Kado Akhir Tahun Jokowi: Membawa Kapsul Impian Tidak Menjawab Pelanggaran Hak Dan Kebebasan Untuk Rakyat Papua

Kado Akhir Tahun Jokowi:  Membawa Kapsul Impian Tidak Menjawab Pelanggaran  Hak Dan Kebebasan Untuk Rakyat Papua

 

Pekan ini Presiden RI Joko Widodo akan menghabiskan akhir tahun dengan kunjungan di Papua. Sebuah kunjungan yang telah dipersiapkan cukup lama, melibatkan Kantor Staf Khusus Kepresidenan (KSP), lintas kementerian terkait dan individu-individu yang baik secara langsung maupun tidak diajak untuk mengabarkan agenda seremonial Presiden RI. Secara langsung Istana Negara dibulan November juga mengundang beberapa organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam upaya mengabarkan berita baik tentang Papua. Rangkaian pra-kondisi memang terlihat mencolok, sebut saja pembebasan mendesak Filep Karma dari Lapas Abepura yang telah didahului dengan pembebasan 5 tapol pada bulan Juli 2015. Pernyataan-pernyataan jaminan keamanan kepada jurnalis asing untuk bisa meliput tanpa batas di Papua baik yang terus disampaikan oleh Joko Widodo dan Menkopolkam adalah kosmetik politik yang tidak habis-habisnya digunakan negara untuk meredam wacana akuntabilitas.

Tidak ada yang istimewa dari kunjungan Joko Widodo, selain agenda seremonial yang menempatkan warga Papua sebagai entitas yang harus membebek dengan rencana Indonesia. Kapsul Impian 2015-2085 yang akan dipendam selama 70 tahun di Merauke adalah agenda paling delusional yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia selama Republik ini berdiri. Mengingat sebenarnya 'harapan publik' tidak cukup banyak diwujudkan oleh pemerintah, DPR, bahkan publik kerap dijadikan target kriminalisasi, tidak terkecuali publik Papua. Dalam tahun ini KontraS mencatat serangkaian kekerasan, impunitas, hingga skandal yang sekadar menempatkan Papua sebagai arena permainan politik oligarki dan aktor keamanan. Skandal Freeport vs. Setyo Novanto adalah contoh bahwa tidak ada yang lebih penting selain publik diajak menonton drama mafia kartel politik ketimbang memastikan ketersediaan rasa aman dan infrastruktur inklusif di Timika, Wamena, Puncak Jaya dan wilayah-wilayah lainnya yang kerap membangun pos-pos militer. Bulan Desember 2015 KontraS mencatat masih pembatasan akses atas ruang ekspresi warga Papua. Penangkapan kepada ratusan mahasiswa di Jakarta pada peringatan 1 Desember sebagai bagian penghargaan politik identitas yang telah diakui oleh mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Isu pembatasan kebebasan-kebebasan fundamental (baik dalam ranah kebebasan beragama, berekspresi, berasosiasi dan berkumpul) adalah hal-hal yang pendapatkan restriksi maksimal di Papua. Pelarangan tanpa alasan yang jelas dan kerap menggunakan sentimen keamanan dan pseudo nasionalisme, banyak berujung pada peristiwa penangkapan sewenang-wenang di Papua. KontraS sendiri mencatat setidaknya ada 24 peristiwa pembatasan kebebasan serius yang terjadi pada isu Papua.

Belum lagi persoalan meningginya praktik intoleransi dengan preseden Tolikara dengan derasnya arus migrasi di Papua adalah suatu tantangan bagi pemerintah untuk mengelola konflik dengan dinamika publik yang kian beragam. Persoalan Paniai juga memperpanjang deret kekerasan aparat keamanan yang tidak pernah terusut tuntas. Akibatnya jelas, impunitas yang bukan solusi akan terus menjadi jawaban bagi ketidakadilan di Papua. Mandat negara untuk membawa resolusi konflik melalui ruang pertanggungjawaban yudisial dan rekonsiliasi (dialog damai) tidak pernah tersentuh. Alih-alih mematahkan mitos impunitas, Joko Widodo dan KSP desk Papua gemar berwacana untuk membangun jalan, pasar, petak sawah di Merauke –yang tidak berbanding sama dengan praktik kelaparan di Yahukimo dan melambungnya harga kebutuhan pokok di sana- dan industralisasi harapan yang sebenarnya bukan menjadi prioritas pokok yang dibutuhkan warga Papua.

Ada kontradiksi yang begitu besar dalam konteks Papua melalui kacamata HAM. Pertama, ketidakpercayaan (distrust) publik yang tinggi atas inisiatif pemerintah pusat namun juga masih ada ruang ekspektasi bahwa Pemerintah Indonesia dimasa pemerintahan Joko Widodo akan membawa perubahan pada penanganan kekerasan, konflik. Dua tegangan ini apabila tidak berhasil dikelola negara maka hanya akan berakhir pada ruang penuduhan-penuduhan tanpa solusi. Seperti contoh Kapolri menuduh kelompok Benny Wenda pada penyerangan pos polisi di Sinak. Kedua, pembangunan yang digunakan sebagai kunci utama perdamaian ternyata tidak segaris lurus dengan penghentian praktik kriminalisasi, penyiksaan, sekuritisasi atas sentimen nasionalisme (lihat kasus penangkapan 5 aktivis Papua pasca berjumpa dengan Menteri Pertahanan dibulan April 2015) maupun praktik korupsi dan pungli yang berhasil memangkas akses warga terhadap pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial. Ketiga, terkait dengan sentimen solidaritas yang dihadirkan oleh negara-negara Asia Pasifik dan kawasan Melanesia seharusnya tidak dipandang sebagai hal yang akan merapuhkan ruang dukungan internasional kepada komitmen Joko Widodo untuk menghadirkan ruang ekspektasi warga Papua yang riil. Diplomasi internasional bukan arena untuk mempertebal kosmetik pemerintah, melainkan harus digunakan sebagai ruang pembuktian dan koreksi atas pelanggaran HAM yang telah terjadi.

Kunjungan ini akan menjadi kunjungan akhir tahun reguler, dipenuhi dengan drama kekerasan ala penyerangan kampung atau kantor polisi apabila tidak ada ruang komitmen yang terang, diambil oleh negara untuk segera menghentikan kekerasan, pelanggaran hukum dan HAM yang kemungkinan besar pasti akan terjadi kembali di Papua.

Kekerasan yang direkayasa, upaya mencari simpati publik melalui kapsul impian, atau 'keberhasilan' BIN bernegosiasi dengan gerilyawan di Aceh tidak akan bisa diterapkan sebagai solusi di Papua, selama agenda politik HAM tidak memiliki nilai keotentikan.

Karena Papua tidak boleh sendiri, mari kita kawal agenda pemerintah untuk Papua di masa depan. Selamat Tahun Baru 2016!

 

 

Jakarta, 31 Desember 2015

 

Puri Kencana Putri, MA

Wakil Koordinator Bidang Strategi & Mobilisasi