Penyiksaan Masih Jadi Hobi Aparat Penegak Hukum..!

Penyiksaan Masih Jadi Hobi Aparat Penegak Hukum..!

Mendekati momentum Hari Anti Penyiksaan Internasional, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan masih tingginya dan terus berulangnya praktik – praktik penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka proses penegakan hukum maupun sebagai bagian dari bentuk penghukuman. Dari catatan KontraS, dalam 4 (empat) bulan terakhir saja, yakni Maret – awal Juni 2016 setidaknya terdapat 31 (tiga puluh satu) kasus yang diantaranya 4 (empat) kasus pengaduan langsung dan 27 (dua puluh tujuh) kasus yang terpantau oleh KontraS terkait praktik – praktik penyiksaan dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dalam menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Praktik penyiksaan tersebut setidaknya  mengakibatkan sebanyak 26 (dua puluh enam) orang luka – luka dan 10 (sepuluh) orang meniggal dunia akibat praktik – praktik penyiksaan.  Adapun 4 (empat) kasus praktik – praktik penyiksaan yang kami terima secara langsung, sebagai berikut:

Pertama, Kasus kematian Alm. Siyono warga Klaten yang setelah ditangkap oleh Densus 88 dikonfirmasi meninggal dunia pada Jumat, 11 Maret 2016. Sebelumnya pada Selasa, 8 Maret 2016, Densus 88 menangkap korban di dekat kediamannya. Selanjutnya pada Kamis, 10 Maret 2016, Densus 88 menggeledah rumah korban yang juga merupakan TK Amanah Ummah di Desa Pogung, Klaten, Jawa Tengah. Esok harinya pada Jumat, 11 Maret 2016, dikabarkan korban meninggal dunia dan keluarga korban dijemput untuk mengurus jenazahnya.

Kedua, Kasus kematian Alm. Bambang Ismayudi yang merupakan tahanan Polsek Percut Sei Tua pada tanggal 27 Maret 2016 di Rumah Sakit Bahyangkara. Sebelumnya Alm. Bambang ditahan oleh anggota Polsek Percut terkait dengan dugaan tindak pidana penggelapan. Menurut keterangan keluarga, sebelum Alm. Bambang meninggal, keluarga sempat membesuknya di dalam tahanan Polsek Percut. Saat itu Alm. Bambang menyampaikan kepada keluarga bahwa dirinya selalu mendapatkan tindakan – tindakan penyiksaan selama berada di dalam tahanan. Praktik – praktik penyiksaan ini juga dibuktikan dengan beberapa luka pada kepala korban pada saat ditemui oleh pihak keluarga. Selain itu pada saat sebelum Alm meninggal dunia dan dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, istri Alm mendapati korban sempat muntah yang bercampur dengan darah, dan mendapati potongan besi jepitan kuku yang keluar dari mulut Alm bersamaan dengan muntahan tersebut.

Ketiga, Kasus kematian Alm. Iman Tarjuma yang meninggal dunia pada saat ditangkap oleh anggota Polres Serang pada tanggal 19 April 2016 terkait dengan tuduhan kasus penggelapan. Berdasarkan pengaduan dan informasi yang kami dapat dari pihak keluarga korban, korban ditangkap oleh 6 (enam) orang anggota Polres Serang, dimana 1 (satu) orang anggota lainnya diduga merupakan anggota Polsek Lippo. Berdasarkan kesaksian dari istri korban, saat ditangkap, korban sempat dipukul pada bagian wajah hingga akhirnya terjatuh dan kemudian langsung diseret hingga akhirnya korban meninggal dunia.

Keempat, Kasus kematian Alm. Abdul Jalil yang meninggal dunia pasca dilakukan penagkapan oleh puluhan anggota Polres Kendari, Sulawesi Tenggara pada tanggal 06 Juni 2016. Berdasarkan informasi yang kami dapat, pada saat dilakukan penagkapan terhadap korban pihak keluarga tidak mendapatkan surat perintah penangkapan serta aparat yang melakukan penangkapan juga tidak menjelaskan kepada pihak keluarga terkait maksud dan tujuan dilakukannya penangkapan terhadap korban. Pihak keluarga juga sempat dihalang – halangi pada saat pihak keluarga ingin menemui korban di Polres Kendari hingga akhirnya pihak keluarga diberitahu bahwa korban telah meninggal dunia. Dari informasi yang kami dapat bahwa pasca dilakukan penangkapan, korban tidak langsung dibawa oleh anggota yang melakukan penangkapan, korban baru tiba di Polres Kendari sekitar pukul 05.00 WITA. Pihak keluarga juga menyampaikan bahwa kondisi korban pada saat dinyatakan meninggal dunia penuh dengan luka – luka lebam di sekujur tubuh dan luka tembak pada bagian kaki korban.

