US-ASEAN Summit Harus Memprioritaskan Prinsip Hak Asasi Manusia di ASEAN

US-ASEAN Summit Harus Memprioritaskan Prinsip Hak Asasi Manusia di ASEAN

Dalam beberapa hari belakangan, Amerika Serikat (AS) dan ASEAN telah mempersiapkan pertemuan di Sunnylands, California, Amerika Serikat. Presiden AS, Barrack Obama sudah menjadwalkan untuk menjadi tuan rumah pada petemuan dengan pemimpin 10 negara dari Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) pada 15-16 Februari 2016. Kemitraan Strategis AS-ASEAN telah mengusung lima poin utama mengenai kerjasama antara kedua belah pihak. Diantara lima poin utama tersebut, ada dua poin yang ingin kami garis bawahi, diantaranya mengenai agenda penguatan kerjasama ekonomi dan memerangi tantangan isu keamanan di Asia Tenggara. Maka dari itu, kami ingin mengkritik dua agenda ini dengan perspektif hak asasi manusia.

Pertama, ASEAN merupakan rumah dari 660 juta penduduk dan secara kolektif merupakan peringkat ketujuh dari ekonomi terbesar di dunia. ASEAN menyokong lebih dari setengah juta pekerjaan AS. ASEAN merupakan pasar ekspor keempat terbesar untuk AS, dan AS merupakan mitra perdagangan terbesar ketiga untuk ASEAN. Maka dari itu, pada AS-ASEAN Summit, kerjasama ekonomi menjadi salah satu prioritas dari perdagangan dan pasar di ASEAN sejajar dengan agenda pembangunan di ASEAN. Kedua, pada abad ke 21, begitu banyak tantangan dalam perihal keamanan yang mencapai lintas batas negara. Di Asia Tenggara sendiri, negara anggota telah memerangi tantangan dari perdagangan narkotika, satwa liar dan kayu, kekerasan ekstrimisme, penyebaran senjata dan pemusnah massal, cyber-security, perdagangan manusia, terorisme, penangkapan ikan ilegal dan tensi dalam isu Laut Cina Selatan. Sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki esensi peran untuk memberikan pendekatan pada tantangan bersama ini. Walaupun, kedua isu ini telah menjadi celah untuk pelanggaran hak asasi manusia di Asia Tenggara.

Bila kita melihat dari agenda Kemitraan Strategis AS-ASEAN itu sendiri – pada poin pertama mengenai penguatan pertumbuhan dan kerjasama ekonomi dengan ASEAN. Sementara itu, di dalam agenda tersebut juga membuka ruang yang lebih besar untuk pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi sumber daya alam di Asia Tenggara. Sebagai contoh, Indonesia dan Amerika Serikat telah memperpanjang kontrak dari Freeport di Indonesia. Walaupun, pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi di Papua sebagai akibat dari kerjasama antara Freeport dan Indonesia. Selama bertahun-tahun, warga Papua telah menderita dibawah kemiskinan, krisis dan diskriminasi. Eksploitasi yang secara legal dilakukan oleh pemerintah dan sektor privat yang menyatakan bahwa kerjasama ekonomi tersebut adalah untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang pada akhirnya mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia untuk para masyarakat asli di Papua. Hingga saat ini, tidak ada agenda yang jelas diusulkan oleh Freeport mengenai jaminan nasib dari masyarakat asli Papua, selain itu pemerintah Indonesia masih melakukan pembiaran dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menyangkut dengan sektor bisnis asing di Papua.

Kedua, dengan isu terkini mengenai ancaman terorisme, ekstrimisme, perdagangan narkotika di regional ASEAN, penguatan keamanan telah menjadi salah satu agenda utama tidak hanya di Kemitraan Strategis AS-ASEAN, tetapi juga agenda utama pada area domestik di negara-negara anggota ASEAN. Sebagai contoh, di Indonesia sendiri, setelah peristiwa bom Sarinah pada tanggal 14 Januari 2016, pemerintah Indonesia membuat revisi baru dari UU Anti-Terorisme (UU No. 13 Tahun 2003) di Indonesia dan membuka ruang baru untuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara. Hukuman mati masih menjadi strategi untuk memberikan efek jera di beberapa negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand unruk memerangi perdagangan narkotika. Ini merupakan isu yang lintas sektoral dengan nasib para buruh migran di regional ASEAN yang pada akhirnya terancam dengan hukuman mati. Kesempatan untuk kriminalisasi, penyiksaan dan penangkapan sewenang-wenang juga menjadi potensi pelanggaran HAM yang secara legal dilakukan oleh otoritas pemerintahan.

