#MasihIngat 18 Tahun DOM Aceh

#MasihIngat 18 Tahun DOM Aceh

Mengingat 18 tahun dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di Provinsi Aceh sama dengan mengingat 18 tahun lamanya luka akibat konflik tersebut belum pernah diobati oleh Negara yang katanya menjunjung demokrasi, hukum dan HAM.

Operasi militer ini ditujukan untuk menumpas Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di bawah pimpinan Teungku Hasan Di Tiro pada 3 kabupaten, yakni Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie. Namun dalam pelaksanaannya, pasukan pemerintah melakukan pelanggaran HAM dalam skala besar dan sistematis kepada masyarakat sipil. Terhitung mulai 1990 sampai 1998—selama pemberlakuan DOM, terdapat ribuan orang ditangkap dengan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum dan diantara mereka ada yang telah dibunuh dalam eksekusi di depan umum. Ratusan perempuan mengalami tindak kekerasan dan/atau pelecehan seksual oleh aparat militer. Banyak juga diantara mereka yang pada akhirnya kehilangan tempat tinggal (mengungsi) karena rumahnya dibakar.

Dalam perjuangan panjang korban dan masyarakat sipil membongkar mata rantai impunitas di Aceh, akhirnya sebuah komisi kebenaran mulai dibentuk dibawah Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh. Komisi ini mampu mendorong pengungkapan kebenaran atas kejahatan HAM yang terjadi sepanjang pelaksanaan rangkaian operasi militer di Aceh dan merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM, sesuai dengan standar universal yang berkaitan dengan hak-hak korban. Pada 19 Juli 2016, 7 nama dinyatakan lulus oleh Komisi I DPR Aceh dan berhak diajukan kepada Pimpinan DPR Aceh untuk ditetapkan sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Sementara itu, KKR bukanlah subtitusi melainkan bersifat komplementer dengan pengadilan HAM. Rekonsiliasi tidak menggugurkan kewajiban negara untuk tetap menghukum pelaku pelanggaran HAM yang berat, terutama bagi mereka yang bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan kesepakatan Pemerintah RI dan GAM dalam MoU Helsinki, yang lalu dituang dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun sejak DOM hingga Damai Aceh, Negara masih absen dalam penyelesaian masalah pelanggaran HAM. Bahkan jendral-jendral yang disebut bertanggungjawab, melenggang bebas di dalam kekuasaan negara. Hari ini, kita melihat Wiranto menjadi Menteri Politik Hukum dan Keamanan. Padahal Wiranto diduga bertanggungjawab dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat. Bahkan dalam laporan Komnas HAM terkait peristiwa Simpang KKA di Aceh, nama Wiranto disebutkan sebagai salah satu orang yang bertanggungjawab sebagai Panglima ABRI pada saat itu.

Oleh karenanya, kami menyerukan agar :

  1. Pemerintah Aceh segera melantik Komisioner KKR Aceh,
  2. Pemerintah Aceh dan pusat mendukung sepenuhnya lembaga KKR Aceh baik politik dan finansial, serta
  3. Jaksa Agung segera melakukan penyidikan atas 2 peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh

 

 

Jakarta, 8 Agustus 2016

Badan Pekerja KontraS,

 

Haris Azhar, S.H., MA

Koordinator