Surat Terbuka Desakan Proses Penyelidikan dan Penyidikan Terkait Dengan Tewasnya Tahanan Polsek Lawalate a/n Sdr. Abudullah di RS Labuang Baji

No       : /SK-KontraS/XI/2015

Hal       : Surat Terbuka Desakan Proses Penyelidikan dan Penyidikan Terkait Dengan Tewasnya Tahanan Polsek Lawalate a/n Sdr. Abudullah di RS Labuang Baji

 

 

Kepada Yang Terhormat

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan

Irjen. Pol Pudji Harianto Iskandar

Di Tempat

 

Dengan Hormat

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), telah menerima informasi terkait dugaan penyiksaan hingga mengakibatkan meninggalnya Sdr. Abdullah, selanjutnya disebut sebagai korban, pada tanggal 08 November 2015, di Rumah Sakit (RS) Labuang Baji. Sebelumnya, korban dirawat selama 6 (enam) hari.  Berdasarkan keterangan dan bukti awal yang kami terima, kami menduga bahwa korban mengalami penyiksaan hingga berakibat korban meninggal dunia, yang diduga kuat dilakukan oleh anggota Resmob Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar, pada tanggal 30 Oktober 2015.

Berdasarkan informasi yang kami terima, peristiwa tersebut bermula ketika korban ditangkap oleh anggota Resmob Polrestabes Makasar pada tanggal 30 Oktober 2015 malam, terkait dengan tuduhan pencurian sepeda motor dan laptop. Diduga selama proses pemeriksaan, korban mengalami penyiksaan (pemukulan dan sayatan) karena tidak mengakui tindak pidana yang disangkakan. Setelah korban mengalami praktik penyiksaan oleh anggota Resmob Polrestabes Makassar, korban kemudian diserahkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Tamalate dan sempat ditahan selama 2 (dua) hari di dalam sel tahanan Polsek Tamalate, sebelum akhirnya pihak keluarga korban meminta izin kepada pihak Polsek, agar korban dapat dibawa ke rumah sakit, mengingat kondisi fisiknya yg melemah setelah ditahan.

Korban saat itu diketahui sudah dalam keadaan luka-luka di bagian wajah, seperti bekas sayatan silet pada bagian lengan dan paha serta luka pada bagian kaki korban. Korban kemudian dibawa oleh pihak keluarga ke RS Haji dan sempat mendapatkan perawatan selama 2 (dua) hari sebelum kemudian dipindahkan ke RS Labuang Baji hingga akhirnya korban meninggal dunia pada tanggal 08 November 2015, setelah sebelumnya korban sempat di rawat di RS Labuan Baji selama 6 hari.

Untuk itu, kami menegaskan bahwa atas peristiwa tersebut diduga kuat telah terjadi praktik penyiksaan, tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan wewenang terhadap Korban yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Tindakan – tindakan tersebut sebagaimana disebutkan diatas secara jelas telah menyalahi dan melanggar peraturan – peraturan perundang – undangan, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 33 ayat [1] “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”;

2. Undang Undang-Indang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 7: “Bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat“;

3. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 12 “Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi – instansi yang berwenang melakukan suatu penyidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di wilayah hukumnya”;

4. Peraturan Kapolri [Perkap] No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, diantaranya:

  • Pasal 5 ayat [1] “Instrumen perlindungan HAM yang perlu diperhatikan oleh setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas berdasarkan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi: v. hak untuk tidak disiksa” Ayat [2] “Bagian dari HAM yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun [non-derogable rights] adalah: b. hak untuk tidak disiksa”;
  • Pasal 7 “Setiap anggota Polri wajib memahami instrument internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan HAM, antara lain: e. Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat [CAT] Tahun 1984”;
  • Pasal 11 ayat [1] “Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: d. penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia; g. penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum [corporal punishment]; j. menggunakan kekerasanan/atau senjata api yang berlebihan”;

5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], Pasal 351 ayat [1] “Penganiyaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” ayat [3] “Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun”;

Terkait dengan peristiwa tersebut dan jika kematian korban ternyata terbukti akibat dari praktik – praktik penyiksaan yg dilakukan aparat kepolisian maka peristiwa ini semakin menambah banyak jumlah korban praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.

Berangkat dari keterangan tersebut diatas, kami mendesak pihak kepolisian, khususnya Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, untuk segera melakukan langkah-langkah hukum sebagai berikut:

Pertama, Kapolda Sulawesi Selatan segera memastikan  dan melaksanakan proses penyidikan secara transparan dan menyeluruh, terkait dengan dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan, berupa melakukan proses pemeriksaan terhadap anggota Resmob Polrestabes Makassar yang melakukan penangkapan terhadap korban maupun anggota Polsek Tamalate yang melakukan penahanan terhadap korban;

Kedua, Jika terbukti ada keterlibatan anggota kepolisian dalam penyiksaan hingga mengakibatkan kematian korban, maka kami mendesak Kapolda Sulawesi Selatan, untuk segera melakukan proses hokum (pidana) terhadap anggotanya yang terbukti melakukan praktik penyiksaan yang mengakibatkan korban meniggal dunia, serta melakukan proses hukum secara transparan, akuntabel dan profesional untuk memberikan efek jera terhadap anggotanya, agar didalam menjalankan tugas – tugas pemolisian tetap mengedepankan prinsip-prinsip HAM dan aturan hukum lainnya yang berlaku;

Ketiga, Mendorong lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kepolisian RI (Kompolnas), Komnas HAM RI dan Ombudsman RI untuk melakukan pemantauan maupun tindakan lain yang sesuai dengan kewenangannya, guna memastikan proses hukum terhadap para pelaku penyiksaan terus berlanjut.

Demikian pernyataan resmi tertulis ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

 

 

Jakarta, 09 November 2015

Badan Peerja

 

Chrisbiantoro, S.H., LLM

Wakil Koordinator Bid Advokasi

 

Tembusan:

  1. Kapolri
  2. Irwasum Mabes Polri
  3. Kabreskrim Mabes Polri
  4. Kadiv Propam Mabes Polri
  5. Komnas HAM
  6. Kompolnas
  7. Ombudsman
  8. LBH Makassar