Disamping rekam jejak yang panjang dari Asia Tenggara dalam memerangi tantangan dari otoritarianisme dan demokratisasi di beberapa negara anggota ASEAN seperti Myanmar, Laos dan Kamboja. Negara anggota ASEAN juga memiliki rekam jejak yang panjang mengenai pelanggaran HAM masa lalu seperti kejahatan terhadap kemanusiaan di Peristiwa 1965 di Indonesia, Khmer Merah di Kamboja dan peristiwa belakangan mengenai Rohingya di Myanmar. Hari ini, ASEAN masih berhadapan dengan fakta dari panjangnya rekam jejak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas negara dan mencerminkan bahwa demokrasi di ASEAN hanya terlihat sebagai ilusi untuk Komunitas ASEAN. Suara dari Masyarakat Sipil di ASEAN masih tidak didengarkan oleh para pemimpin ASEAN. Prinsip dari non-intervensi masih menjadi salah satu penghalang untuk menyelesaikan isu hak asasi manusia di ASEAN.

Beberapa hal pun penting untuk diutamakan dari isu hak asasi manusia yang berelasi dengan konteks dari kebebasan fundamental seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kebebasan fundamental tersebut masih terbatas tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara secara umum. Hampir semua negara anggota ASEAN memiliki isu mengenai terbatasnya akses kebebasan fundamental. Seperti Rohingya, otoritarianisme di Kamboja dan Laos juga Malaysia. Minimnya akses dan perbaikan keadilan di Asia Tenggara yang masih dilanggengkan oleh pemerintah. Suara masyarakat masih dibungkan dan pendekatan keamanan masih digunakan untuk menciptakan ketertiban di antara masyarakat yang masih menjadi satu ruang dari sumber pelanggaran HAM itu sendiri dan sama sekali tidak menunjukkan perbaikan.

 

Maka dari itu, Presiden Barrack Obama harus menekankan isu hak asasi manusia di ASEAN untuk menjadi salah satu prioritas dari agenda AS-ASEAN Summit. Kami ingin memberikan beberapa rekomendasi untuk Kemitraan Strategis AS-ASEAN Summit, diantaranya:

  1. Negara anggota ASEAN harus lebih mempertimbangkan masukan dan suara dari Masyarakat Sipil di ASEAN yang merupakan representasi dari masyarakat ASEAN dengan membuat mekanisme untuk ruang Masyarakat Sipil dalam memberikan rekomendasi untuk keberlanjutan ASEAN;
  2. Presiden Barrack Obama dan pemimpin ASEAN harus menekankan agenda hak asasi manusia pada Kemitraan Strategis untuk mencegah resiko dari pelanggaran hak asasi manusia dalam kerjasama ekonomi dan keamanan. Dengan membuat rekomendasi kebijakan untuk perjanjian di ASEAN khususnya dalam isu hak asasi manusia;
  3. Kemitraan Strategis AS-ASEAN seharusnya tidak hanya memprioritaskan isu pemberdayaan perempuan dan remaja di ASEAN, tetapi juga untuk lebih fokus dalam isu hak asasi manusia secara umum, khususnya pada isu-isu besar seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan demokratisasi di ASEAN;
  4. AS-ASEAN Summit harus memastikan kerjasama diantara kedua pihak dalam berkontribusi untuk akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM, kelompok rentan dan lebih luas lagi untuk para pencari keadilan dan berkontribusi untuk perlindungan hak asasi manusia untuk masyarakat, tidak hanya untuk pebisnis dan otoritas pemerintahan untuk mencegah korupsi dan eksploitasi.

 

Amerika Serikat harus menjadi pedoman bagi ASEAN untuk mengembangkan dan memperdalam kepedulian terhadap hak asasi manusia dan demokratisasi di ASEAN, Seperti yang kita ketahui, bahwa AS telah selangkah lebih maju dalam memperkuat dan mengarusutamakan hak asasi manusia dan demokratisasi di negara mereka.

 

 

Jakarta, 9 Februari 2016

 

Haris Azhar, MA

Koordinator