Indonesia`s Human Rights Foreign Policy on Palestine

Indonesia’s Human Rights Foreign Policy on Palestine

 

Pada tanggal 17 Desember 2015, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan sebuah diskusi publik yang melibatkan akademisi, mahasiswa dan masyarakat sipil. Diskusi publik yang diadakan bersama dengan organisasi non-profit dari Ramallah, Palestina yang berbasis hak asasi manusia bernama Al-Haq. Diskusi yang bertemakan “Indonesia’s Human Rights Foreign Policy on Palestine” ini diisi oleh Shofwan Al-Banna Choiruzzad, Dosen Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Adrian Budi Sentosa Wakil Koordinator 1 Bidang Organisasi KontraS, Mufti Makaarim Board KontraS dan Shawan Jabarin Direktur Al-Haq.

Pertama, Shawan Jabarin menjelaskan mengenai kondisi terkini di Palestina. Beliau mengatakan bahwa kondisi kemanusiaan di Palestina masih stagnan. Segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi di Palestina. Kondisi perlindungan humanitarian yang minim menjadi konsiderasi utama dalam wilayah konflik tersebut. Maka dari itu, Al Haq lahir di tahun 1979 dengan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan dan menjadi organisasi non-profit berbasis hak asasi manusia pertama di Timur Tengah. Jalur Gaza hingga saat ini masih dikepung oleh intervensi militer Israel. Walaupun adanya Konvensi Jenewa yang mengatur mengenai kebijakan humanitarian di daerah konflik, Israel masih menjalankan kekuatan militernya kepada masyarakat sipil dengan alasan keamanan. Walau sesungguhnya alasan dibalik pengerahan kekuatan militer tersebut ialah untuk menekan dan meminimalisir pendudukan masyarakat Palestina di kawasan yang mereka ingin okupasi. Dalam kata lain, Israel telah mengerahkan berbagai cara untuk meminimalisir keberadaan penduduk Israel walaupun telah menentang hukum internasional yang berlaku. Sesungguhnya Israel telah memenuhi segala unsur kejahatan perang sebagaimana yang diatur dalam Statuta Roma dan bisa diadili di bawah jurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Indonesia, merupakan salah satu negara yang penting untuk memberikan diskursus mengenai konflik Palestina. Indonesia telah mengkampanyekan isu Palestina sejak lama, tetapi bentuk bantuan maupun promosi kedaulatan penuh untuk Palestina di ranah forum internasional saja tidak cukup. Okupasi Israel yang sesungguhnya melebihi definisi dari okupasi itu sendiri. Bawasanya Israel tidak hanya menduduki wilayah Palestina, tetapi juga membunuh para masyarakat sipil, memisahkan anggota keluarga dan merusak fasilitas masyarakat sipil. Sebagai gerakan masyarakat sipil, kita harus bergerak lebih dari memberikan bantuan langsung kepada masyarakat Palestina. Tetapi menghambat okupasi Israel dari hulu dengan cara merekomendasikan pemerintah untuk membuat regulasi dan kebijakan yang mencegah ekspor/impor atau bisnis yang dapat menunjang kekuatan militer Israel.

Kedua, Shofwan Al Banna menjelaskan mengenai kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu Palestina dari kacamata Ilmu Hubungan Internasional. Kebijakan luar negeri Indonesia pada awal Indonesia merdeka tidak sama dengan saat ini. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Hatta Indonesia secara tegas menolak untuk menjalin hubungan kerjasama dengan Israel dengan semangat anti-kolonialisme. Dewasa ini, Indonesia meragukan untuk membuat komitmen membantu Palestina. Komitmennya terbatas dikarenakan masih adanya kerjasama multilateral maupun bilateral antara Israel dan Indonesia. Jika dilihat dari keadaan stagnansi langkah kebijakan luar negeri Indonesia untuk isu Palestina, ada dua cara untuk menyelesaikan persoalan tersebut yaitu dengan cara publik dan elit. Publik lewat gerakan masyarakat sipil dapat membentuk sebuah gerakan solidaritas untuk merekomendasikan pembentukan kebijakan untuk memutuskan okupasi Israel di Palestina. Kedua, secara elit seharusnya pemerintah dapat melakukan lobi dengan pemangku kepentingan di ranah internasional dalam isu konflik Israel-Palestina dan menerima rekomendasi gerakan masyarakat sipil untuk membentuk sebuah kebijakan untuk mengatasi persoalan ini. Saat ini, kebijakan luar negeri Indonesia masih bersifat pragmatis dimana kebijakan luar negeri dalam bidang ekonomi masih menjadi prioritas utama. Harus ada depragmatisasi seperti pengarusutamaan kebijakan luar negeri dan diplomasi dalam bidang hak asasi manusia.

Ketiga, Adrian Budi Sentosa menjelaskan bahwa konflik Israel-Palestina bukan hanya semata-mata mengenai konflik agama antara Islam dan Yahudi. Konflik Israel-Palestina merupakan sebuah peristiwa kemanusiaan yang tidak dapat dilihat hanya dari peristiwa per peristiwa yang mencuat ke permukaan saja. Tetapi terjadi masalah mendalam yang terus terjadi dan lekang dari sorotan publik yaitu tentang krisis kemanusiaan yang terjadi setiap hari di Palestina. Cara kita sebagai gerakan masyarakat sipil untuk membantu mencegah atau menghentikan okupasi Israel adalah dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membentuk kebijakan hukum dan menolak produk-produk bisnis yang dijual di Indonesia yang dapat membantu Israel. Tidak boleh ada standar ganda dari pemerintah untuk memberikan dukungan kepada negara-negara dengan keadaan hak asasi manusia yang buruk dengan salah satu konsiderasinya berupa agama.

Keempat, Mufti Makaarim menjelaskan tiga poin yang dapat dirangkum dari diskusi ini dan bagaimana pemerintah dan gerakan masyarakat sipil harus mengambil sikap sebagai salah satu bentuk dukungan untuk kemerdekaan Palestina yakni, Indonesia seharusnya tidak hanya berbicara mengenai pembangunan dan ekonomi dalam konteks warga negaranya, seharusnya juga Indonesia bisa mengambil kebijakan luar negeri yang bisa berdampak baik bagi warga negaranya salah satunya dengan mendukung Palestina bukan semata-mata karena agama, tetapi karena kemanusiaan. Gerakan masyarakat sipil harus bergerak selangkah lebih maju dalam memantau kondisi kemanusiaan di Palestina sehingga dapat memberikan rekomendasi yang tepat untuk kebijakan luar negeri dalam persoalan Palestina. Ketiga, tidak bersifat represif dalam membantu Palestina berdasarkan peristiwa, tetapi secara keseluruhan dalam konteks kelangsungan kemanusiaan di Palestina.