Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016: Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!!

Pelaksanaan Eksekusi Tahap III Juli 2016:

Jaksa Agung Melanggar Hukum dan HAM!!

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Masyarakat mengecam rencana pemerintah Indonesia yang tetap akan melakukan eksekusi Mati tahap III dini hari ini (29/07). Pasca notifikasi diberlakukannya notifikasi 3×24 jam pada hari Selasa, 26 Juli 2016 maka rencana pelaksaan eksekusi mati dini hari telah melanggar batas waktu dari yang seharusnya masih dimiliki oleh para terpidana mati untuk menunggu upaya hukumnya yakni Grasi diputus oleh Presiden, apakah diterima atau ditolak. Namun Jaksa Agung justru mempercepat pelaksanaan eksekusi mati.

Tindakan terburu-buru Jaksa Agung untuk mengeksekusi para terpidana mati tersebut menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan hasil proses pemantauan dan pendampingan yang dilakukan terhadap keluarga korban terpidana mati Tahap III ini, kami mencatat terdapat adanya aturan-aturan hukum dan HAM yang dilanggar oleh Jaksa Agung, diantaranya:

Pertama, Hingga malam ini Kejaksaan Agung belum mengumumkan secara resmi nama-nama terpidana mati yang akan dieksekusi pada Tahap III ini. Meski Kejaksaan Agung sudah menyampaikan notifikasi 3×24 jam pelaksaan eksekusi mati oleh pihak Kejaksaan Agung kepada pihak Kedutaan, namun tidak ada nama-nama terpidana mati yang disebutkan saat notifikasi disampaikan secara terang dan resmi;

Kedua, Jika pelaksanaan eksekusi benar dilaksanakan malam ini, maka Jaksa Agung telah melakukan pelanggaran hukum mengingat Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer mensyaratkan adanya notifikasi 3×24 jam untuk memberitahukan pelaksanaan eksekusi tersebut kepada para terpidana mati.

Ketiga, Beberapa terpidana mati yang potensial akan dieksekusi mati malam ini telah mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden RI Joko Widodo, diantaranya Zulfikar Ali (WN Pakistan), Agus Hadi, Pujo Lestari, Merry Utami (WN Indonesia) dan Humprey Jefferson (WN Nigeria). Mengacu pada Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi dinyatakan bahwa “Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana”. Dengan demikian seharusnya Jaksa Agung tidak melakukan rencana eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih belum selesai proses hukumnya.

Keempat, Kondisi kesehatan Zulfikar Ali yang kian memburuk baik dengan dan tanpa eksekusi mati, tanpa penanganan medis yang memadai adalah bukti bahwa negara bersalah membiarkan dan menggunakan instrumen koersifnya untuk memaksakan suatu tindakan yang dilarang hukum!

Dari lapangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan lain yang masih belum bisa disampaikan, karena terkait dengan keselamatan dari para terpidana mati, namun akan kami sampaikan dalam tempo cepat.

Pengingkaran-pengingkaran di atas adalah bukti bahwa Jaksa Agung HM. Prasetyo yang masih dipertahankan oleh Presiden RI dalam berbagai skema reshuffle terbukti potensial melakukan tindakan melanggar hukum Indonesia. Gelar pasukan TNI dan Polri, ambulans, dokter, menjadikan Nusa Kambangan sebagai obyek tontonan juga adalah tindakan tidak terpuji.

 

 

Nusa Kambangan, 28 Juli 2016

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM)