Asap Dan Residu Hak Asasi: Jauhnya Pertanggungjawaban Negara Untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan Dan Melindungi Hak-Hak Dasar Warga Indonesia

Asap Dan Residu Hak Asasi:

Jauhnya Pertanggungjawaban Negara Untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan

Dan Melindungi Hak-Hak Dasar Warga Indonesia

Meski musim penghujan telah tiba, namun ruang pertanggungjawaban negara dan aktor negara tidak dapat menghapus kejahatan asap, praktik pembakaran hutan dan termasuk lambannya koordinasi aparatus-aparatus negara dalam melakukan fungsi pencegahan dan sekaligus penegakan hukum atas meluasnya praktik kejahatan korporasi di sektor kehutanan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui laporan HAM berjudul, ‘Asap dan Residu Hak Asasi: Jauhnya Pertanggungjawaban Negara untuk Menghukum Perusahaan Pembakar Hutan dan Melindungi Hak-Hak Dasar Warga Indonesia’ telah menemukan sejumlah pelanggaran hak-hak asasi yang patut diketahui publik. Laporan HAM ini ingin mempertegas berbagai pernyataan yang telah dikeluarkan oleh beragam insiatif masyarakat sipil guna mendorong agenda pertanggungjawaban dan sekaligus memperkuat akses publik untuk hak atas informasi terhadap sejumlah nama perusahaan, individu maupun keterlibatan aktor negara dalam mempertanggungjawabkan sejumlah pelanggaran yang telah dan masih terjadi.

Negara memang telah rutin memberikan informasi terkait (perluasan) titik api dan kondisi korban yang terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA); termasuk bekerja sama dengan jejaring media massa dalam menginformasikan langkah cepat pemerintah untuk meredam kebakaran hutan dan lahan (karhutla), baik yang diambil melalui Rapat Koordinasi Kementerian maupun implementasi Standar Operasional Prosedur Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) yang dirancang per September 2014. Namun KontraS tidak melihat adanya ruang koordinasi antar lembaga negara maupun langkah penanganan serius yang diambil guna memberikan suatu perlindungan yang utuh, khususnya perlindungan hak-hak dasar warga yang menetap di sekitar wilayah hutan dan lahan dan termasuk kelompok-kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan spesifik seperti perempuan (dan ibu hamil), anak-anak, lansia dan masyarakat hukum adat. Kondisi ini ditambah dengan gagalnya negara mendefinisikan suatu bentuk kedaruratan (khususnya yang beririsan dengan jaminan kesehatan publik) sebagaimana yang dijamin di dalam Pasal 4 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, maupun 2 prinsip internasional: Prinsip-Prinsip Siracusa (1985) dan Prinsip-Prinsip Johannesburg (1995) yang sebenarnya bisa dijadikan rujukan negara dalam menetapkan standar kedaruratan nasional dengan masa waktu dan evaluasi komprehensif.

 

Dalam konteks pelanggaran hak-hak asasi, terdapat sejumlah bentuk pelanggaran HAM yang dapat dicermati dengan seksama di sini:

Pertama, kondisi hidup dan kesehatan. Meski terdapat beberapa inisiatif progresif dari instansi negara (Kementerian Kesehatan) maupun pemerintah daerah seperti langkah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang telah merancang suatu penanganan kesehatan warga, namun langkah tersebut tidak diadopsi sebagai langkah penanganan ekses karhutla secara nasional. Dalam konteks ini, hak atas hidup yang telah diatur di dalam DUHAM (1948), ICCPR (1966) maupun UU No. 39/1999 tentang HAM riskan terlanggar. Pelanggaran tersebut menguat apalagi dengan ditemukannya korban jiwa sepanjang praktik pembakaran hutan dan asap terjadi di wilayah-wilayah rentan tersebut.

Kedua, kebebasan bergerak dan beraktivitas. KontraS mencatat bahwa imbas dari minimnya koordinasi penanganan pembakaran hutan dan asap di tingkat nasional dan kewilayahan telah berdampak pada kebebasan bergerak dan berpindah yang harusnya dinikmati oleh warga.  Keterbatasan warga untuk bergerak dan beraktivitas tentu saja akan memiliki dampak yang serius pada pemenuhan jaminan hak atas ekonomi dan pekerjaan yang layak sebagaimana yang diatur di dalam ICESCR (1966) Pasal 6 dan 7 yang harus dipenuhi secara progresif oleh negara.

Ketiga, hak atas pendidikan. Dampak lain dari minimnya mobilitas warga untuk bergerak dan beraktivitas adalah pemenuhan hak dasar atas pendidikan. Diketahui bahwa pemerintah daerah telah mengambil keputusan sepihak untuk meliburkan para siswa akibat fasilitas publik yang tidak tersedia dengan baik. Lambannya respons pemerintah untuk menetapkan situasi darurat maupun solusi yang diambil untuk tetap menjamin keberadaan akses pendidikan selama situasi karhutla dan asap terjadi mengakibatkan terlanggarnya Pasal 13-14 ICESCR (1966). Risiko potensial yang terjadi adalah tidak maksimalnya ruang belajar dan mengajar dari para siswa untuk menghadapi ujian semester.

