11 Tahun MoU Helsinki: Pemenuhan Hak-Hak Korban Belum Terlaksana

11 Tahun MoU Helsinki
Pemenuhan Hak-Hak Korban Belum Terlaksana

 

Pada momentum peringatan 11 tahun MoU Helsinki, KontraS mengingatkan kewajiban pemerintah tentang pemenuhan hak-hak korban; hak atas kebenaran (right to know-the truth); keadilan (right to justice); reparasi (right to remedy/reparation) dan jaminan tidak berulangnya kejahatan tersebut di masa kini dan di masa yang akan datang. Seperangkat kewajiban tersebut mengikat pemerintah dan yang melandasi perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia 11 tahun lalu dan diadopsi secara penuh di dalam penandatanganan MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Salah satu point yang disepekati adalah pembentukan KKRA (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh) dan Pengadilan HAM.

Sejauh ini sudah ada kemajuan dalam proses pembentukan KKR Aceh. Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh sebagai landasan hukum pembentukan KKR Aceh. Capaian yang berarti juga dengan dipilihnya 7 (tujuh) Komisioner KKR Aceh oleh Komisi I DPRA pada Juli 2016. Namun 7 (tujuh) Komisioner tersebut belum dapat bekerja sebelum dilantik. Atas dasar itu, KontraS mendorong DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) dan Gubernur Aceh melaksanakan Sidang Paripurna Istimewa dan pelantikan Komisioner KKRA-agar dapat segera bekerja menjalankan tugas dan fungsinya.

Di samping itu, kerja Komnas HAM dan Kejaksaan Agung juga diharapkan dapat mempercepat proses penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan projustisia terhadap 5 kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh; Kasus Rumoh Geudong, Kasus Simpang KKA, Kasus Jambo Keupok, Kasus Bumi Flora, dan Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa di Bener Meriah. Dari lima kasus tersebut, yang sudah rampung sebagai sebuah penyelidikan pro-justisia kasus Simpang KKA dan Jambu Keupok. Kedua kasus tersebut sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ketahap penyidikan. Kita berharap Kejaksaan Agung menindaklanjuti dan menyelesaikan kasus-kasus tersebut ke proses hukum.

Dalam konteks nasional, saat ini memang dihadapkan pada tantangan dengan dipilihnya Wiranto sebagai Menkolpohukam. Karena jabatan Menko Polhukam memiliki peran strategis dalam menentukan arah kebijakan melalui peran koordinasi dan sinkronisasi, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010, termasuk dalam mengarahkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Posisi strategis yang dipegang oleh Wiranto tersebut dikuatirkan akan menjadi penghalang proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh-mengingat Wiranto memiliki permasalahan serius dalam dunia penegakan hak asasi manusia. Ketika Daerah Operasi Militer (DOM) masih berlangsung di Aceh, Wiranto merupakan salah satu petinggi ABRI (Pangkostrad 1996; KSAD 1997; dan Panglima ABRI 1998) yang mengetahui tentang kejahatan, praktik keji dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan kepada rakyat Aceh.

 

 

Jakarta, 15 Agustus 2016
Badan Pekerja KontraS

Haris Azhar, S.H., MA
Koordinator

 

Narahubung: Feri Kusuma 085370508497