Pembiaran atas Penangkapan dan Penghilangan Paksa Pencari Suaka Asal Uni Emirat Arab: Indonesia Telah Melanggar Hukum Internasional

Pembiaran atas Penangkapan dan Penghilangan Paksa Pencari Suaka Asal Uni Emirat Arab:

Indonesia Telah Melanggar Hukum Internasional

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras peristiwa penangkapan dan penghilangan paksa terhadap Abdulrahman Khalifa Salem Binsobeih (50 tahun), seorang  warga Negara Uni Emirat Arab (UEA) dari sel tahanan di Polres Batam pada Jumat, 18 Desember 2015 oleh 11 orang dengan komposisi 5 orang perwakilan Kedutaan Besar Uni Emirat Arab dan dibantu 6 orang yang diketahui adalah agen rahasia Indonesia. Sebelumnya, Abdulrahman Khalifa ditahan oleh Kepolisian Batam sejak 21 Oktober 2015 karena menggunakan identitas palsu untuk tinggal secara ilegal di Indonesia. Tidak diketahui secara jelas tujuan Abdulrahman Khalifa berada di Indonesia, namun dugaan kuat adalah dengan niatannya untuk mencari suaka pasca tuduhan dan vonis hukum ilegal yang dilayangkan oleh pemerintah Uni Emrirat Arab. Abdulrahman Khalifa kemudian telah dideportasi secara diam-diam dari Indonesia dengan menggunakan pesawat Saudi Arabia Airlines dan tiba di Bandara Abu Dhabi, negara asalnya.

Patut diketahui bahwa latar belakang Abdulrahman Khalifa sendiri merupakan aktivis politik dari Board of Al-Islah (Society for Reform and Social Guidance) yang pada tahun 2013 telah divonis selama 15 tahun bersama dengan 69 orang lainnya dengan tuduhan kejahatan pidana yang tidak ia lakukan (berupaya untuk menjatuhkan otoritas resmi UAE atau tindak pidana politik). Namun demikian ada kejanggalan-kejanggalan proses hukum (dengan kuatnya elemen unfair trial sepanjang proses pidana), penyiksaan dan tindakan keji lainnya yang dialami oleh ke-69 orang tersebut termasuk Abdulrahman Khalifa. Patut diketahui bahwa Pelapor Khusus PBB lintas isu: Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-Wenang (El-Hadji Malik Sow), Perlindungan Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (Frank La Rue), Perlindungan Kebebasan Berkumpul dan Berserikat (Maina Kiai), Pembela HAM (Margareth Sekaggya), Independensi Hakim dan Pengacara (Gabriela Knaul), Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Atau Tindakan atau Hukuman yang Merendahkan (Juan Mendez) ditahun 2013 telah mengeluarkan pernyataan resmi mengecam kesewenang-wenangan praktik hukum ilegal yang telah digunakan Pemerintah UEA kepada 69 nama, termasuk nama Abdulrahman Khalifa di dalamnya.[1]

Dengan minimnya perlindungan, termasuk minimnya bantuan hukum, persekusi yang potensial dilakukan oleh Pemerintah UEA dan terpenuhinya elemen dari konsep well founded of fear of persecution –yang diatur di dalam Konvensi 1951 dari Hukum Pengungsi Internasional-[2]; KontraS menilai bahwa upaya Abdulrahman Khalifa untuk mencari suaka adalah absah di mata hukum Internasional dengan bantuan kantor UNHCR Indonesia (sebagaimana rencana yang akan dilakukan oleh pengacara Abdulrahman Khalifa) seiring persis ketika proses hukum di Indonesia yang akan berakhir karena bukti yang tidak cukup kuat atas tuduhan pemalsuan identitas. KontraS mengetahui bahwa sebelum peristiwa penangkapan ini terjadi, Kedutaan Besar Uni Emirat Arab telah berulangkali meminta kepolisian Indonesia untuk memulangkan Abdulrahman Khalifa ke negara asalnya namun ditolak, sebelum akhirnya keterlibatan Agen Rahasia Indonesia -yang masih belum bisa diidentifikasi institusi keamanan negara apa, apakah Polri, TNI atau bahkan BIN- telah membantu Kedutaan Besar Uni Emirat Arab untuk membawa Abdulrahman Khalifa secara paksa dari dalam tahanan Polres Batam pada tanggal peristiwa 18 Desember 2015. Ada dugaan kuat pula atas hadirnya penyuapan terhadap keterlibatan unsur keamanan Indonesia pada penangkapan sewenang-wenang ini.

