Kuliah Umum HAM: Kota, Ingatan dan Sejarah Praktik Kekerasan

Kuliah Umum HAM: Kota, Ingatan dan Sejarah Praktik Kekerasan

 

Sabtu (28/5), KontraS menggelar Kuliah Umum HAM di Brownbag Coffeeshop, Menteng Central, Jakarta. Kuliah Umum HAM ini melibatkan beberapa narasumber dan praktisi yang mumpuni di bidang pengelolaan kota, relasi warga dan tentu saja bagaimana hak-hak asasi manusia dikelola dalam relasi publik dan arena kota. Ada Haris Azhar, Dr. Robertus Robet dan John Muhammad yang memberikan perspektif pemahaman dan ilustrasi. Acara ini merupakan lanjutan dari agenda kampanye #MasihIngat dan paket City Tour: Kenali Kotamu yang dilakukan di 3 kota yakni Jakarta, Solo dan Aceh dibulan Mei yang kebetulan juga dikenal sebagai Bulan Reformasi 1998 di Indonesia.

Diskusi dipandu oleh Puri Kencana Putri. Haris Azhar yang juga adalah Koordinator KontraS menerangkan bahwa hak asasi manusia belum menjadi bagian dari semangat, proses dan tujuan dari segala bentuk kebijakan maupun operasionalisasi kebijakan pengelolaan tata ruang kota, termasuk di dalamnya adalah di Jakarta. Semua kebijakan dan proses yang selalu direproduksi membangun sentimen kesenjangan. Masalahnya hal ini selalu didiamkan dan diabaikan. Pernyataan yang disampaikan oleh Azhar dikerangkakan oleh John Muhammad yang juga merupakan arsitek dan praktik tata kelola kota.

Patut diketahui bahwa sepanjang Orde Baru berkuasa telah dibangun 45 museum dan 29 monumen yang tersebar di seluruh Indonesia. Temuan ini menarik dan sekaligus mengejutkan. Bagaimana sebuah orde otoritarian melakukan tindakan untuk mengekalkan kekuasaannya tidak saja melalui kebijakan namun juga melalui bentuk intervensi di ranah publik dan menguasai arena kota. Dari paparannya jelas John Muhammad ingin membuktikan bahwa Orde Baru tidak pernah tumbang. Ia hadir dan nyata di tengah publik, sebagai ingatan kuat yang cenderung masih menguasai opini hari ini.

Dr. Robertus Robet memberikan pernyataan bahwa sikap negara yang condong anti intelektualisme kemudian memberikan kerugian signifikan kepada publik untuk mencari tahu bagaimana praktik-praktik kekerasan, diskriminasi condong ditutupi dengan lebih menguatnya praktik desas desus, gosip, rumor yang kerap dijadikan landasan kebijakan reaktif yang jauh lebih populer hadir dan menguat di Indonesia.