Negara Harus Bertanggung Jawab Dalam Kejahatan Vaksin Palsu

Negara Harus Bertanggung Jawab

Dalam Kejahatan Vaksin Palsu

Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu, Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) amat menyayangkan respons pemerintah dan pihak rumah sakit yang menganggap enteng penanganan masalah vaksin palsu. Kami mengingatkan bahwa kejahatan ini merupakan bentuk kejahatan yang melanggar hak yang dijamin dalam pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Kejahatan ini merendahkan kesehatan anak-anak dan mengancam kesehatan mereka dimasa depan.

Berdasarkan pemantauan dan informasi yang kami kumpulkan, diduga rantai kejahatan bisnis vaksin palsu memiliki kaitan dengan jalur suplai, distribusi resmi, serta badan-badan pemantau dari pihak pemerintah melalui pedagang besar farmasi. Adanya korban yang terverifikasi terkena vaksin palsu oleh pihak Bareskrim Polri, namun dengan yakin telah melakukan pembayaran melalui kasir RS Harapan Bunda, mengindikasikan adanya peran dari pihak rumah sakit dalam pengaturan distribusi vaksin palsu ke dalam sistem rumah sakit. Meski demikian, sampai saat ini belum ada informasi yang masyarakat dapatkan terkait alur peredaran vaksin palsu secara jelas. Peran pengawasan yang lemah dari Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, dan BPOM juga memberikan celah yang besar bagi keberlangsungan bisnis ini.

Secara tegas, jaminan hak atas kesehatan bagi warga negara terdapat dalam Pasal 12  ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang memaksa negara peserta konvenan untuk mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental, dan ayat (2.a) untuk memberikan jaminan atas perkembangan anak yang sehat. Dalam hal ini, tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia juga memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 ayat (1) ICESCR. Konvensi Hak atas Anak (CRC) yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia juga mensyaratkan ketersediaan sistem rujukan informasi, teknologi, pendidikan yang cukup guna menjamin sistem kesehatan kepada anak-anak (Pasal 24 ayat 2).

Tidak hanya itu, semangat hak atas kesehatan, termasuk segala bentuk kewajiban pemerintah untuk melindungi dan melakukan pengawasan terhadap pemenuhannya, sudah dituangkan dengan jelas dalam UU Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), UU Rumah Sakit (UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit), UU Tenaga Kesehatan (UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan), UU Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak), Permenkes No. 42 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, Permenkes No. 9 tahun 2014 tentang Klinik, Permenkes No. 16 tahun 2013 tentang Industri Farmasi, Permenkes No. 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, Permenkes No. 34 tahun 2014 tentang Pedagang Besar Farmasi, Permenkes No. 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Kepmenkes No. 830/Menkes/SK/IX/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyediaan Obat dan Vaksin dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, Perka BPOM No. Hk.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, Perka BPOM No. Hk.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik, Perka BPOM No. 39 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Publik di Lingkungan BPOM, dan Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB). Dengan demikian, negara ini sudah memiliki instrumen hukum yang cukup lengkap dan memberikan mandat pada pemerintah untuk melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap mutu dari tenaga dan fasilitas kesehatan. Hal tersebut harus dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak masyarakat atas standar tertinggi kesehatan. Jika permasalahan terhadap pemenuhan tersebut sudah berlangsung sejak lama, maka terdapat kelalaian dan pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pemerintah secara sengaja.

Sementara dalam konsep bisnis dan hak asasi manusia, negara lagi-lagi tidak dapat mengelak bahwa rantai kejahatan vaksin palsu tersebut secara jelas juga melibatkan tanggung jawab negara untuk menjamin perlindungan HAM bagi warga negara atas aktivitas bisnis pengadaan vaksin, mulai dari penerbitan regulasi, pengawasan, dan tindakan hukum atas pelanggaran, hingga menjamin tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi korban kejahatan vaksin palsu. Sudah seharusnya terdapat pertanggungjawaban dari berbagai pihak yang terlibat termasuk negara, perusahaan/penyedia (pelaku bisnis), dan kelompok profesi (dokter) dalam menggunakan standar pemenuhan HAM dalam tugas dan kerja bisnis serta profesinya.

