Pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tidak Menjawab Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia

Pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tidak Menjawab Akar Permasalahan Terorisme di Indonesia

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, PSHK, ICJR, LBH Pers, dan Imparsial menyayangkan sikap reaksioner DPR RI yang memaksakan diri untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Tindak Pidana Terorisme pasca adanya usulan dari Pemerintah untuk melakukan pembahasan bersama RUU tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebelumnya, Pemerintah menyerahkan draf RUU tersebut pada Februari 2016 sebagai reaksi atas serangan terorisme di kawasan Sarinah Jakarta beberapa waktu sebelumnya. Kami menilai bahwa pembahasan tersebut sangat dipaksakan mengingat rancangan yang ada saat ini masih belum menjawab permasalahan yang terjadi dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.

Ketentuan yang ada dalam rancangan saat ini melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dianut dalam berbagai instrumen, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).

Sejumlah masalah yang muncul dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme yang tengah dalam pembahasan saat ini, diantaranya:

Pertama, Mengenai kewenangan penangkapan yang bertentangan dengan KUHAP. RUU ini memberikan kewenangan bagi penyidik untuk melakukan penangkapan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu 30 hari. Padahal nomenklatur hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini. KUHAP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan dalam waktu satu hari dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup. Selain itu, ICCPR juga secara tegas telah mengatur bahwa penahanan hanya dapat dilakukan pada orang dengan status hukum yang jelas dengan jangka waktu yang rasional, untuk sesegera mungkin dibawa ke persidangan.

Kedua, Mengenai kewenangan pencabutan status kewarganegaraan. Potensi pelanggaran HAM juga terdapat dalam RUU ini yang memberikan kewenangan bagi Negara untuk memberikan sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi setiap WNI yang mengikuti segala jenis pelatihan untuk tindak pidana terorisme. Status kewarganegaraan merupakan hak setiap orang yang diatur dalam Pasal 28D UUD 1945 dan juga merupakan hak kebebasan sipil sebagaimana yang dijelaskan dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Pencabutan kewarganegaraan memiliki konsekuensi status keadaan tanpa negara (statelessness) yang tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara sehingga patut untuk dihindari.

Ketiga, Mengenai konsep deradikalisasi terorisme. Deradikalisasi sebagai pendekatan baru yang digadang-gadang menjadi solusi dalam pemberantasan terorisme justru juga berpotensi melanggar HAM. Adanya ketentuan yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk menempatkan orang tertentu di satu tempat tertentu selama 6 (enam) bulan dalam rangka deradikalisasi patut dipertanyakan. Deradikalisasi semacam ini berpeluang menciptakan model pusat-pusat penahanan yang rentan disalahgunakan untuk melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.

Keempat, Mengenai akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme. RUU ini belum membahas secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme. Tidak adanya mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan pencegahan, penangkapan, dan penahanan terhadap terduga teroris. Kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak hanya satu dua kali terjadi. Penyiksaan selama proses pemeriksaan -bahkan berakibat pada kematian seperti kasus Siyono- kepada yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, juga bukan hal baru. Dari data yang dimiliki Komnas HAM saja misalnya, disebutkan bahwa sebanyak 121 orang yang diduga melakukan terorisme, tewas, tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu. Dalam kerangka hak asasi manusia, tindakan tersebut masuk dalam extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum – tanpa putusan pengadilan.

Penerapan prinsip nesesitas dalam operasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi patut dipertanyakan. Standar darurat yang membolehkan aparat penegak hukum menggunakan kekuatannya harus dikaji ulang sehingga evaluasi atas pemberantasan terorisme oleh aparat penegak hukum menjadi sebuah keharusan. Selama ini, publik tidak mengetahui pertanggungjawaban pelaksanaan operasi pemberantasan terorisme yang terkesan tertutup. Pembenahan sistem melalui keberadaan mekanisme akuntabilitas mau tidak mau harus dilakukan.

Kelima, Mengenai tuntutan ganti kerugian jika terjadi kesalahan dalam operasi pemberantasan terorisme. Operasi pemberantasan terorisme selama ini telah mengesampingkan kerugian yang dialami, baik pihak yang diduga melakukan tindak pidana terorisme maupun pihak lain yang terdampak. Kerugian yang dialami oleh korban maupun pihak terdampak lain bukan hanya sebatas pada kerugian materil tetapi juga imateril, seperti trauma psikis, stigma teroris terhadap korban salah tangkap, dan sebagainya. Rancangan yang ada saat ini belum membahas tentang penggantian kerugian yang dialami oleh korban ataupun pihak terdampak lain.

Keenam, Mengenai penguatan hak-hak korban terorisme. Penanganan korban terorisme selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus, meskipun dalam berbagai undang-undang hak korban terorisme telah tercantum. Salah satu persoalan mendasar adalah dikarenakan prosedur yang begitu memberatkan korban. Kondisi ini terjadi menyeluruh, dari mulai bantuan medis psikologis sampai yang paling sulit untuk didapatkan yaitu kompensasi.

Untuk kompensasi misalnya, dari banyaknya pengadilan atas  tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia, hanya dalam kasus JW Marriot, hakim mengamanatkan pemberian kompensasi bagi korban, sisanya kompensasi kepada korban di kasus terorisme lain, sama sekali tidak ada. Perlu digarisbawahi seharusnya pemberian kompensasi bagi korban haruslah bersifat segera, tanpa harus terlebih menunggu putusan pengadilan, sebab kompensasi jelas merupakan tanggung jawab Negara lewat pemerintah. Namun aturan yang ada saat ini baik di UU LPSK maupun UU Terorisme tidak efektif. Kedua aturan itu menyamakan prosedur kompensasi sama dengan restitusi yang bergantung dengan putusan pengadilan, yang mana jelas merugikan korban.

Dengan banyaknya permasalahan terkait pemberantasan terorisme yang masih belum mampu dijawab oleh pemerintah melalui RUU tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, untuk itu kami mendesak :

  1. DPR RI untuk tidak terburu-buru melakukan pembahasan atas RUU tentang Tindak Pidana Terorisme tersebut sebelum adanya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme selama ini.
  2. DPR RI harus membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan terkait pasal – pasal yang masih bermasalah dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme tersebut yang dapat berpotensi pada terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.

 

 

Jakarta, 29 April 2016

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) – Imparsial – Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers