Surat Terbuka: Desakan Penanganan Kejahatan dan Pelanggaran HAM Vaksin Palsu

No       : 282/SK-KontraS/VII/2016

Hal       : Surat Terbuka Desakan Penanganan Kejahatan dan Pelanggaran HAM Vaksin Palsu

 

Kepada Yang Terhormat

Ketua KOMNAS HAM RI

M. Imdadud Rahmat

Di Tempat

 

Dengan hormat

Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu bersama dengan Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan ini bermaksud mengadukan tindak kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam skandal kasus vaksin palsu.

Pengaduan ini didasarkan pada sejumlah kewenangan yang dimiliki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga negara indepeden yang berwenang untuk melakukan  pemantauan, penyelidikan dan pengawasan atas jaminan perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM (Pasal 76, Pasal 89 ayat 3 UU No 39/1999).

Bahwa hak anak dijamin sebagai hak asasi yang diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sehak dalam kandungan (Pasal 52 UU No.39/1999) dan secara spesifik UU 39/1999 menjamin hak anak untuk memperoleh layanan kesehatan secara layak (Pasal 62 UU No.39/1999).

Bahwa secara progresif, hak atas kesehatan juga diatur di dalam Pasal 12  ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang memaksa negara peserta konvenan untuk mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental, dan ayat (2.a) untuk memberikan jaminan atas perkembangan anak yang sehat. Dalam hal ini, tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia juga memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 ayat (1) ICESCR.

Bahwa Konvensi Hak atas Anak (CRC) yang juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia juga mensyaratkan ketersediaan sistem rujukan informasi, teknologi, pendidikan yang cukup guna menjamin sistem kesehatan kepada anak-anak (Pasal 24 ayat 2)

 

Bahwa berdasarkan pada dasar hukum dan  HAM sebagaimana tersebut, kami menyampaikan dugaan kejahatan dan pelanggaran HAM, serta minimnya respon pemerintah dan rumah sakit dalam penanganan masalah vaksin palsu. Hal ini berdasarkan pada;

Pertama, bahwa berdasarkan pemantauan dan informasi yang kami kumpulkan, diduga rantai kejahatan bisnis vaksin palsu memiliki kaitan dengan jalur suplai, distribusi resmi, serta badan-badan pemantau dari pihak pemerintah melalui pedagang besar farmasi. Adanya korban yang terverifikasi terkena vaksin palsu oleh pihak Bareskrim Polri, namun dengan yakin telah melakukan pembayaran melalui kasir RS Harapan Bunda, mengindikasikan adanya peran dari pihak rumah sakit dalam pengaturan distribusi vaksin palsu ke dalam sistem rumah sakit.

Kedua, bahwa sampai dengan saat ini belum ada informasi yang masyarakat dapatkan terkait alur peredaran vaksin palsu secara jelas. Peran pengawasan yang lemah dari Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, dan BPOM juga memberikan celah yang besar bagi keberlangsungan bisnis ini.

Ketiga, bahwa upaya penegakan hukum yang dilakukan juga nyata-nyata belum menyentuh pertanggungjawaban negara dalam kasus kejahatan vaksin palsu, serta cenderung mengkerdilkan kasus ini menjadi kejahatan antara produsen vaksin palsu dan pihak rumah sakit/klinik, namun belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin tersebut secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang terjadi sejak belasan tahun tersebut.

Keempat, bahwa dalam situasi yang tidak menentu saat ini, sejak 18 Juli 2016, keberadaan Crisis Centre yang didirikan oleh orang tua anak-anak korban vaksin palsu justru semakin dipersulit. Crisis Centre ini dilarang oleh pihak-pihak keamanan rumah sakit, polisi cenderung pasif ketika berada di lokasi bahkan diancam dikriminalkan oleh Kapolri.  Bahwa Crisis Centre merupakan upaya solidaritas orang tua korban untuk mendorong pihak RS Harapan Bunda bertanggung jawab atas praktik pemberian vaksin palsu. Pihak rumah sakit pun belum merespon sama sekali tuntutan yang diajukan Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu.

