Penangkapan Badan Pekerja KontraS pada Peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember 2015

Penangkapan Badan Pekerja KontraS pada Peringatan Hari HAM Sedunia 10 Desember 2015

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] mengecam keras tindakan penangkapan sewenang-wenang terhadap 9 badan pekerja KontraS yang baru selesai melakukan aksi peringatan Hari HAM Internasional di Bunderan Hotel Indonesia [HI] pada hari Kamis, 10 Desember 2015. Penangkapan tersebut dilakukan terhadap persis setelah peserta aksi membubarkan diri.

Adapun kronologi yang dapat disampaikan terkait peristiwa penangkapan tersebut adalah sebagai berikut:

  • Bahwa pada pukul 14.00 WIB, sebanyak 18 [delapan belas] orang badan pekerja KontraS tengah melakukan aksi damai memperingati hari HAM sedunia. Agenda aksi diisi dengan aksi diam membentangkan poster-poster bertemakan HAM dan kebebasan serta membagikan stiker kepada pengguna jalan di lokasi lampu merah Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat;
  • Seorang aparat kepolisian menghampiri peserta aksi dan menanyakan surat pemberitahuan aksi, yang kemudian dijawab telah mengirimkan kepada Intelkam Polda Metro Jaya beberapa hari sebelum pelaksanaan aksi. Terjadi perdebatan karena pihak kepolisian mengaku belum mendapatkan informasi surat pemberitahuan yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawab peserta aksi. Tidak mampu mencari kesalahan peserta aksi, aparat kepolisian kemudian kembali mendatangi peserta aksi dan meminta peserta aksi membubarkan diri karena dianggap melanggar Peraturan Gubernur [Pergub] 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka;
  • Kembali terjadi perdebatan mengingat Peraturan Gubernur tersebut tengah direvisi. Selanjutnya, peserta aksi kemudian melanjutkan aksi tersebut dengan tertib dan akhirnya membubarkan diri sekitar pukul 14.30 WIB karena akan bergabung dengan Aksi Kamisan di depan Istana Negara pada pukul 15.30 WIB. Saat itu, tiba-tiba sejumlah anggota kepolisian berseragam maupun berpakaian bebas menghampiri peserta yang akan berangkat dan menanyakan siapa penanggung jawab aksi untuk dibawa ke Polsek Menteng;
  • Koordinator KontraS, Haris Azhar yang saat itu berada di lokasi kemudian menanyakan maksud aparat kepolisian untuk membawa penanggung jawab aksi ke Polsek Menteng. Saat itu anggota kepolisian yang mengaku berasal dari Polsek Menteng menyatakan akan menangkap penanggung jawab aksi. Namun anggota kepolisian tersebut tidak menjelaskan pasal pidana apa yang diduga dilanggar peserta aksi dan meminta penanggung jawab aksi untuk ikut saja ke Polsek Menteng;
  • Melihat ketidakwajaran penangkapan tersebut, peserta aksi menyatakan tidak mau pergi jika penanggung jawab dibawa oleh anggota kepolisian. Akhirnya sebagian peserta aksi yang saat itu masih berada di lokasi aksi, berjumlah 9 [sembilan] orang kemudian ditangkap dan dibawa dengan kendaraan Bus Polri ke kantor Polsek Menteng. Meski peserta aksi tidak mengetahui alasan penangkapan tersebut, tetapi demi mematuhi aturan Polri maka peserta aksi tetap kooperatif untuk dibawa ke Polsek Menteng;
  • Namun saat tiba di Polsek Menteng, peserta aksi tetap tidak diberikan penjelasan apapun terkait maksud penangkapan tersebut. Bahkan setelah menunggu selama kurang lebih 15 menit di teras kantor Polsek, Kapolsek Menteng menyampaikan bahwa peserta aksi akan dipindahkan ke Polres Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Kapolsek Menteng juga menegaskan penangkapan dilakukan karena ia tunduk dengan perintah pimpinan;
  • Anehnya pada saat tiba di Polres Jakarta Pusat, anggota Polres terlihat tidak mengetahui maksud pemindahan para peserta aksi, bahkan sempat menanyakan kepada peserta aksi mengapa mereka dibawa ke Polres Jakarta Pusat. Pihak Polres kemudian terlibat perdebatan dengan anggota Polsek yang membawa para peserta aksi. Anggota Polsek yang membawa peserta aksi pun tidak mengetahui maksud dari penangkapan ke-9 aktivis KontraS tersebut. Di tengah ketidakjelasan tersebut, salah seorang penyidik Polres Jakarta Pusat menyampaikan akan meminta keterangan salah seorang peserta aksi dan meminta nama-nama ke-9 peserta aksi yang dibawa ke Polres Jakarta Pusat untuk didata;
  • Saat itu, Haris Azhar, Koordinator KontraS, mewakili para peserta aksi lainnya untuk diminta keterangannya. Sebelum diminta keterangan, peserta aksi meminta kepastian dari penyidik bahwa keterangan yang diminta bukan dalam lingkup proses hukum dan penyidik menyanggupinya. Saat diminta keterangan, penyidik juga masih tidak mampu menjelaskan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh para peserta aksi. Bahkan terkesan terburu-buru menyelesaikan laporan keterangan tersebut;
  • Setelah mencatat keterangan dari Haris Azhar, Koordinator KontraS, penyidik tersebut meminta tanda tangan Haris Azhar dalam berkas berjudul “interogasi” tersebut. Saat itu Haris Azhar beserta perwakilan peserta aksi sebelumnya baru mau menyanggupi pemberian tanda tangan jika berkas tersebut juga ikut diberikan kepada Haris Azhar sebagai bukti keterangan yang diberikan. Namun penyidik tersebut menolak dan akhirnya merobek sendiri berkas keterangan yang dicatatnya sendiri, lalu mempersilakan peserta aksi untuk pulang begitu saja. Sekitar pukul 17.30 WIB, akhirnya seluruh peserta aksi diperbolehkan pulang dari Polres Jakarta Pusat dan tetap tidak ada kejelasan mengenai penangkapan para peserta aksi sejak di Bundaran HI dan tindakan polisi yang diterapkan pada mereka.

