagi korban.

Tujuannya adalah menghukum pelaku kejahatan dan membuat orang lain takut melakukan kejahatan serupa lantaran hukuman mati mengancam kehidupan mereka. Ditambah lagi, hukum Indonesia memang menganut hukuman mati.

Apalagi jika mendengar kasus kekerasan seksual berujung pembunuhan yang terjadi pada anak di bawah umur. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan sampai menyebut bahwa pembunuh anak di dalam kardus, yang terjadi baru-baru ini, layak dihukum mati.

Bagi yang kontra, argumentasi yang dibangun adalah bahwa keadilan ditegakan tidak harus dengan mengakhiri hidup para pelaku kejahatan; vonis mati meniadakan kesempatan pelaku kejahatan untuk memperbaiki perilaku; melanggar hak hidup orang lain; dan melukai rasa keadilan masyarakat.

Memenuhi “rasa keadilan” memang seringkali sulit dicapai. Kematian Bahar yang menanti eksekusi selama 42 tahun merupakan salah satu persoalan. Permasalahan lain terjadi baru-baru ini.

Eksekusi mati gelombang kedua yang dilakukan pada 29 April 2015 juga menyulut kontroversi ketika Martin Anderson, pemilik 50 gram heroin, menjadi salah satu terpidana yang didor regu tembak. Adalah kasus gembong narkotik Hillary K Chimezie yang dianggap mengusik “rasa keadilan” atas eksekusi Anderson kala itu.

Alasannya, Chimezie yang divonis bersalah atas penyelundupan 5,8 kilogram heroin tahun 2003 malah melenggang bebas dari jerat vonis mati dan hanya diganjar dengan hukuman 12 tahun penjara. Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Chimezie atas vonis mati yang ditetapkan Pengadilan Negeri Tangerang diterima Hakim Agung saat itu.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut hukuman mati sebagai hukuman paling tidak beradab dalam sejarah manusia yang dipraktikan di Indonesia. Tahun 2015, Kejaksaan Agung telah memerintahkan eksekusi mati dalam dua tahap yaitu enam terpidana mati pada 18 Januari dan disusul delapan terpidana pada 29 April.

Laporan Amnesty International pada 2013 menyebutkan, eksekusi mati memang mengalami peningkatan jumlahnya dibanding tahun 2012. Negara yang banyak melakukan eksekusi mati yaitu China, Iran, Irak, Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Penerapan vonis mati di Indonesia pernah mendapat perlawanan ketika sejumlah warga negara asing dan warga negara Indonesia bersama-sama mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, yang kini diubah menjadi UU Nomor 35 tahun 2009.

Namun permohonan para pemohon untuk menghapuskan hukuman mati ditolak dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi yang kala itu diketuai Jimly Asshihddiqie, 30 Oktober 2007.

Perlawanan menggagalkan vonis mati kembali dicoba ketika dua terpidana mati kasus pencurian dengan kekerasan di Karimun, Riau, kembali mengajukan uji materi hukuman mati pada Februari 2012. Mereka menguji Pasal 365 ayat 4 KUHP yang menyebut ancaman pidana mati bagi perbuatan yang menyebabkan kematian. Usaha itu kembali kandas.

Menyambut peringatan Hari Antihukuman Mati Internasional yang dihelat setiap tanggal 10 Oktober, para pegiat hak asasi manusia (HAM) kembali meneriakan penghapusan hukuman mati. Yang hingga saat ini, masih mendapat penolakan dari pemerintah. Hukuman mati masih membayangi pelaku kejahatan berat di Indonesia.