SDGs dan Penegakan Hukum

SDGs dan Penegakan Hukum

 

Berbagai pemimpin dunia dan kelompok masyarakat sipil bergeliat dengan pengesahan Target Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals [SDGs] pada 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbagai pemimpin dunia, hadir menyatakan dukungan, berlomba memberikan catatan untuk pelaksanaan SDGs 15 tahun kedepan, dimulai pada 1 Januari 2016 hingga sampai 2030. Meskipun beberapa di antaranya merengek soal ketidakmampuan pembiayaan untuk program global ini. Pada angka 16 dari SDGs tercantumkan agenda Perdamaian, Keadilan dan Akuntabilitas. Agenda ini, dengan agenda lainnya, sangat relevan bagi Indonesia dan bagi dunia. Namun demikian, SDGs ini masih penting untuk dikawal lebih jauh agar tidak menjadi agenda kosmetik saja. 

 

SDGs adalah kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah diterapkan sejak tahun 2000, 15 tahun lalu. Namun, SDGs sekaligus kritik atas MDGs. Ketika berakhir, 2015, MDGs masih gagal menjawab persoalan kemiskinan, buta huruf, kematian pada Ibu saat melahirkan. Negara-negara berkembang masih dijadikan tempat sampah bagi negara maju. Pengambilan alihan lahan masyarakat adat makin meluas oleh perusahaan-perusahaan, kecil maupun besar. Pangan menjadi komoditi bisnis dan para perusahaan. Negara-negara berkembang tidak berdaulat atas ketahanan pangan, akses air bersih dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perang masih berkecamuk, migrasi massal tak terhindarkan, hingga Eropa dan Amerika Serikat menuai imbasnya. Ketimpangan ini menjulur pada ketimpangan ekonomi, informasi dan akses keadilan yang semakin buruk. MDGs gagal menanggulangi kondisi kemanusiaan. 

 

Dalam perspektif hak asasi manusia, terdapat satu prinsip yang tercantum dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, bernama Progressive Realisation. Dalam prinsip ini, singkatnya, bahwa upaya pemenuhan atau realisasi hak asasi haruslah beranjak maju dan membaik. Sumber-sumber daya yang dikuasai oleh negara harus digunakan secara baik dan bijaksana untuk menopang pembangunan manusia. Bukan untuk kekayaan hanya segelintir orang saja apalagi sampai merusak. Indonesia sendiri dan juga banyak negara lain sudah meratifikasi Kovenan diatas. Akan tetapi masih saja MDGs berujung gagal. Prinsip hak asasi manusia, tidak diakomodatif dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. 

 

Lalu, kedepannya akankah Indonesia berkontribusi pada adanya kesuksesan SDGs? Apakah SDGs akan memperbaiki kondisi kemanusiaan di Indonesia? 

 

SDGs adalah agenda bersama negara-negara, yang tergabung dalam PBB, untuk melakukan pembangunan yang berorientasi pada upaya penyusutan ketimpangan diberbagai sektor (Ekonomi, Sosial, Hukum dan lain-lain). SDGs berisi 17 butir (dengan 169 target) program untuk menyusutkan ketimpangan. Program-program tersebut memerangi kemiskinan, kelambatan pendidikan bagi orang miskin, akses air, problem lingkungan hidup, dan lain-lain. Dengan daftar besar ini, diatas kertas kita perlu optimis bahwa SDGs bisa menjawab persoalan-persoalan pembangunan yang tidak tepat, sewenang-wenang, koruptif dan tidak melibatkan masyarakat. Namun demikian kehati-hatian tetap perlu ditempatkan secara berimbang. Misalnya, mengambil catatan evaluasi atas program MDGs, bahwa program-program ini diadopsi hanya melalui sebuah resolusi, bukan sebuah instrumen pengikat secara hukum yang bisa memaksa dan menghukum atas perilaku buruk dalam pelaksanaan program. Atau, sebagai pemaksa untuk mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan program pembangunan. 

 

Menarik untuk melihat agenda nomor 16, soal Keadilan dan Akuntabilitas. Agenda nomor 16 ini bisa diadopsi berkat proses partisipasi masyarakat selama masa penyusunannya. Masyarakat sipil mendapatkan ruang di tingkat global untuk masuk dalam evaluasi, kritik dan menambahkan poin-poin soal akuntabilitas ini. 

 

Agenda 16 menyatakan komitmen bahwa “Mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan, ketersediaan access ada keadilan bagi semua orang dan membangun institusi yang efektifitas, akuntabel dan inklusif di segala tingkatan”. Agenda ini memiliki 10 target; yang bisa dikategorikan kedalam tiga hal,pertama, soal menurunkan kejahatan dan jumlah korbannya serta kebijakan yang salah; kedua, menegaskan jaminan hak dasar setiap orang dan aturan main hukum serta pelaksanaannya; ketiga, memperkuat kapasitas institusi negara menjadi akuntabel, transparan dan responsif. 

 

Pembangunan hukum d itingkat nasional menjadi penting mengingat SDGs memiliki bakat kegagalan yang sama dalam kacamata hukum international, yaitu berbasis resolusi (Adopsi SDGs ini dituangkan dalam bentuk resolusi PBB, A/RES/70/1 dengan judul “Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development”) tanpa kekuatan mengikat. Untuk menguji komitmen, pemerintah Indonesia harus menegaskan di tingkat nasional aturan main hukum dan penegakannnya.

 

Agenda nomor 16 diatas adalah bagian dari program SDGs, dimana pemerintah Indonesia juga sudah berkomitmen melaksanakannya, sebagaimana pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sidang PBB “Adopsi Agenda Pembangunan paska 2015”, “[…] Indonesia siap untuk bekerja bersama dalam memastikan agenda pembangunan paska 2015 tidak hanya sebagai mimpi, akan tetapi menjadi kenyataan” [Oktober 2015]. Untuk itu, tidak ada kata lain untuk memastikan program pembangunan adalah pembangunan hukum yang juga mengandung arti sebaliknya, bahwa hukum juga harus diterapkan untuk menghakimi kesalahan pembangunan dari SDGs ini. seperti perampasan tanah rakyat, perusakan lingkungan, pemusnahan komunitas adat, pemiskinan perempuan, penurunan kualitas pendidikan, dan lain-lain. 

 

Sebaliknya, jika Indonesia resisten dan mengingkari pernyataan Wakil Presiden, menolak SDGs ini atau memandang sebelah mata, patut diduga bahwa Indonesia memang hanya bersolek di mata Internasional, tapi khawatir dengan muatan SDGs yang pro pada kemanusiaan dan keadilan. Walhasil Indonesia bisa menjadi satu barisan dengan negara-negara miskin dan bermentalitas miskin mengatasnamakan anti negara barat, hanya mengkritik SDGs tanpa melaksanakan. 

 

Haris Azhar

Koordinator KontraS

 

Artikel ini dipublikasikan oleh SATUHARAPAN.COM