Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh: Panitia Seleksi KKR Harus Memiliki Ukuran HAM, Akuntabilitas dan Inklusivitas dalam Proses Seleksi Komisioner KKR

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh:

Panitia Seleksi KKR Harus Memiliki Ukuran HAM, Akuntabilitas dan Inklusivitas

dalam Proses Seleksi Komisioner KKR

 

Jelang penghujung tahun 2015, berita baik HAM bertambah dari Provinsi Aceh dengan ditunjuknya lima anggota panitia seleksi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Kelima nama ini adalah aktivis HAM yang memiliki kredibilitas tinggi pada advokasi HAM nasional, mereka adalah Ifdhal Kasim, Faisal Hadi, Syamsidar, Surayya Kamaruzzaman dan Nurjannah Nitura. KontraS mengetahui bahwa ada tanggung jawab dari panitia seleksi ini untuk mengajukan 21 nama komisioner dalam tempo 1 bulan, sebelum Dewan Perwakilan Rakyat Aceh menunjuk 7 nama kunci komisioner KKR Aceh.

Perjalanan untuk mendorong hadirnya mekanisme KKR bagi Aceh merupakan bagian mandat yang telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia dan GAM melalui Nota Kesepahaman Helsinki ditahun 2005. Butuh waktu panjang untuk mendorong hadirnya sebuah komisi kebenaran yang kredibel yang memiliki kemampuan untuk mendorong ruang pengungkapan kebenaran atas kejahatan HAM yang terjadi sepanjang pelaksanaan rangkaian operasi militer di Aceh, baik sebelum dan sesudah jatuhnya Soeharto dan Orde Baru. Oleh karena itu KKR merupakan salah satu mekanisme progresif yang mampu membongkar mata rantai impunitas, utamanya di Aceh.

 

Lebih jauh dari itu, KontraS secara khusus ingin memberikan usulan konstruktif tentang bagaimana proses seleksi ke-7 komisioner KKR Aceh bisa dilakukan. Ukuran universal akuntabilitas menjadi patokan utama, namun demikian KontraS menyerukan beberapa alat ukur berikut yang bisa digunakan sebagai bagian dari proses seleksi.

  1. Figur komisioner adalah figur yang memiliki integritas dan kredibilitas yang bisa diterima oleh masyarakat luas –baik di tingkat nasional dan internasional. Figur ini juga harus memiliki nilai imparsialitas, dipandang netral oleh kedua belah pihak, dengan latar belakang profesi yang kaya dan beragam: pemuka agama, advokat HAM, mantan hakim, psikolog, pendidik, ahli dengan kecakapan analisa yang tinggi pada isu HAM, perlindungan anak dan kelompok perempuan, pembela HAM dan lainnya;
  2. Panitia seleksi komisioner KKR Aceh harus memiliki Terms of Reference (ToR) yang bisa dijadikan acuan dalam proses pemilihan. ToR harus mengatur ketentuan dan penjelasan mengenai proses seleksi dan ukuran-ukuran ideal untuk memilih figur komisioner;
  3. Formulir nominasi harus bisa terakses luas; mencantumkan nama lengkap, identitas, keterangan aktivitas yang masih dilakukan dan keterangan motivasi mengapa si individu berkeinginan untuk menjadi kandidat komisioner dan mampu menunjukkan komitmen yang tinggi pada standar-standar universal HAM;
  4. Melibatkan nama yang memiliki latar belakang yang kental dengan nuansa afiliasi (partai) politik, kelompok-kelompok faksi di tengah masyarakat, atau mereka yang diduga kuat terlibat dalam praktik pelanggaran HAM yang berat sebagai kandidat komisioner KKR amat tidak disarankan untuk berpartisipasi. Mengingat independensi dari proses pengungkapan kebenaran Aceh harus dijunjung tinggi;
  5. KKR Aceh akan mendapatkan dukungan yang amat luas dari publik Indonesia dan internasional apabila figur dari para komisioner muncul melalui proses konsultasi dengan para korban pelanggaran HAM masa lalu dan keluarga; termasuk publik Aceh secara luas. Proses konsultasi harus menjunjung tinggi akuntabilitas, dilakukan dengan transparan, terbuka dan memperhatikan komposisi keseimbangan gender, etnisitas, kelompok keagamaan maupun pandangan politik yang tidak boleh didiskriminasikan;
  6. Mekanisme uji kelayakan (fit and proper test) juga harus menguji kapasitas pemahaman atas konsep dan mekanisme KKR. Ruang ini bisa digunakan untuk menguji integritas, imparsialitas, standar pro HAM, untuk menyeimbangkan obyektivitas, tujuan dan capaian dari KKR kepada publik luas;
  7. Para komisioner harus dapat dimintai kesediaan waktunya secara penuh untuk bekerja mengawal proses pengungkapan kebenaran melalui mekanisme KKR;
  8. Panitia seleksi didorong untuk menggunakan akses informasi seluas-luas, bekerja sama dengan media untuk menginformasikan agenda seleksi kandidat komisioner dan agenda besar dari KKR Aceh itu sendiri.

 

Tujuh ukuran di atas dalam mengukur kriteria kandidat komisioner KKR telah digunakan secara luas oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (lihat: Rule of Law Tools for Post-Conflict States: Truth Comissions) maupun yang telah digunakan di beberapa negara seperti di Afrika Selatan, Nepal, Brasil dan negara-negara lainnya dan memiliki cerita sukses dalam memperkuat ruang pengungkapan kebenaran. Dalam konteks Indonesia, menguatnya inisiatif KKR Aceh harus dijadikan momentum untuk memperkuat advokasi keadilan transisi, khususnya dalam merekognisi upaya resmi negara untuk mendorong proses pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak-hak korban sebagaimana yang diwajibkan kepada Indonesia melalui sejumlah instrumen hukum HAM dan humaniter internasional yang telah diratifikasi. Selain itu proses seleksi kandidat komisioner yang akuntabel dan inklusif dapat mengilustrasikan komitmen negara untuk menjunjung tinggi ruang pertanggungjawaban yang berkorelasi dengan agenda keadilan, pemenuhan hak-hak korban dan jaminan ketidakberulangan praktik pelanggaran HAM yang berat dan serius di masa depan.

KontraS mendorong peran serta aktif negara, melalui dukungan dari DPRA dan dan pemerintah pusat –melalui ruang koordinasi Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM- maupun jajaran penegak hukum lainnya untuk menyukseskan keberlanjutan mekanisme KKR di Aceh.

 

 

Jakarta, 4 Desember 2015

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, MA

Koordinator

 

Narahubung:

Feri Kusuma (Kepala Divisi Pemantauan Anti Impunitas): +6285370508497