Lumpur Lapindo: Tidak Ada Izin Pengeboran Baru Tanpa Proses Penegakan Hukum!

Lumpur Lapindo:

Tidak Ada Izin Pengeboran Baru Tanpa Proses Penegakan Hukum!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan rencana Pemerintah untuk kembali memberikan izin kepada Lapindo Brantas, Inc. untuk melakukan pengeboran migas di Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dimana pada praktik sebelumnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang hebat serta berakibat pada terlanggarnya hak-hak konstitusional warga. Terlebih juga diduga telah terjadi intimidasi oleh sejumlah pihak terhadap warga dalam proses tersebut agar menyetujui rencana tersebut.

Izin pemerintah tersebut didapatkan Lapindo mulai dari Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Sidoarjo, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo, mantan Bupati Sidoarjo, Dirjen Migas, SKK Migas hingga Dinas Perindustrian Perdagangan ESDM dan UMKM Sidoarjo. Lokasi pengeboran sendiri hanya berjarak ± 1 Kilometer dari pusat semburan, dan 50 Meter dari pemukan warga. Tak pelak menyebabkan ketakutan warga, mengingat dampak yang ditimbulkan dari Lapindo pada 2006 lalu. Kekhawatiran juga disebabkan oleh semburan lumpur yang mengakibatkan tercemarnya air tanah dan sungai, serta bau tidak sedap.

Informasi yang kami terima juga menyebutkan, terjadi intimidasi terhadap warga pasca sosialisasi yang digelar oleh Lapindo bersama pihak Polres Sidoarjo terkait pengoperasian sumur Tanggulangin I. Sejumlah warga mengaku mendapat tekanan untuk menyetujui rencana tersebut. Terlebih, sekitar 504 personil gabungan terdiri dari 374 personil dari Polres Sidoarjo, 100 personil Brimob Polda Jatim, 30 personil TNI dari Kodim 0816 Sidoarjo juga menjaga ketat pengerjaan Drill Site Preparation (DSP) sebagai tahap awal pengeboran sumur oleh Lapindo pada 06 Januari 2016 lalu.

 

Dari fakta diatas, kami mencatat sejumlah permasalahan terkait hal tersebut, antara lain;

  • Sikap pemerintah yang menyetujui rencana pengeboran Lapindo secara jelas telah mengeyampingkan aspek psikososial bagi sejumlah warga yang menjadi korban keganasan lumpur Lapindo, baik yang terdampak langsung, maupun mereka yang tidak terdampak langsung akibat kegiatan Lapindo. Ruang-ruang ekonomi dan sosial warga yang luluh-lantah akibat lumpur yang terjadi selama 10 tahun terakhir, belum sepenuhnya terpulihkan. Terlebih, pemerintah juga tidak mampu menuntut pertanggung-jawaban Lapindo terhadap pengerusakan lingkungan yang terjadi.
  • Lokasi pengeboran yang hanya berjarak 1 Kilometer dari lokasi semburan lumpur, dan 50 Meter dari pemukiman warga, jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 huruf (d) UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang menegaskan bahwa pengeboran tidak boleh dilakukan di bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.
  • Pihak Kepolisian lagi-lagi terlihat gamang dalam menyikapi konflik pengelolaan sumber daya alam yang melibatkan perusahaan dan warga yang terdampak akibat kegiatan perusahaan tersebut. Alih-alih menjamin perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak konstitusional warga negara, sebagaimana yang diamanatkan melalui Pasal 14 ayat 1 huruf (i) UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia, polisi justru terkesan berpihak kepada perusahaan dengan mengerahkan personelnya secara berlibihan di sekitar lokasi pengeboran Lapindo Brantas, Inc.
  • Dugaan diatas juga semakin dikuatkan dengan adanya tekanan dari sejumlah pihak terhadap pengurus warga di Desa Kedungbanteng agar tidak melakukan aksi penolakan terhadap rencana pengeboran yang akan dilakukan Lapindo. Hal yang mana juga bertentangan dengan Pasal 65 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menjamin hak warga negara untuk mengajukan keberatan  terhadap  rencana  usaha dan/atau  kegiatan  yang diperkirakan  dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
  • Tidak hanya Polisi, TNI juga terkesan berpihak kepada Lapindo. Hal itu terlihat dari kesertaan Komandan Kodim 0816/Sidoarjo, Letkol Inf Andre Julian, S.I.P, dalam kegiatan pertemuan di Kantor Balai Desa Banjar Asri Kec. Tanggulangin, pada 7 November 2016 terkait sumur baru Lapindo didesa tersebut. Ia juga menyertakan 30 personil TNI dari Kodim 0816 Sidoarjo untuk menjaga ketat pengerjaan Drill Site Preparation (DSP) oleh Lapindo pada 06 Januari 2016. Hal yang mana bukan saja bertentangan dengan amanat UU 34 Tahun 2004 Tentang Peran Dan Fungsi TNI, namun juga kembali mengacaukan logika keamanan di Indonesia.
  • Lapindo Brantas, Inc. hingga hari ini belum mampu menyelesaikan semua tanggung-jawabnya dalam upaya memulihkan lingkungan hidup serta hak-hak konstitusional warga yang dirugikan akibat semburan lumpur Lapindo di Kec. Porong sejak 2006 lalu. Dari total 3.331 berkas, sebanyak 86 berkas ganti rugi warga belum dibayarkan oleh pihak Lapindo, sementara sejumlah korban yang memilih tawaran Lapindo untuk pemukiman kembali di Kahuripan Nirwana Village (KNV) belum mendapat akses terkait sertifikat atas rumah dan tanah yang mereka tempati.

Pada tanggal 29 Mei 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait Penanganan Atas Bencana Lumpur Lapindo. Dimana berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait perijinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.

 

Oleh karna itu kami mendesak sejumlah pihak untuk;

Pertama, BLH Sidoarjo dan SKK Migas untuk segera mencabut izin pengeboran yang diberikan kepada Lapindo Brantas, Inc. karna bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan mengesampingkan prinsip keadilan bagi korban, serta memastikan tidak adanya pemberian izin tanpa proses hukum terlebih dahulu atas peristiwa semburan lumpur Lapindo!

Kedua, Polri untuk mengusut tuntas dugaan terjadinya peristiwa intimidasi terhadap warga Desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo yang melakukan penolakan terhadap rencana pengeboran dan segera menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya guna membuka kembali perkara pidana lumpur Lapindo yang telah di SP3 oleh Polda Jatim.

Ketiga, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan lumpur lapindo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggung-jawaban atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

Keempat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan POLRI untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No. 26 Tahun 2007 dan RTRW SIdoarjo 2003-2013.

Kelima, Ombudsman RI untuk melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik maaladministrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

Keenam, Komnas HAM untuk memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo, serta mendorong pemeritah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi.

 

 

Jakarta, 12 Januari 2015,

Badan Pekerja

 

Haris Azhar, SH, MA

Koordinator

 

Sumber Foto: kompas.com