 

Dari kasus – kasus penyiksaan diatas, KontraS memberikan catatan terkait dengan sejumlah fakta yang kerap kali menjadi catatan pihak kepolisian yang kami yakini sudah menjadi pola di internal kepolisian terhadap penanganan kasus – kasus penyiksaan yang melibatkan anggota kepolisian, antara lain:

  1. Bahwa kerap kali kasus – kasus  yang korbannya mengalami praktik penyiksaan yang berujung pada tindakan kriminalisasi biasanya diawali dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak dilakukan berdasarkan adanya bukti permulaan maupun alat bukti yang cukup sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 17 bahwa “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. Hal ini sebagaimana yang diatur juga dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana dimana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Kondisi ini menunjukan  cara – cara penegakan hukum yang tidak sesuai dengan hukum terus berulang dari waktu ke waktu dilakukan oleh anggota POLRI dalam menggunakan diskresi dan kewenangan yang dimilikinya;
  2. Bahwa praktik – praktik penyiksaan sebagai bentuk penghukuman maupun guna mendapatkan pengakuan dari korban atau orang yang disangkakan masih dijadikan metode yang kerap dilakukan oleh penyidik guna mempermudah dalam mengungkap peristiwa tindak pidana. Hal ini menujukan masih minimnya skill (kemampuan) dan profesionalisme anggota POLRI dalam mengusut dugaan tindak pidana;
  3. Bahwa mekanisme etik masih dijadikan alat masuk guna melakukan proses pemeriksaan terhadap anggota – anggota yang melakukan praktik – praktik penyiksaan, mengingat bahwa banyak kasus yang masuk kerana mekanisme internal tidak diproses dengan baik serta tidak transparan dan akuntabel hal ini dapat terlihat dalam kasus kematian Alm. Siyono yang hanya menjatuhi hukuman internal.
  4. Jika proses tersebut dibawa keranah pidana, pihak penyidik juga tidak memaksimalkan penerapan pasal yang ada dalam KUHP untuk memperberat hukuman para pelaku penyiksaan, seperti penerapan Pasal 422 KUHP yang menjelaskan “pegawai negeri yang dalam perkara pidana mempergunakan paksaan, baik untuk memaksa orang supaya mengaku, maupun untuk memancing orang supaya memberi keterangan, dihukum penjara selamanya empat tahun”;
  5. Kami juga menemukan pola yang dilakukan oleh pihak kepolisian baik itu terhadap keluarga korban maupun korban dengan pemberian uang ganti kerugian atau uang kerohiman yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban atau keluarga korban sebagai bentuk jaminan agar baik korban maupun keluarga korban tidak melakukan proses penuntutan terkait dengan tindakan atau praktik – praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian terhadap korban.

 

Atas fakta – fakta yang kami temukan diatas, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

Pertama, Kapolri untuk memberikan penghukuman yang tegas terhadap para pelaku praktik – praktik penyiksaan, baik secara proses pidana maupun etik sebagai bentuk efek jera. Kapolri juga harus memastikan bahwa tidak akan ada penolakan terhadap laporan pidana yang diajukan keluarga korban dengan menggiring penyelesaian melalui kode etik saja sebagaimana yang sering terjadi pada kasus serupa. Proses hukum juga harus dipastikan berjalan secara transparan dan akuntabel;

Kedua, Bareskrim Mabes POLRI untuk memaksimalkan penerapan pasal dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam proses hukum terhadap para pelaku praktik penyiksaan seperti Pasal 351 dan Pasal 422 KUHP.

Ketiga, Kapolri bersama dengan Bareskrim harus memastikan bahwa anggotanya mengimplementasikan  peraturan – peraturan internal di Kepolisian yang ada, seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajeman Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum yang berdasarkan nilai – nilai Hak Asasi Manusia;

Keempat, Lembaga – lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman RI dan Kompolnas, untuk melakukan pengawasan sebagaimana tugas dan fungsinya, untuk meminimalisir praktik – praktik penyiksaan dalam proses penegakan hukum yang dilakukan oleh POLRI, termasuk penyiksaan terhadap anak dibawah umur;

Kelima, Kapolri meningkatkan kemampuan dan pengetahuan bagi anggotanya dalam melakukan pengusutan dugaan tindak pidana dan pengumpulan bukti – bukti kejahatan agar pembuktian yang dilakukan tidak melulu bergantung pada pengakuan tersangka, karena jika hanya mengejar pengakuan tersangka maka penyiksaan akan terus terjadi dan berulang;

Keenam, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) memasukan dan mengesahkan pasal pemidanaan tindak pidana penyiksaan dalam Rancangan Undang – Undang KUHP, termasuk segera melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang – Undang Penghentian Praktik Penyiksaan.

 

 

Jakarta, 12 Juni 2016

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar

Koordinator

 

Narahubung : Arif Nur Fikri – 081513190363