Sikap Reaksioner Negara: Daur Ulang Rasa Takut, Sensor dan Pernyataan Bernada Kebencian

Sikap Reaksioner Negara:

Daur Ulang Rasa Takut, Sensor dan Pernyataan Bernada Kebencian

Dalam 3 pekan  ini, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) telah memantau perkembangan informasi, respons, pernyataan politik dan sejumlah aktivitas yang potensial membatasi -bahkan dalam derajat tertentu mampu mengancam komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan HAM non-diskriminatif, khususnya kepada kelompok-kelompok rentan stigma, para korban pelanggaran HAM masa lalu. Setidaknya terdapat 13 pernyataan yang dikeluarkan oleh individu-individu berpengaruh di Indonesia yang menolak model ekspresi, opini dan upaya mengumpulkan fakta-fakta hukum atas pelanggaran HAM masa lalu, khususnya yang terkait dengan penuntasan kasus Peristiwa 1965/1966:

Pertama, dalam pantauan KontraS, banyak pejabat publik yang menjadi reaktif dalam melihat kreativitas dan bentuk advokasi yang tengah dilakukan oleh para korban dan organisasi HAM pendamping. Wujud reaksi berlebihan tersebut telah dikeluarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan, Jaksa Agung HM. Prasetyo, Menteri Pertahanan Ryamrizard Ryacudu, Kementerian Luar Negeri yang menolak model ekspresi dan opini dari para korban, khususnya korban pelanggaran 1965 untuk memperluas solidaritas. Reaksi berlebihan dengan pernyataan-pernyataan bernada negatif seperti, “kurang kerjaan, jangan mau diadu domba londo, pikirannya sudah tidak Indonesia lagi, langkah mundur, pindah warga negara saja, biarin saja (pengadilan rakyat) sampai habis suaranya,” pernyataan yang dikeluarkan dari opini para pejabat publik ini potensial mempertebal permusuhan kelas sosial dan bahkan memperluas diskriminasi atas ekspresi ideologi atau antar golongan jika terus mendapatkan peliputan yang meluas dari media massa.

Kedua, KontraS memantau banyaknya argumen dari para pejabat publik yang telah menggunakan dasar dari pilar-pilar bangsa yakni kedaulatan NKRI, ke-Bhinnekaan Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar dan Pancasila harus tidak boleh bertentangan dengan tafsir bahwa negara memiliki komitmen penegakan hukum dan perlindungan HAM sebagaimana yang telah dijamin di dalam 4 pilar bangsa di atas; dan termasuk komitmen yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam pemajuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia maupun banyak instrumen hukum HAM internasional.

Ketiga, pernyataan kontraproduktif lainnya juga menguat disampaikan oleh beberapa akademisi yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat inisiatif dari para korban dalam semangat positif. Tuduhan-tuduhan seperti ‘drama, sandiwara, anti Indonesia, menyebarkan aib negara, tidak terhormat,’ hingga ancaman bahwa wujud ekspresi korban dalam menagih ruang pertanggungjawaban negara maupun pertanggungjawaban individual atas pelaku pelanggaran HAM mampu memicu kemarahan publik amat potensial mempertebal rasa permusuhan, diskriminasi antar golongan di Indonesia.

Keempat, konsiderasi lainnya adalah menguatnya sentimen penolakan atas wujud ekspresi dan inisiatif dari para korban untuk mencari ruang keadilan dan kebenaran mulai menguat dari organisasi kemasyarakatan yang bercorak nasionalisme garis keras dan keagamaan. Penolakan pengungkapan kebenaran maupun inisiatif untuk mendorong mekanisme yudisial berjalan penuh potensial terhambat dengan opini negatif yang mempertentangkan perdamaian, masa depan dengan akuntabilitas.

Kelima, di ruang ekspresi online KontraS mengetahui ada upaya-upaya yang terus digencarkan untuk membatasi ruang inisiatif dari para korban dengan upaya menyensor, memblokir situs-situs yang mengabarkan wujud ekspresi, opini bahkan temuan-temuan fakta hukum dan HAM. Meskipun KontraS mengetahui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyatakan tidak ada tindakan resmi negara untuk membatasi informasi di atas, namun KontraS menduga kuat ada kelompok-kelompok yang bergerak diam-diam untuk membangun sentimen permusuhan di ruang ekspresi online. KontraS juga mengetahui ada upaya untuk menggalang dukungan publik menolak acara International People’s Tribunal (IPT) melalui penandatanganan petisi online pada tanggal 12 November 2015.

Keenam, terdapat upaya untuk menggagalkan publik dalam mengakses informasi melalui tindakan pembubaran acara nonton bersama (nobar) di Kota Yogyakarta atas acara International People’s Tribunal pada 13/11. Diketahui Komando Distrik Militer (Kodim) 0734 Yogyakarta dan Poltabes Yogyakarta telah meminta acara nobar dibubarkan dengan alasan akan datang serangan dari kelompok Islam fundamentalis di kota setempat. Adalah kewajiban dari kepolisian untuk memberikan perlindungan atas segala macam bentuk ekspresi damai yang tidak melawan hukum. Tidak ada ancaman kedaulatan negara dari aktivitas nonton bersama. Polisi dalam hal ini tidak boleh takut apalagi gamang dalam memberikan perlindungan hukum atas acara-acara publik yang sama sekali tidak membawa unsur pidana.

Menguatnya informasi bernuansa kebencian, blokir dan ancaman memperluas rasa takut yang datang dari para pejabat negara, tokoh politik, aparat penegak hukum, individu-individu berpengaruh (termasuk salah satu adalah akademisi), maupun kelompok kemasyarakatan adalah langkah mundur dari pengalaman 17 tahun Indonesia keluar dari rezim otoritarianisme. Jika enam poin di atas terus berlanjut maka KontraS memprediksi:

  1. Pejabat publik yang memiliki akses luas untuk menyebarkan berita yang kontraproduktif dengan semangat dan komitmen negara dalam melakukan penegakan hukum dan perlindungan HAM tidak bisa leluasa menggunakan ‘hak prerogatif’ ini. Pernyataan tidak produktif justru mampu mengembangbiakkan sentimen diskriminasi kepada kelompok korban pelanggaran HAM masa lalu.
  2. Ormas yang dekat dengan individu berpengaruh dan pemerintah tidak boleh didiamkan ketika mereproduksi pernyataan bernada kebencian antar golongan.
  3. Akan ada ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul, menyatakan pendapat di Indonesia apabila negara masih terus menganggap perjuangan korban adalah ancaman kedaulatan nasional.
  4. Negara yang harusnya menjamin hak-hak konstitusional, dengan hadirnya pernyataan-pernyataan publik yang tidak produktif ini maka akan potensial mengingkari ruang dan akses keadilan dan termasuk pemulihan hak-hak korban yang telah dijamin di dalam perundang-undangan nasional.
  5. Enam poin di atas adalah rangkaian tindakan yang bisa mengancam kehidupan berdemokrasi seiring lahirnya beberapa produk kebijakan yang mulai bergerak ke arah anti HAM, demokrasi, taat asas hukum. Dalam hal ini KontraS menghimbau negara untuk menggunakan hukum yang harus ditegakkan secara imparsial dan memberikan jaminan perlindungan seluas-luasnya kepada individu-individu maupun publik yang tengah berupaya mencari keadilan. Pemerintah sekali lagi tidak boleh reaktif dalam menyikapi upaya publik untuk mendorong akuntabilitas negara ke arah yang lebih baik.

 

 

Jakarta, 14 November 2015

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, MA

Koordinator