Kontras: Pemidanaan Kerap Dipaksakan di Indonesia

Kontras: Pemidanaan Kerap Dipaksakan di Indonesia

 

JAKARTA – Desakan agar pemerintah segera menetapkan agenda moratorium ataupun abolisi hukuman mati kembali dimunculkan bertepatan dengan peringatan hari antihukuman mati pada 10 Oktober 2015. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menginginkan praktik hukuman mati dihindari. Itu karena selama ini mekanisme penegakan hukum di Indonesia masih tidak transparan dan sering muncul pemidanaan yang dipaksakan tanpa diikuti standar peradilan yang jujur dan adil.
 
Putri Kanesia dari Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras menegaskan, kekhawatiran akan munculnya rekayasa kasus tetap ada selama proses hukum belum berjalan dengan benar, salah satunya lewat penyiksaan. "Makanya pemerintah harus mengkaji dan mengevaluasi kembali vonis mati. Jangan sampai mereka yang divonis mati adalah orang-orang yang justru tidak bersalah. Masih banyak pelanggaran dan rekayasa kasus yang terjadi, khususnya untuk mereka yang kemudian divonis mati," ujarnya di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Jumat (9/10).
 
Disebutkan Putri, berdasarkan advokasi yang selama ini dilakukan Kontras, hingga saat ini sering kali hukuman yang diterapkan sangat tidak adil karena penuh subjektivitas. Sayangnya itu terjadi semenjak proses penyidikan, terutama untuk kasus narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana. 
 
"Selama ini keterangan dalam pemeriksaan penyidik didapat mayoritas hanya dari keterangan terdakwa. Masih minim pendapat ahli, saksi yang mencukupi. Akses bantuan hukum pun minim didapatkan oleh terdakwa. Poinnya, ketika ada tersangka yang terbukti, harusnya diproses secara benar. Jangan sampai ada rekayasa kasus," ucapnya.
 
Putri mengatakan, adanya dugaan pemidanaan yang dipaksakan ini salah satunya dialami Yusman Telambanua dan Rasula Hia pada kasus kejahatan dugaan pembunuhan berencana di Nias sehingga berujung pada hukuman mati. Ia mengatakan, proses penyidikan di Kepolisian Sektor Gunungsitoli Nias diduga dilakukan dengan penuh tekanan dan penyiksaan. Selama pemeriksaan, ia pun tak didampingi kuasa hukum.
 
"Yusman kemudian harus menandatangani berita acara perkara (BAP) di bawah tekanan; sebab diketahui juga Yusman tidak bisa membaca tulisan bahasa Indonesia maupun cakap berbicara bahasa nasional," ujarnya.
 
Ia juga mengingat kasus Ruben Pata Sambo dalam kasus pembunuhan berencana di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, di tahun 2005 yang juga mengindikasikan adanya rekayasa kasus. "Ada penyiksaan dalam pemeriksaan sehingga kemudian berefek pada hukuman mati. Kita ingat pula Rodrigo Gularte yang dieksekusi mati di gelombang kedua lalu," kata Putri.
 
Di tempat yang sama, Arif Nur Fikri menyebutkan sepengetahuan pihaknya, dalam hal ini Kontras, ketidaktransparanan dalam pemeriksaan di tingkat penyidik sering kali menghadirkan proses hukum yang cacat. Oleh karena itu, ia berharap untuk masa mendatang, setiap hakim harus dapat menggali lebih dalam bagaimana proses pemeriksaan yang dilakukan para penyidik. 
 
"Rata-rata mereka yang mendapatkan penyiksaan di tingkat penyidikan, dalam persidangan hampir semuanya mencabut kesaksiannya dalam BAP. Hal itu memunculkan pertanyaan, apakah proses pemeriksaan itu telah berlangsung benar," tutur Arif.
 
Kepala Biro Riset Kontras, Puri Kencana Putri, berkata dua gelombang eksekusi terhadap 14 terpidana mati yang dilakukan bulan Januari dan Mei 2015 merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan jika persoalan hukuman mati masih sering digunakan pemerintah guna menegakkan hukum. Padahal, ada problem penegakan hukum dan juga bagaimana polisi memaksakan kesaksian. 
 
"Terdapat situasi global; praktik barbar tersebut tidak efektif baik dalam memberikan efek jera, menjamin rasa aman, atau bahkan untuk mengevaluasi kinerja aparat penegak hukum di banyak negara," ujarnya.