Elemen lainnya yang potensial muncul adalah dugaan penghilangan paksa (enforce disappearance) atas penangkapan Abdulrahman Khalifa. Elemen ini condong menguat mengingat tidak ada perjanjian ekstradisi yang disetujui oleh pengadilan negeri setempat (baca: di Indonesia, Batam). Pemerintah Indonesia dan Uni Emirat Arab telah menandatangani perjanjian ekstradisi pada 2 Agustus 2014 yang menyatakan pada Pasal 3 dari perjanjian bahwa alasan wajib penolakan ekstradisi apabila:[3]

  1. Tindak pidana yang dapat dimintakan ekstradisi oleh pihak peminta merupakan tindak pidana bermuatan politik,
  2. Apabila pihak diminta memiliki alasan yang kuat untuk meyakini bahwa permintaan ekstradisi diajukan dengan tujuan untuk menuntut atau menghukum orang yang diminta berdasarkan […] pendapat politik […],
  3. Apabila orang yang dimintakan ekstradisi, telah atau akan menjadi korban penyiksaan atau kekerasan, tindakan tidak manusiawi atau merendahkan martabat di pihak peminta.

 

Dengan langkah deportasi yang dipaksakan dan tindakan hukum ilegal lainnya, kami mengkhawatirkan akan adanya kemungkinan penahanan lanjutan, penyiksaan, bahkan dalam skenario yang jauh lebih buruk yakni penghilangan paksa terhadap Abdulrahman Khalifa. Kami juga turut menyesalkan sikap institusi Polri, dalam hal ini Kapolres Batam yang terkesan membiarkan saja pihak Kedutaan Besar Uni Emirat Arab untuk membawa tahanan yang seharusnya masih dalam kewenangan dan tanggung jawab kepolisian Indonesia untuk memastikan apakah komunikasi diplomatik tertulis yang telah dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dengan UEA (Lihat: Pasal 8 Perjanjian Ekstradisi). Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri juga memiliki porsi tanggung jawab dalam memastikan ruang ekstradisi ilegal yang telah terjadi pada peristiwa ini, termasuk minimnya komunikasi dengan pihak pengacara Abdulrahman Khalifa untuk memastikan ruang perlindungan dan kemungkinan untuk membantu proses suaka bersama dengan UNHCR Indonesia.

Perlu diketahui bahwa peristiwa penangkapan dan penghilangan paksa seperti ini bukan merupakan peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia. Dalam catatan KontraS –melalui siaran pers Penangkapan Omar Al-Faruq di Luar Prosedur Hukum- yang dikeluarkan tahun 2003 menemukan kejanggalan hukum yang telah dilakukan BIN di bawah AM Hendropriyono atas kasus ekstradisi ilegal Omar Al-Faruq kepada CIA. Dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh Open Society Foundations juga menguatkan adanya keterlibatan BIN dalam penangkapan dan deportasi secara diam-diam terhadap beberapa warga negara asing, diantaranya yang menimpa Muhammed Saad Iqbal Madni, seorang Pakistani-Mesir yang tengah berada di Indonesia berdasarkan permintaan dari CIA pada tahun 2002. Bahkan Hendropriyono juga mempersilakan ketika Madni akhirnya dibawa secara sewenang-wenang ke Mesir untuk penahanan lanjutan. Lebih lanjut, pada tahun 2003, BIN juga diketahui telah melakukan penahanan terhadap Salah Nasir Salim Ali Qaru (Marwan al-Adeni) warga Negara Yordania sebelum akhirnya dideportasi ke negara asalnya dan mengalami penyiksaan oleh Badan Intelijen Jordania. Dari ketiga kasus tersebut, diketahui bahwa ada keterlibatan BIN yang bekerja sama dengan CIA untuk melakukan tindakan pelanggaran hukum Internasional. Tidak pernah diketahui apakah ada penyelidikan maupun proses hukum lebih lanjut terhadap tindakan yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia, khususnya BIN terkait keterlibatannya dalam operasi rahasia CIA tersebut. Minimnya fungsi korektif di dalam UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara menunjukkan bahwa badan intelijen ini tidak mau diatur di dalam ruang akuntabilitas.

