Situasi Terkini Keamanan Indonesia 2015: Operasi Camar Maleo Bukan Jawaban Bagi Poso

Situasi Terkini Keamanan Indonesia 2015:

Operasi Camar Maleo Bukan Jawaban Bagi Poso

 

Tahun ini dibulan Maret 2015, KontraS telah memberikan respons terkait penyelenggaraan operasi perdana Camar Maleo di kota Poso dan sekitarnya (lihat: Situasi Terkini Sektor Keamanan Indonesia 2015: Serdadu Indonesia – Reorganisasi dan Peran Sosial TNI – Studi kasus Batam dan Poso). Operasi ini diketahui dimulai diawal tahun (26 Januari hingga 26 Maret 2015), melibatkan tidak kurang dari 563 personel Brimob dengan komposisi BKO Mako Brimob Kelapa Dua Jawa Barat dan Detasemen Khusus 88. Tercatat 17 orang yang ditangkap diduga terlibat dalam sindikat Santoso dan Mujahidin Timur Indonesia. Adanya gelar pasukan ini juga diikuti dengan latihan perang pemukul reaksi cepat 3 matra TNI yang berlangsung di wilayah yang sama (diketahui operasi difokuskan di Poso Pesisir, Poso Pesisir Utara, Poso Pesisir Utara dan Lore Utara), dengan tempo waktu yang hampir berdekatan dan melibatkan tidak kurang dari 3222 personel TNI.

Operasi Camar Maleo II yang terus dilakukan di pertengahan tahun 2015 juga telah menurunkan ribuan pasukan gabungan TNI dan Polri –dengan estimasi 600 personel Brimob Kelapa Dua, dan 400 personel dari jajaran Polda Sulteng: Polres Poso, Parigi Moutong, Tojo Unauna, Morowali dan Sigi.

 

Tesis awal KontraS atas gelar pasukan perdana Camar Maleo adalah:

  • Pertama, minimnya pengetahuan publik atas aktivitas keamanan yang sedang dilakukan di Poso akan berdampak pada pengurangan hak-hak fundamental warga yang diketahui beraktivitas di Poso dan 3 titik lainnya: Desa Tangkura (Poso Pesisir Selatan), Desa Tambarana (Poso Pesisir Utara) dan Pegunungan Biru Tamanjeka. Tesis ini kemudian dibuktikan dengan banyaknya laporan masyarakat yang KontraS temukan terkait dengan berkurangnya rasa aman warga yang seharusnya mendapatkan prioritas perlindungan dari operasi keamanan ini.
  • Kedua, pendekatan Camar Maleo yang mirip dilakukan dengan rangkaian operasi pemulihan keamanan pasca konflik pecah Poso ditahun 1998 (dengan rentang waktu operasi antara tahun 1998 hingga 2005) justru memberikan kesan adanya pemeliharaan kekerasan yang dilakukan dengan metode memperkuat pendekatan keamanan. KontraS amat mengkhawatirkan pendekatan bergaya sekuritisasi ini juga mengulangi ketidakmampuan pemerintah dalam mengaudit peredaran dan penggunaan senjata api sebagaimana yang telah terjadi di Poso pasca 7 kali perpanjangan operasi Sintuwu Maroso.
  • Ketiga, pemerintah juga belum memiliki peta pertanggungjawaban apabila terjadi kesalahan prosedur operasi dan penegakan hukum, khususnya yang dialami warga sipil. Siapa yang akan memulihkan hak-hak korban apabila praktik penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan wujud pelanggaran HAM lainnya terjadi?

 

Operasi Camar Maleo III yang telah dilanjutkan menjadi operasi Camar Maleo IV hingga akhir tahun 2015. Diketahui bahwa operasi ini telah melibatkan ribuan pasukan Brimob BKO Mabes Polri, Polda Sulteng hingga 100 personel TNI dari Kodim 1307 dan Batalyon 714 Sintuwu Maroso Poso.

Diketahui pula bahwa operasi ini kembali memberikan ancaman signifikan kepada jaminan rasa aman publik Poso dan khususnya di beberapa wilayah desa sekitar. Dari komunikasi KontraS dengan jaringan di wilayah, KontraS mengetahui bahwa telah terjadi penganiayaan yang dialami Andreas Kalapadang, seorang petani yang tinggal di Dusun Kamiasi, Desa Kilo, Poso Pesisir Utara. Selain dianiaya, motor korban juga ditembaki oleh aparat Brimob menggunakan senjata laras panjang pasca ia tidak menghentikan motornya ketika ia diteriaki oleh seorang pria yang berdiri dekat dengan pos penjagaan gabungan TNI Polri di sekitar wilayah kejadian.

Dalam situasi ini, KontraS menilai bahwa hadirnya operasi Camar Maleo, yang melibatkan tim gabungan aparat keamanan TNI Polri, dengan perpanjangan waktu yang signifikan tidak memerhatikan standar perlindungan HAM dari warga yang tinggal di sekitar daerah operasi. Warga sipil tidak boleh dijadikan target ancaman dan teror. Jika praktik teror dan ancaman tetap diarahkan kepada warga sipil, maka patut kita mengecam standar ganda operasi keamanan ini: Apakah TNI dan Polri betul ingin memburu teroris yang dituduh mengancam rasa aman? Ataukah ancaman itu justru datang dari TNI dan Polri yang tidak mengikuti prosedur operasi keamanan?

Konsiderasi lainnya adalah KontraS ketika diketahui telah tertembak hingga tewas Sersan Kepala Zainuddin (asal Kodam VII Yonif 712/Wirabuana Manado) pada salah satu operasi yang digelar Tim Bravo 15 pada Minggu, 29 November di Desa Meranda Poso Pesisir. Diketahui bahwa istilah Orang Tak Dikenal (OTK) masih digunakan untuk menuding pihak yang harus bertanggung jawab. Polri dalam peristiwa penembakan ini harus segera menyelidiki dan menjamin bahwa ada pihak yang harus bertanggung jawab. Hal ini penting khususnya untuk menjamin rasa aman publik yang potensial menjadi target sasaran acak dari operasi keamanan Camar Maleo 2015.

KontraS mendorong agar negara dan para pemangku kebijakan keamanan di Indonesia memberikan konsiderasi mendalam pada 3 tesis argumentasi KontraS di atas. Jika tidak, operasi pemburuan jaringan Santoso menjadi kontraproduktif dan melahirkan model teror baru di tengah publik dengan melegitimasikan operasi keamanan beraroma kekerasan yang dipromosikan negara. Jika demikian, Camar Maleo bukan jawaban yang sesungguhnya untuk menjamin keamanan, rasa aman, dan penegakan hukum di Poso.

 

 

Jakarta, 30 November 2015

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, MA

Koordinator