Hasil Eksaminasi Putusan Pengadilan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Petugas Janitor Dan Guru Jis: Melindungi Anak, Membela Kepentingan Hak Tersangka

Hasil Eksaminasi Putusan Pengadilan Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Petugas Janitor Dan Guru Jis : Melindungi Anak, Membela Kepentingan Hak Tersangka

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia [MaPPI] sejak Juni 2015 telah melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan atas kasus dugaan kekerasaan seksual murid sekolah di JIS [Jakarta International School] yang dituduhkan kepada petugas janitor dan guru JIS. Eksaminasi perkara ini dilakukan setelah sebelumnya keluarga tersangka melakukan pengaduan terkait adanya dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus selama proses penyelidikan terhadap para tersangka hingga pemidanaan yang dipaksakan. Hal tersebut diperkuat dengan munculnya fakta-fakta, baik yang berasal dari hasil investigasi KontraS maupun fakta-fakta di persidangan. Sebagai contoh, hasil temuan KontraS berdasarkan keterangan keluarga tersangka petugas janitor, diketahui bahwa para tersangka mengalami penyiksaan selama proses penyidikan di kepolisian. Selain itu, dalam fakta persidangan pada kasus yang menimpa guru JIS menunjukkan hasil forensik dan keterangan ahli yang menyebutkan bahwa pada pokoknya tidak ada tindakan sodomi pada anak sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa dan diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri [PN] Jakarta Selatan.

Berdasarkan hasil analisis yang telah ditulis oleh beberapa ahli dalam eksaminasi ini yang terdiri dari akademisi, LSM, dokter forensik hingga mantan jaksa, terlihat bahwa baik aparat penegak hukum maupun pengadilan telah gagal dalam mewujudkan keadilan dan perlindungan bagi anak serta memenuhi hak-hak tersangka. Alasan tersebut didasarkan pada adanya temuan berikut ini:

Pertama, Pelanggaran terhadap Hukum Formil. Dalam perkara yang menimpa murid JIS, pihak kepolisian telah terlebih dahulu menetapkan beberapa petugas kebersihan menjadi tersangka kemudian disusul oleh dua orang guru. Diketahui bahwa sejak proses penangkapan, para tersangka mengalami praktik penyiksaan guna mendapatkan pengakuan serta adanya pelanggaran prosedur dalam penetapan tersangka. Selain itu, dalam kasus guru terlibat bahwa kasus ini sangat dipaksakan karena sumirnya tuduhan-tuduhan terhadap keduanya jika dilihat dari berbagai aspek dan lemahnya bukti pendukung serta proses rekonstruksi yang menyalahi aturan karena anak yang dikatakan sebagai korban tersebut diarahkan oleh ibunya dan aparat kepolisian. Pelanggaran prosedur hukum ini telah diperkuat dengan kajian majelis eksaminator yang menyatakan bahwa terdapat beberapa prosedur hukum dikesampingkan demi memenuhi tekanan publik akan “substansi” peristiwa pidana versi mereka.

Kedua, Tidak Terpenuhinya Hukum Materil. Selain terdapat pelanggaran hukum materil, aparat penegak hukum juga melanjutkan kesalahannya dalam menerapkan hukum materil seperti tidak kuatnya unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan kepada para terdakwa. Selain itu, keterangan ahli maupun hasil visum yang membuktikan adanya kekerasan seksual pun diragukan dengan fakta-fakta lainnya yang muncul, namun hal tersebut tidak pernah dijadikan pertimbangan baik oleh penuntut maupun majelis hakim.

Ketiga, Tidak Terlindunginya Kepentingan Anak. Ditemukannya fakta-fakta atas dugaan pelanggaran atas proses hukum yang terjadi dalam perkara ini, maka yang paling dirugikan adalah kepentingan anak. Adanya sentimen “emosi publik” yang dibangun oleh opini media massa yang pada intinya menyatakan bahwa para tersangka telah melakukan kesalahan mengakibatkan munculnya kesan tidak netral dan independen majelis hakim yang diwujudkan dalam putusan yang dijatuhkan majelis hakim terhadap para tersangka.

Pada akhirnya, hasil temuan dalam eksaminasi ini tidak bertujuan untuk mengintervensi proses hukum yang berlangsung namun dapat dijadikan sebagai salah satu upaya kontrol oleh publik terhadap kinerja aparat penegak hukum. Selain itu, kami berharap hasil eksaminasi ini dapat menjadi pertimbangan bagi Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI dalam melakukan koreksi terhadap kinerja aparatnya sehingga peristiwa salah tangkap maupun pemidanaan yang dipaksakan tidak pernah terjadi lagi.

 

 

Jakarta, 1 Desember 2015

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS]

Masyarakat untuk Pemantau Peradilan Indonesia [MaPPI]