Kelima, bahwa pihak Kementerian Kesehatan dan Bareskrim tidak memberikan surat pemanggilan atau bukti resmi lainnya terkait pelaksanaan vaksin ulang tanggal 18 dan 19 Juli 2016 di RS Harapan Bunda. Adapun hingga saat ini orang tua korban di luar 44 anak yang sudah terverifikasi vaksin palsu belum juga mendapatkan kejelasan mengenai pertanggungjawaban yang akan diberikan pihak rumah sakit serta pemerintah kepada anak-anak mereka.

Keenam, bahwa respons negara sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; mengganti vaksin palsu dengan vaksinasi ulang. Padahal, dalam hal ini bukan pergantian vaksin semata, namun telah terjadi kejahatan terhadap masa-masa terbaik si anak dalam menerima vaksin sebagai bagian dari masa pertumbuhannya. Ironisnya, cara berpikir seperti ini justru diamini oleh Presiden Joko Widodo.

Ketujuh, bahwa dalam konsep bisnis dan hak asasi manusia, negara lagi-lagi tidak dapat mengelak bahwa rantai kejahatan vaksin palsu tersebut secara jelas juga melibatkan tanggung jawab negara untuk menjamin perlindungan HAM bagi warga negara atas aktivitas bisnis pengadaan vaksin, mulai dari penerbitan regulasi, pengawasan, dan tindakan hukum atas pelanggaran, hingga menjamin tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi korban kejahatan vaksin palsu. Sudah seharusnya terdapat pertanggungjawaban dari berbagai pihak yang terlibat termasuk negara, perusahaan/penyedia (pelaku bisnis), dan kelompok profesi (dokter) dalam menggunakan standar pemenuhan HAM dalam tugas dan kerja bisnis serta profesinya.

Kedelapan,  bahwa dalam kasus ini, negara telah gagal untuk menjamin pemenuhan hak atas standar kesehatan tertinggi yang dialami oleh korban kejahatan vaksin palsu. Terlebih juga terdapat rantai distribusi peredaran vaksin palsu yang di dalamnya ada peran Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, hingga BPOM. Juga mengacu pada Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No.35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

 

Bahwa berdasarkan uraian diatas, kami mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan tindakan sebagai berikut:

  1. Melakukan pemantauan dan penyelidikan atas temuan-temuan hasil pemantauan Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu, KontraS, dan YLBHI terkait dengan pelanggaran hak atas kesehatan yang dialami korban vaksin palsu RS Harapan Bunda, termasuk proses penanganan yang belum memadai;
  2. Memanggil pihak-pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban dan keterangan, baik pihak pemerintah, perusahaan/penyedia, rumah sakit dan individu terkait lainnya yang terkait, sebagaimana telah diuraikan di atas, guna memastikan adanya pertanggungjwaban negara dan rumah sakit secara menyeluruh, sistematis dan berkelanjutan atas penagangan kasus ini;
  3. Mengeluarkan rekomendasi penyelesain kasus ini dalam kerangka pemenuhan jaminan hak atas anak atas kesehatan, akses keadilan bagi keluarga korban dan pemulihan yang efektif, dan memastikan tunduknya pelaku bisnis (rumah sakit, perusahaan, penyedia) dan kelompok profesi (dokter) terhadap standar hak asasi manusia;
  4. Melakukan koordinasi dengan lembaga/institusi negara terkait, seperti Ombudsman RI, Kepolisian RI, Kementerian Kesehatan dan Presiden guna memastikan adanya layanan yang maksimal bagi korban dan keluarga, proses hukum yang adil, berjalannya akses pemulihan, dan jaminan tidak kembali muncul masalah serupa dikemudian hari.

 

 

Jakarta, 25 Juli 2016

 

Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

 

CP:

Kiki (KontraS) 085714430001

August Siregar (Aliansi Orang Tua Korban Vaksi Palsu) 08129659003