Kapolri Harus Menindak Polisi dan Ormas Pelaku Pembubaran Acara Lady Fast

Kapolri Harus Menindak Polisi dan Ormas Pelaku Pembubaran Acara Lady Fast

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan Polsek Kasihan, Yogyakarta, yang terlibat membubarkan acara seni Lady Fast di Bantul, Yogyakarta. Sebelumnya acara workshop musik Lady Fast 2016 yang diselenggarakan di Survive Garage, Bantul Yogyakarta, pada Sabtu, 2 April 2016, dibubarkan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan ormas keagamaan. Mereka mencoba membubarkan acara tersebut dengan menuduh acara tersebut bertemakan LGBT dan komunis. Kelompok tersebut memaksa masuk dan membubarkan acara disertai makian, ancaman, dan pernyataan-pernyataan melecehkan kepada panitia-panitia acara. Anggota polisi yang sedang berada di lokasi tidak berusaha menghentikan upaya pembubaran tersebut dan malah terlihat berkoordinasi dengan kelompok ormas untuk membubarkan acara.

Kapolsek Kasihan, Kompol Suwandi, mengatakan acara Lady Fast dibubarkan karena ada kegiatan bermain musik dan ekspresi seni tapi tidak ada izin kepada kepolisian. Kapolsek juga mengakui bahwa polisi bersama-sama dengan kelompok ormas Forum Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Indonesia (FJI) dalam melakukan pembubaran tersebut. Berdasarkan fakta dan pernyataan dari kepolisian tersebut, kami menemukan tiga pelanggaran peraturan perundang-undangan, yakni:

  1. Pelanggaran hak kebebasan berekspresi dan berkumpul. Tindakan Kapolsek Kasihan  membubarkan acara Lady Fast bahkan dengan melibatkan ormas intoleran menunjukkan kesengajaan aparat Negara melanggar hak kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”. Di dalam menikmati hak berkumpul tersebut, setiap orang juga memiliki hak berekspresi menyatakan sikap atau pendapatnya, salah satunya melalui seni. Pernyataan kepolisian yang menyatakan pembubaran dilakukan karena ekspresi seni yang dilakukan peserta acara menunjukkan sikap tidak menghormati hak asasi manusia. Lebih jauh lagi, tindakan Kapolsek yang membiarkan ormas intoleran memporak-porandakan lokasi acara dan mengeluarkan pernyataan melecehkan menunjukkan kegagalan kepolisian melindungi hak warga negaranya dalam menikmati hak berekspresi dan berkumpul;
  2. Penyesatan informasi terkait syarat perizinan. Pernyataan kepolisian yang mengatakan pembubaran karena panitia acara tidak melakukan izin merupakan suatu penyesatan informasi terkait prosedur hukum dalam melaksanakan hak berpendapat dan berkumpul. Pelaksanaan hak berpendapat dan berkumpul diatur dalam Petunjuk Lapangan Kapolri (Juklap) No. Pol/02/XII/95 Tentang Perizinan dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat dan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU Kemerdekaan Berpendapat). Aturan dalam Juklap tersebut menyatakan bahwa suatu kegiatan perlu membuat izin keramaian apabila melibatkan peserta paling sedikit 300 (tiga ratus) orang. Sementara itu acara workshop musik Lady Fast 2016 melibatkan peserta jauh lebih sedikit dari 300 orang. Selain itu, UU Kemerdekaan Berpendapat juga hanya mengatur agar panitia acara menyampaikan pemberitahuan kepada kepolisian dan tidak membutuhkan izin dari kepolisian. Hal itu menunjukkan Kapolsek Kasihan telah melakukan pembubaran dengan tidak berdasarkan hukum dan telah melakukan penyesatan informasi;
  3. Pelanggaran pidana memasuki pekarangan orang lain secara melawan hukum. Tindakan ormas FUI dan FJI, dengan difasilitasi Kapolsek Kasihan memaksa masuk pekarangan dan rumah di lingkungan pribadi Survive Garage merupakan perbuatan pidana sebagaimana diatur Pasal 167 KUHP yang menyatakan:

“(1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada disitu dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ratus ribu lima ratus rupiah;

(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan;

(4) Pidana tersebut dalam ayat (1) dan (3) dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

 

Berdasarkan fakta dan pelanggaran-pelanggaran di atas, KontraS mendesak Kapolri untuk:

Pertama, menindak Kapolsek Kasihan, Yogyakarta, atas pelanggaran prosedur dan hak asasi manusia saat melakukan pembubaran acara Lady Fast 2016;

Kedua, mengevaluasi dan membina kembali seluruh jajarannya dalam memahami dan menerapkan peraturan perundang-undangan terkait hak kebebasan berpendapat dan berkumpul masyarakat;

Ketiga, memerintahkan Kapolda Yogyakarta untuk menindak anggota ormas FUI dan FJI yang telah melakukan perbuatan pidana memaksa memasuki pekarangan orang lain dengan ancaman kekerasan sebagaimana diatur Pasal 167 KUHP.

 

 

Jakarta, 6 April 2016

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, SH, MA

Koordinator

 

Sumber Foto: beritagar.id