Berdasarkan kronologi di atas, kami menyimpulkan beberapa hal yakni:

  1. Pada dasarnya pihak kepolisian, khususnya yang bertugas di lapangan, tidak memahami dan tidak memiliki mekanisme yang jelas dalam menerapkan Pergub No. 228 Tahun 2015. Hal itu terlihat dari tindakan anggota polisi yang sembarangan di lapangan dan kebingungan dalam menyikapi aturan tersebut. Ketidakmampuan polisi dalam memahami dan menerapkan tugas di lapangan berdampak pada pelanggaran hak kebebasan berpendapat yang berkelanjutan bagi masyarakat sipil;
  2. Polisi dalam hal ini, Kapolsek Menteng dan polisi Polsek Menteng tidak memahami prosedur penangkapan. Penangkapan sewenang-wenang kepada ke-9 badan pekerja KontraS menunjukkan masih lemahnya pemahaman prosedur yang diikuti oleh mereka;
  3. Satpol PP DKI Jakarta dan anggota polisi terlihat tidak memahami pembagian peran dan batas kewenangannya masing-masing. Pergub No. 228 Tahun 2015 yang merupakan produk hukum tingkat provinsi seharusnya ditegakkan oleh Satpol PP DKI Jakarta sebagai satuan utama penertiban yang berada di bawah penertiban daerah, Polisi hanya akan terlibat apabila ada dugaan atau telah terjadi perbuatan pidana;
  4. Ketidakmampuan anggota polisi di lapangan dan kebingungan Satpol PP DKI Jakarta menggunakan kewenangannya semakin menunjukkan bahwa Pergub No. 228 Tahun 2015 memang tidak aplikatif digunakan di lapangan dan berpotensi mencederai hak kebebasan berpendapat publik.

Jakarta, 11 Desember 2015

Badan Pekerja KontraS,

Haris Azhar, MA
Koordinator