Dalam kasus ini, negara telah gagal untuk menjamin pemenuhan hak atas standar kesehatan tertinggi yang dialami oleh korban kejahatan vaksin palsu. Terlebih juga terdapat rantai distribusi peredaran vaksin palsu yang di dalamnya ada peran Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, hingga BPOM. Juga mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Upaya penegakan hukum yang dilakukan juga nyata-nyata belum menyentuh pertanggungjawaban negara dalam kasus kejahatan vaksin palsu, serta cenderung mengkerdilkan kasus ini menjadi kejahatan antara produsen vaksin palsu dan pihak rumah sakit/klinik, namun belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin tersebut secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang terjadi sejak belasan tahun tersebut.

Dalam situasi yang tidak menentu saat ini, sejak 18 Juli 2016, keberadaan crisis centre yang didirikan oleh orang tua anak-anak korban vaksin palsu justru semakin dipersulit. Crisis Centre ini dilarang oleh pihak-pihak keamanan rumah sakit, polisi cenderung pasif ketika berada di lokasi bahkan diancam dikriminalkan oleh Kapolri. Sekali lagi, crisis centre ini merupakan upaya solidaritas orang tua korban untuk mendorong pihak RS Harapan Bunda bertanggung jawab atas praktik pemberian vaksin palsu. Pihak rumah sakit pun belum merespon sama sekali tuntutan yang diajukan Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu.

Di samping itu, pihak Kementerian Kesehatan dan Bareskrim tidak memberikan surat pemanggilan atau bukti resmi lainnya terkait pelaksanaan vaksin ulang tanggal 18 dan 19 Juli 2016 di RS Harapan Bunda. Adapun hingga saat ini orang tua korban di luar 44 anak yang sudah terverifikasi vaksin palsu belum juga mendapatkan kejelasan mengenai pertanggungjawaban yang akan diberikan pihak rumah sakit serta pemerintah kepada anak-anak mereka.

Respon negara sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; mengganti vaksin palsu dengan vaksinasi ulang. Padahal, ini bukan masalah hilang permen diganti dengan cokelat, namun kejahatan terhadap masa-masa terbaik si anak dalam menerima vaksin sebagai bagian dari masa pertumbuhannya. Ironisnya, cara berpikir seperti ini justru diamini oleh Presiden Joko Widodo.

 

Oleh karena itu, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, Presiden memberikan perhatian yang serius dengan menginstruksikan Kepala Kepolisian RI untuk membongkar kasus kejahatan vaksin palsu yang sudah berlangsung bertahun-tahun sampai ke akar-akarnya. Sehingga adanya investigasi yang mendalam guna memutus rantai kejahatan bisnis vaksin palsu yang memiliki kaitan dengan jalur suplai, distribusi resmi serta badan-badan pemantau dari pihak pemerintah serta memastikan berlangsungnya upaya hukum yang akuntabel dan profesional atas pelaku kejahatan vaksin palsu yang selama ini terjadi ke meja hukum.

Kedua, Menteri Kesehatan Republik Indonesia untuk membuat posko pengecekan kesehatan secara detil dan terbuka kepada anak-anak yang melakukan vaksinasi di RS Harapan Bunda tak terhenti hanya pada satu vaksin saja. Sebab, sampai saat ini belum adanya kepastian dari Kemenkes apakah hanya satu vaksin yang terbukti palsu. Kemenkes harus segera melakukan pembenahan total terhadap sistem pengawasan farmasi di fasilitas kesehatan dengan melakukan validitas dan reliabilitas terhadap distributor-distributor farmasi resmi.

Ketiga, Direktur RS Harapan Bunda secara terbuka menjawab dan memenuhi tuntutan-tuntutan orang tua korban vaksin palsu tanpa adanya diskriminasi serta menjamin upaya pemulihan yang efektif bagi para korban.

Keempat, Komnas HAM, Ombudsman RI, KPAI, dan LPSK untuk segera merespon kelalaian yang dilakukan baik dari rumah sakit, maupun lembaga negara yang lamban menanggapi kasus vaksin palsu. Selanjutnya, melakukan koordinasi antar lembaga penegak hukum untuk mengambil tindakan guna mendorong proses hukum yang adil, memastikan berjalannya akses pemulihan yang efektif bagi korban, hingga adanya jaminan tidak kembali muncul masalah serupa dikemudian hari.

 

 

Jakarta, 20 Juli 2016

 

Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)