Simposium Nasional; Sekedar Diskusi: Menunjukkan Pemerintah Gamang Menghadapi Pelaku Pelanggaran HAM

Simposium Nasional; Sekedar Diskusi

Menunjukkan Pemerintah Gamang Menghadapi Pelaku Pelanggaran HAM

KontraS menerima Kerangka Acuan (Term of Reference) penyelenggaraan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965-Pendekatan Sejarah, pada 18-19 April 2016. Dari TOR tersebut kami berpendapat bahwa pada akhirnya, negara tidak berdaya, dan tidak taat pada prinsip-prinsip hukum dalam menghormati HAM atas korban-korban pelanggaran HAM yang berat yang terjadi. Simposium yang akan dilaksanakan hanya sekedar presentasi olah pikir semata, tanpa terlihat tujuan pertanggung jawaban negara.

Berikut adalah sejumlah catatan KontraS dan Setara Institute, atas Alur Simposium tersebut,

Pertama, Kami prihatin dengan penurunan kualitas proses pertanggung jawaban negara. Simposium ini muncul dari proses penyampaian informasi dan desakan ke negara untuk menuntaskan pelbagai kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasa lalu. Namun, dalam kurun satu bulan, sepanjang April 2016, upaya negara diarahkan hanya pada membuat sebuah simposium belaka. Kondisi kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaian sudah masuk pada tahap proses hukum, namun mengalami penolakan dari Jaksa Agung, pengalihan pada kampanye rekonsiliasi tanpa dijelaskan secara tertulis apa maksud rekonsiliasi, lalu didiskusikan antara kantor Menko Polhukam dan Wantimpres, dan berujung pada penyelenggaraan Simposium.

Kedua, dalam simposium, dari TOR yang ada, alokasi waktu hanya 2 hari untuk membahas hanya persoalan tragedi Politik 1965, didominasi untuk presentasi para pembicara, dengan tema-tema non hak asasi manusia, tidak didapati alokasi waktu yang cukup atas suara korban. Dengan kata lain, bahwa simposium ini hanya untuk mendengar pendapat berbagai pihak, patut diduga presentasi tersebut justru akan menempatkan pembenaran-pembenaran praktek kekerasan terhadap warga sipil yang seharusnya dilindungi negara. Sementara komposisi perwakilan dari organisisasi korban yang diundang juga tidak jelas.

Ketiga, Jika dilihat dari tujuan sebagaimana disampaikan dalam TOR, proses simposium ini bisa mengaburkan kemajuan-kemajuan yang sudah dengan penuh perjuangan dilakukan oleh korban-korban. Dalam TOR disebutkan, “ menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah untuk menyelesaikan secara komprehensif kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam tragedi kemanusiaan 1965 (konsep pemulihan korban, rehabilitasi korban, dll). Khusus untuk peristiwa 1965, sudah ada keputusan hukum dan politik yang seharusnya dijalankan oleh Pemerintah, tanpa perlu di-simposium-kan lagi,

  • Pada 12 Juni 2003, Mahkamah Agung, KMA/403/VI/2003-perihal permohonan rehabilitasi. Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden tersebut, Mahkamah Agung mengatakan bahwa dengan dilandasi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga Negara yang sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah konkrit kearah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut.
  • Pada 20 Juli 2003, DPR RI dengan Surat Nomor: KS.02/3947/DPR-RI/2003 meminta Presiden untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Mahkamah Agung dan memberikan perhatian dan penyelesaian sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pada 25 Agustus 2003, Komnas HAM dengan surat Nomor: 147/TUA/VIII/2003-meminta Presiden untuk segera memberikan rehabilitasi terhadap korban 1965. Rehabilitasi tersebut antara lain bahwa mereka tidak pernah diputuskan bersalah oleh pengadilan dan sudah terlalu lama menanggung beban penderitaan sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif oleh rezim orde baru. Selain itu, anak cucu mereka juga harus menanggung beban dosa politik secara turun temurun, padahal mereka tidak mengetahui sama sekali peristiwa tersebut.
  • Putusan MA No. 33P/HUM/2011 pada 8 Agustus 2012 telah menyatakan Keppres 28/75 tentang Perlakuan Terhadap Mereka Yang Terlibat G30S/PKI Golongan C batal demi hukum. Kendati Keppres tersebut sudah tidak berlaku, namun hingga saat ini hak pensiun bagi mereka yang terlibat golongan C masih belum dipenuhi.
  • Komnas HAM sudah menempuh proses hukum, dalam proses penyelidikan, dan menemukan adanya peristiwa pelanggaran HAM yang berat atas peristiwa 1965. Bahkan, hal ini diakui dalam TOR Simposium, “…..Bukti-bukti pelanggaran HAM berat yang telah terjadi sudah diumumkan oleh Komnas HAM pada bulan Juli 2012. Telah banyak pula kajian akademik, dokumen penyelidikan dan kesaksian, serta rekomendasi yang dihasilkan selama ini. Komnas HAM periode 2007-2012 pun telah melaksanakan penyelidikan dan menyampaikan laporannya kepada Kejaksaan Agung yang berisi kesimpulan bahwa dalam peristiwa 1965-1966 patut diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang berat…”

 

Dari keterangan angka ketiga diatas, dapat dismpulkan bahwa, ada kewajiban-kewajiban hukum yang harus segera dilakukan oleh negara.

Keempat, Simposium ini akan dijadikan pendasaran rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran, alias rekonsiliasi secara gelap. Hal ini jelas tergambar dalam pernyataan Ketua Pengarah Simposium Nasional Letnan Jendral (purn) Agus Widjoyo menyatakan “….tujuan simposium diadakan bukan untuk mencari tahu siapa yang salah atau siapa yang benar, tetapi mencari tahu akar permasalahan mengapa sesama anak bangsa Indonesia saling membunuh saat itu?”…”Simposium ini akan meluruskan rekonsiliasi yang sempat didengungkan oleh pemerintah sebelumnya.” Dikutip dari http://www.rappler.com/indonesia/129348-simposium-nasional-tragedi-1965

Kelima,  kami khawatir dengan pernyataan anggota pengarah Simposium Nasional Nurkholis (Komisioner Komnas HAM) yang menyatakan “…hasil dari simposium ini bisa menjadi acuan dalam menentukan nasib temuan Komnas HAM”…”hasil penyelidikan tergantung pada hasil simposium seperti apa?” Dikutip dari http://www.rappler.com/indonesia/129348-simposium-nasional-tragedi-1965

Pernyataan Nurkholis ini sangat disayangkan karena mementahkan hasil kerja Komnas HAM atas tragedi 1965. Nurhkolis sudah merusak hasil kerja Komnas HAM.

 

 

Jakarta, 15 April 2016

 

KontraS dan Setara Institute

Narahubung: Feri Kusuma 085370508497