Belajar dari Kasus Yusman (Nias): Pemerintah Indonesia Harus Evaluasi Penerapan Hukuman Mati di Indonesia

Belajar dari Kasus Yusman (Nias): 

Pemerintah Indonesia Harus Evaluasi Penerapan Hukuman Mati 

 di Indonesia

KontraS meminta pemerintah sekali lagi memikirkan langkah-langkah yang tepat dan rasional serta berimbang sebelum melakukan eksekusi hukuman mati (gelombang ketiga). Dalam catatan KontraS, hampir dalam berbagai proses hukum yang dijalani terpidana mati, terutama sebelum divonis hukuman mati, mengalami berbagai kecacatan proses hukum (acara), diantaranya pada kasus Yusman Telambanua (Nias) dan Ruben Patasambo dan Anaknya (Tana Toraja).

Eksekusi hukuman mati gelombang ketiga, dan dua gelombang sebelumnya, dilaksanakan pada mereka yang terlibat dalam kejahatan narkoba. Alasan Narkoba dijadikan dasar pembenar dan kampanye ke masyarakat sebagai tindakan tegas. Namun sekalli lagi alasan ini tidak membenarkan penegak hukum untuk tidak memperhatikan hukum acara yang seharusnya diberlakukan. KontraS mendapatkan indikasi kuat bahwa pemberian vonis dan eksekusi hukuman mati merupakan bentuk populisme semata dari kuatnya tekanan media dan publik yang direspon oleh Pengadilan dan Kejaksaan Agung untuk kemudian mengeksekusi. Hal ini terjadi pula pada berbagai kasus non narkoba, sebagaimana kasus Yusman dan Ruben Cs. Kasus keduanya menarik perhatian masyarakat Nias dan Toraja, dan Penyidik, Penuntut Umum dan Pengadilan mempercepat penanganan tanpa profesionaliatas yang baik. Akibatnya hukuman mati dijatuhi dengan berbagai kesalahan hukum (acara).

Dalam waktu dekat, KontraS sebagai kuasa hukum Yusman, akan melakukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Pada 23 Juni 2016 KontraS telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas vonis mati yang dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Negeri Gunungsitoli. Adapun alasan – alasan Permohonan Peninjauan Kembali dalam permohonan Peninjauan Kembali atas Terpidana Mati Yusman Telaumbanua, adalah sebagai berikut: Adanya keadaan baru (novum) terkait dengan usia Terpidana pada saat dijatuhi vonis mati oleh Majelis Hakim Pengdilan Negri Gunungsitoli, yang mana dalam hasil pemeriksaan Radiologi Forensik yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, pada saat dilakukan pemeriksaan terhadap Yusman Telaumbanua pada tanggal 16 November 2015 menyimpulkan bahwa estimasi usia pasien Yusman Telaumbanua berdasarkan metode dental adalah 18,4 – 18,5 tahun, yang ditunjang dengan metode sinus paranasal dan Hand Wrist. Bahwa dengan diketahuinya usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan pada tanggal 16 November 2015 adalah berusia 18 – 19 tahun. Maka dengan demikian, pada saat terjadinya tindak pidana sebagaimana yang disangkakan oleh Penyidik, JPU, dan Putusan Pengadilan yakni pada 4 April tahun 2012 usia Yusman sekitar 15 – 16 tahun, alias dibawah umur dan tidak boleh dijatuhi hukuman mati. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pemalusan data usia Yusman Telaumbanua. Lebih lanjut dalam kasus Yusman, tidak adanya proses pendampingan hukum pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan; adanya tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik; dan tidak adanya penterjemah bahasa. Fakta-fakta ini semua diabaikan oleh Majelis Hakim PN Gunungsitoli dan tetap menjatuhkan vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua.

Yusman Telaumbanua terpidana yang dijatuhi vonis mati merupakan contoh buruk dari mekanisme pemidanaan di Indonesia yang dipaksakan tanpa diikuti dengan standar-standar peradilan yang jujur dan adil. Indonesia sebagai negara pihak dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik wajib tunduk pada Pasal 6 dan Pasal 14. Tafsir Pasal 6 harus dilakukan progresif kepada negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati untuk bisa memberikan ukuran ketat pada pemberian vonis. Jika terdapat kategori hak-hak asasi dari ICCPR yang terlanggar, maka hukuman mati tidak boleh dilakukan.

Dari kasus Yusman Telaumbanua yang merupakan anak dibawah umur yang dijatuhi vonis mati juga menggambarkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rawan akan kekeliruan. Pemerintah perlu berbesar hati untuk mau melakukan otokritik dan mengevaluasi diri melihat praktek-praktek penerapan dan eksekusi hukuman mati yang penuh kesalahan. Selain mengajukan PK, kami berharap Presiden RI dan Ketua Mahkamah Agung bisa membentuk tim evaluasi sistem hukum yang memiliki implikasi pelanggaran hak-hak fundamental setiap individu.

Jakarta, 23 Juli 2016

Haris Azhar, S.H., M.A.

Koordinator KontraS

CP: Arif Nur Fikri 0815.1319.0363