 

Dengan pola dan kecenderungan di atas, KontraS menduga kuat bahwa peristiwa deportasi paksa atas Abdulrahman Khalifa potensial melibatkan unsur aparatus keamanan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu kami mendesak:

Pertama, Jika diketahui ada unsur keterlibatan BIN dalam kasus ini maka Presiden RI memanggil Kepala BIN untuk memastikan apakah tindakan yang dilakukan oleh agen rahasia Indonesia atau BIN telah dikoordinasikan atau tidak dengan Presiden RI (end user information, Pasal 27) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam UU Intelijen Negara. Presiden juga harus memastikan kewenangan yang dimiliki oleh BIN tidak dilakukan secara melawan hukum seperti dengan bekerjasama dengan negara tertentu atau badan intelijen tertentu untuk melakukan pelanggaran dengan sengaja atas hukum nasional maupun internasional.

Kedua, Menteri Luar Negeri RI untuk melakukan teguran terhadap Pemerintah Uni Emirat Arab melalui Kedutaan Besarnya di Indonesia  yang telah melakukan pelanggaran hukum Internasional dan perjanjian ekstradisi terhadap individu yang sedang mempersiapkan proses suaka bernama Abdulrahman Khalifa Salem Binsobeih di dalam yurisdiksi Indonesia. Wajib Menolak Ekstradisi yang tercantum pada Pasal 3 atas Perjanjian Ekstradisi adalah alasan kuat yang dimiliki Pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan ini.

Ketiga, Kapolri untuk melakukan penyelidikan atas kelalaian yang dilakukan oleh kepolisian Batam dalam melakukan pembiaran atas penangkapan sewenang-wenang dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh Kedutaan Besar UAE terhadap Abdulrahman Khalifa Salem Binsobeih dengan bantuan ilegal dari Indonesia dengan tidak hadirnya rujukan tertulis kabel diplomatik antara Pemerintah Indonesia dengan UAE. Jika terbukti ada keterlibatan aparatus negara Indonesia dalam penangkapan dan penghilangan paksa tersebut, maka institusi Polri harus melakukan proses hukum lebih lanjut yang dilakukan transparan dan melibatkan ruang pantau publik.

 

 

Jakarta, 29 Desember 2015

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, MA

Koordinator

 

Sumber Foto: ic4jhr.net


[1] Surat yang dikeluarkan oleh gabungan pelapor khusus PBB untuk situasi HAM global. Surat tersebut tertanda 6 Agustus 2013 dan bisa diakses di: https://spdb.ohchr.org/hrdb/24th/public_-_UA_UAE_06.08.13_(4.2013).pdf. Dikethaui ke-69 nama tersebut memiliki latar belakang pengacara HAM, akademisi, mahasiswa progresif, para hakim yang dituntut dan divonis sepihak oleh Pemerintah UEA. Dokumen diakses pada 29 Desember 2015.

[2] Definisi dari well founded of fear of persecution yang diatur di dalam Konvensi 1951 (Pasal 1 huruf A ayat 2) khususnya atas pengungsi potensial mendapatkan hukuman sewenang-wenang yang dilakukan oleh pemerintah (negara asal) berbasis dan berlatar belakang atas ras, agama, kewarganegaraan, anggota dari sebuah kelompok social khusus atau memiliki opini politik khusus, yang berada tidak mampu atau memiliki suatu ketakutan tersendiri, dan tidak mungkin untuk mendapatkan dukungan perlindungan hukum dari negara asalnya. Oleh karenanya berhak untuk mengajuka suaka kepada negara-negara yang telah menjadi Negara pihak dari Konvensi ini. Indonesia bukanlah Negara pihak dari Konvensi 1951 namun Konvensi ini telah dipandang memiliki elemen customary law dengan prinsip non-refoulement (pelarangan pengembalian para pengungsi atau pencari suaka) di mana potensi persekusi menguat.

[3] Lihat: Perjanjian Antara Republik Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab tentang Ekstradisi. Dokumen dapat diakses di: http://treaty.kemlu.go.id/uploads-pub/5032_ARE-2014-0011.pdf. Diakses pada 29 Desember 2015.