SURAT TERBUKA: Pengesahan dan Pemberlakuan Peraturan Gubernur No 228 Tahun 2015 Merupakan Bentuk Pelanggaran Serius terhadap Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat

No        : /SK-KontraS/XI/2015

Hal       : Pengesahan dan Pemberlakuan Peraturan Gubernur No 228 Tahun 2015

              merupakan Bentuk Pelanggaran Serius terhadap Hak atas Kebebasan

              Berekspresi dan Berpendapat

Kepada Yang Terhormat,
Basuki Tjahaja Purnama
Gubernur Provinsi DKI Jakarta

Di Tempat

Dengan Hormat,

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dengan tegas menolak pemberlakuan Peraturan Gubernur (Pergub) provinsi DKI Jakarta Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, yang disahkan pada 28 Oktober 2015. Keberadaan Pergub tersebut tidak saja telah mencederai hak asasi warga Negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum yang selama ini telah dijamin oleh konstitusi, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah semakin anti-kritik dan abai terhadap segala bentuk aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui ruang publik.

Secara sepihak, Pergub menetapkan bahwasanya ada 3 (tiga)  lokasi yang dapat dipergunakan sebagai lokasi aksi unjuk rasa yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR / MPR RI dan Monumen Nasional [MONAS]. Lebih dari itu, Pergub ini juga secara terbuka mengundang kembali keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk terlibat dalam penanganan unjuk rasa dan tertib sipil (pasal 13 Pergub) melalui pembubaran paksa aksi unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum yang dinilai melanggar Pergub.

Pergub ini menunjukkan bahwa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tidak memahami perannya sebagai kepala daerah yang menjadi tuan rumah dari ibukota negara. Seluruh Lembaga Negara berskala nasional berdomisili di DKI Jakarta. Dengan demikian, Gubernur DKI Jakarta bertanggungjawab untuk menciptakan kondisi ibukota yang kondusif bagi setiap warganegara yang ingin menyampaikan aspirasinya ke lembaga-lembaga Negara tersebut. Namun Pasal 7 dari Pergub tersebut membatasi aspirasi dan mediasi hanya dapat dilakukan kepada instansi Pemerintah Daerah dan satuan kerjanya. Padahal aksi menyampaikan pendapat di DKI Jakarta tidak selalu hanya ditujukan kepada instansi Pemerintah Daerah saja. Hal ini menciptakan penghalang bagi warganegara yang ingin menyampaikan aspirasinya kepada Lembaga-Lembaga Negara selain instansi Pemerintah Daerah yang berdomisili di DKI Jakarta.

Kami sangat menyesalkan pemberlakuan dan pengesahan Pergub tersebut diatas, mengingat kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan diakui oleh UUD 1945. Bahkan, seakan Gubernur DKI lupa bahwa Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU Menyampaikan Pendapat), khususnya di Pasal 2 Ayat [1] yang menyatakan bahwa “setiap warga Negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Kami juga menegaskan, bahwa Indonesia sebagai negara pihak dari Kovenan Internasional Untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR), melalui pengesahan UU No 12 Tahun 2005, seharusnya tidak bisa secara sewenang-wenang ataupun sembarangan dalam membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, mengingat Kovenan sendiri memberikan batasan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum dapat dibatasi apabila negara dalam keadaan darurat, membahayakan keselamatan bangsa dan negara.

Untuk itu, melihat dan mempertimbangkan situasi dan kondisi bahwa negara dalam masa transisi demokrasi, tidak dalam masa darurat dan tidak ada kondisi yang membahayakan kepentingan bangsa dan negara, maka pengesahan dan pemberlakuan Pergub No 228 Tahun 2015 jelas tidak dapat dibenarkan. Pergub ini bertentangan dengan UUD 1945, UU No 9 Tahun 1998 dan Kovenan Internasional untuk Hak Sipil dan Politik. Maka sudah semestinya Pergub ini batal atau dibatalkan demi keberlangsungan pemajuan demokrasi dan pemenuhan serta perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, sebagaimana disyaratkan dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dengan demikian, setelah mempelajari dan mempertimbangkan pengesahan serta pemberlakuan Pergub No 228 Tahun 2015 yang sangat membahayakan jaminan terhadap hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, kami mendesak:

Pertama, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama untuk segera mencabut Pergub No 228 Tahun 2015 dan menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat dari setiap warga negara dan seharusnya lebih berperan agar DKI Jakarta menjadi tempat yang kondusif bagi setiap warga negara menyampaikan pendapatnya kepada seluruh lembagadan pejabat negara.

Kedua, DPRD Provinsi DKI Jakarta, selaku lembaga perwakilan rakyat, sudah semestinya secara proaktif, segera meminta klarifikasi resmi kepada Gubernur, melalui mekanisme yang tersedia, untuk menghentikan praktik sepihak dan sewenang-wenang terhadap jaminan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum yang merupakan hak melekat dari setiap warga negara dan dijamin oleh UUD 1945.

Ketiga, Apabila Gubernur DKI menolak mencabut Pergub tersebut, maka kami sebagai masyarakat sipil akan segera mengajukan Uji Materil (Judicial Review) ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No 9 Tahun 1998, UU No 39 Tahun 1999 dan Kovenan Internasional Untuk Hak Sipil dan Politik.

Jakarta, 5 November 2015

Badan Pekerja KontraS,

Haris Azhar, SH, MA

Koordinator