Daftar Inventarisasi Masalah terhadap RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Daftar Inventarisasi Masalah terhadap RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Menyikapi perkembangan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang saat ini bergulir di DPR, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyerahkan dokumen usulan rekomendasi berisi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang juga mencakup alternatif usulan dan solusi. Rekomendasi tersebut berdasarkan hasil kajian dengan indikator hukum (HAM) internasional yang tercantum dalam berbagai instrumen yang telah diadopsi oleh Indonesia seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasioal Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Internasional lainnya baik yang telah diadopsi, maupun yang KontraS rekomendasikan untuk segera diadopsi oleh Pemerintah RI.

 

Secara garis besar, terdapat beberapa permasalahan yang telah dikumpulkan dan dikaji oleh KontraS dalam DIM, yaitu:

  1. Kerancuan frasa-frasa yang terdapat dalam RUU seperti: kejahatan serius dan/atau luar biasa, ancaman kekerasan, yang dapat menimbulkan rasa takut, keras atau ekstrem, Organisasi Internasional, secara meluas, bersifat massal, lingkungan hidup, paramiliter, pelatihan lain, menggerakkan orang lain, persiapan pembuatan, berfungsi memberikan bantuan, dan beberapa frasa lainnya.
  2. Potensi pelanggaran HAM yang mengacu pada DUHAM, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan konvensi internasiona lainnya, seperti hak: kebebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi, hak bebas dari penyiksaan, bebas dari penangkapan dan perlakuan dihukum secara tidak manusiawi dan sewenang-wenang, hak terhindar dari diskriminasi dalam hukum, hak kewarganegaraan, dan tidak mencakup hak-hak korban seperti ketersediaan mekanisme pemulihan dan kompensasi.

 

Demi mencegah dan meminimalisir permasalahan di atas, dalam dokumen DIM, KontraS memberikan usulan yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

  1. Sebelum RUU disahkan, DPR – RI harus membuka kesempatan untuk mendorong diskusi ratifikasi dan adopsi isi beberapa instrumen internasional, seperti:
    • Meratifikasi Instrumen Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional guna melihat peta ‘kejahatan yang amat serius dan/atau luar biasa’ secara seimbang dengan dinamika hukum internasional yang telah dikembangkan secara universal.
    • Ratifikasi Konvensi Perdagangan Senjata (The Arm Trade Treaty) dimana Indonesia belum meratifikasi demi mencegah dan menghapuskan praktik perdagangan senjata api ilegal.
  2. Menerapkan prinsip PLAN (Proporsionalitas, Legalitas, AKuntabilitas, dan Nesesitas) yang telah dikenal luas dalam sistem penegakan hukum di negara demokratik di dunia dan juga telah termaktub dalam Perkap No. 8 Tahun 2009 yang dikenal dengan Perkap HAM. Prinsip tersebut demi membantu operasionalisasi yang lebih jelas terhadap frasa-frasa yang masih rancu di dalam RUU.
  3. Segera menerbitkan RUU yang dapat menjadi safeguard RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, seperti:
    • RUU tentang Tindak Pidana Penyiksaan demi menjamin tidak terjadinya praktik penyiksaan dalam proses pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama terhadap pasal-pasal yang rentan menyebabkan praktik penyiksaan terjadi.
    • RUU tentang Penyadapan dan Perlindungan Data Pribadi yang dapat menjadi payung hukum pasal penyadapan dalam RUU
    • RUU Perbantuan Khusus yang dapat lebih memberikan kejelasan dalam fungsi perbantuan TNI
    • RUU Peradilan Militer untuk memberikan evaluasi dan mencegah tindak kesewang-wenangan TNI dalam melakukan pelanggaran hukum atas nama pemberantasan tindak pidana Terorisme.

 

Jakarta, 23 Juni 2016

Badan pekerja KontraS

 

 

Haris Azhar, MA

Koordinator

 

CP: Mulki – 081361338235