Keempat, informasi penegakan hukum. Pernyataan yang dikeluarkan Menkopolkam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Polri untuk enggan membuka nama-nama perusahaan maupun individu-individu lainnya yang harus bertanggung jawab dalam kejahatan pembakaran hutan dan asap telah memberikan kerugian luar biasa kepada publik. Keengganan yang lebih dimotivasi oleh faktor ekonomi telah merendahkan semangat akuntabilitas sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dampaknya tentu saja, impunitas lebih condong menguat dan kejahatan serupa potensial terjadi tahun depan. Saat ini, KontraS telah melakukan korespondensi kepada beberapa Polda wilayah terdampak melalui mekanisme KIP demi memantau dan mengawal proses penegakan hukum pelaku pembakar hutan.

Kelima, perlindungan masyarakat hukum adat. Dari semua lapisan masyarakat yang menderita kerugian atas kejahatan pembakaran hutan dan asap di Sumatera dan Kalimantan, masyarakat hukum adat kerap tidak mendapatkan respons dan perlindungan maksimal. Setidaknya hanya 25% area hutan adat yang dikelola masyarakat hukum adat yang menetap di wilayah hutan hujan tropis dan dari total tersebut mayoritas menjadi wilayah kebakaran hutan. Mereka terpaksa mengungsi dan tercerabut dari akar tradisinya. ‘Pengusiran’ ini jelas melanggar komitmen Indonesia atas sejumlah instrumen HAM internasional (ILO Declaration 1989 No. 169, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi) maupun sejumlah instrumen hukum nasional lainnya (UU No. 39/1999 Pasal 6, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012) yang menjamin perlindungan masyarakat hukum adat, termasuk dari segala bentuk praktik pembangunan.

 

Untuk itu, KontraS mendorong hadirnya rangkaian kebijakan yang harus diambil, baik institusional maupun kolektif kelembagaan, dalam menghadirkan ruang pertanggungjawaban negara dan termasuk aktor-aktor non-negara sebagai berikut:

  1. Presiden menginstruksikan Kepala Kepolisian RI agar menyegerakan upaya penuntutan pidana terhadap individu (baik aktor negara dan non negara) termasuk perusahaan yang telah melakukan kerugian signifikan kepada seluruh warga Indonesia terkait dengan tindakan pembakaran hutan. Untuk itu, menjamin ketersediaan hak atas informasi adalah mutlak disediakan. Tidak boleh ada pejabat negara yang menggunakan dalih ‘informasi yang dikecualikan’untuk membatasi hak-hak publik. Informasi yang dikeluarkan akan membuka akses bagi masyarakat yang terkena dampak untuk secara langsung bisa melakukan gugatan atau tuntutan pertanggungjawaban atas kerugian atau dampak yang terjadi.
  2. Presiden RI harus segera memerintahkan kementerian terkait untuk melakukan sejumlah tindakan yang bersifat urgen maupun dalam jangka waktu menengah;
  3. Memerintahkan Menteri Kesehatan, untuk menyediakan secara gratis rumah sehat untuk setiap warga yang berada diwilayah dampak asap, dan obat-obatan yang bisa meminimalisir dampak buruk dan pengobatan akibat buruknya kualitas udara sampai setiap warga masuk dalam kategori sehat. Proses ini tidak bisa dibatasi oleh waktu.
  4. Memerintahkan Menteri Pendidikan untuk memastikan sekolah atau ruang belajar yang aman dan sehat dari asap, bagi setiap anak-anak, baik anak siswa yang bersekolah disekolah Negeri maupun swasta, tanpa kecuali.
  5. Memerintahkan Menteri Perhubungan untuk menyediakan alternatif moda transportasi yang bisa  memudahkan mobilitas warga baik untuk kegiatan usaha dan kerja ataupun untuk kebutuhan evakuasi akibat dampak buruk asap.
  6. Memastikan Pemerintah Daerah suportif pada kebijakan sektoral kementerian sebagaimana disebutkan di atas.
  7. Presiden melalui badan-badan negara terkait segera melakukan koordinasi untuk mendorong pemaksimalan bantuan dan kerjasama yang ditawarkan oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Persoalan asap di kawasan ini tidak bisa ditangani secara parsial dari tahun ke tahun, namun harus ada upaya solid dan konsolidatif untuk memberikan suatu pembatasan ruang gerak investasi kepada mereka (baca: perusahaan) yang terus melanggar hukum dan memberikan kerugian ekstrem terhadap lingkungan hidup dan hak-hak dasar warga.
  8. Presiden harus segera menginstruksikan aparatus di bawahnya untuk merancang suatu produk perundang-undangan yang bisa memberikan ruang transparansi dan pertanggungjawaban dari sektor bisnis dengan ukuran hukum nasional maupun standar HAM universal. Komitmen pemerintah pada agenda bisnis dan HAM akan mengalami hambatan jika kejahatan korporasi dalam bentuk pembakaran hutan masih terus tidak tertangani dengan komprehensif.

 

 

Jakarta, 9 November 2015

Badan pekerja KontraS

 

Haris Azhar, MA

Koordinator

 

Narahubung:

Puri Kencana Putri (Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi): +628175455229

Mulki Makmun (Biro Penelitian):  +6281361338235