71 Tahun Kemerdekaan Indonesia: Refleksi Bersama Atas Kepedulian dan Perjuangan Menuntut Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

71 Tahun Kemerdekaan Indonesia:
Refleksi Bersama Atas Kepedulian dan Perjuangan Menuntut Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Masih dalam hangat suasana perayaan 71 tahun kemerdekaan Indonesia, peserta Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (SeHAMA) 8 dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengajak publik untuk kembali merefleksikan segala bentuk perjuangan menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, baik yang terjadi di masa lalu hingga hari ini.

Sudah lebih tujuh dasawarsa Indonesia merdeka dan 18 tahun Reformasi, bangsa Indonesia mengalami banyak sekali peristiwa pelanggaran HAM yang belum selesai hingga hari ini. Kita selayaknya masih ingat pada peristiwa 1965, penculikan aktivis mahasiswa pada 1998, tragedi Trisakti, tragedi Semanggi 1 dan 2, peristiwa Tanjung Priok, kekejaman operasi militer di Aceh dan Papua, dan berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya. Sudah sering kita menyerukan pada pemerintah untuk menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM tersebut, tetapi hingga kini negara masih abai: rantai impunitas masih merajalela dan pelanggar HAM masih berkeliaran dengan bebas.

Ironisnya sampai hari ini pun segala bentuk pelanggaran HAM masih terjadi; sebagian bertransformasi bentuk, sebagian masih kental dengan nuansa militeristik masa lalu. Hari ini kita melihat bagaimana rakyat dirampas hak-haknya oleh negara yang berkomplot dengan korporasi. Kita menyaksikan nelayan diusir dari laut, petani dipaksa menjual sawah, buruh diabaikan haknya atas penghidupan yang layak, masyarakat miskin digusur dengan dalih pembangungan dan penataan, dan masih banyak lagi. Kita juga menyaksikan bagaimana militer dan kepolisian gemar merepresi ekspresi warga negara.

“Aksi ini digelar sebagai refleksi 71 tahun kemerdekaan RI, yang mana selama ini pemenuhan HAM masih belum terlaksana dan masih banyak pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum terselesaikan. Begitu juga pemenuhan HAM di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kita merasa negara masih menutup mata dan enggan turun tangan dalam kasus-kasus tersebut,” kata Anggar, koordinator lapangan aksi.

Peserta SeHAMA 8—dalam proses belajar yang telah dilalui bersama KontraS—menyaksikan bagaimana perjuangan melawan pelanggaran HAM ini telah lahir dari kelompok-kelompok masyarakat. Selalu ada insan-insan yang berjuang di setiap lini: gerakan tani, nelayan, buruh, komunitas masyarakat miskin kota, dan kelompok rentan lainnya yang peduli dan berjuang menuntut peran negara dalam pemenuhan hak asasi manusia.

“Peserta SeHAMA 8 sempat melakukan live in selama 3 hari dan kami melihat kondisi di lapangan. Ada kekosongan peran negara, misalnya dalam memenuhi hak-hak masyarakat miskin kota di bantaran Ciliwung yang terdampak kebijakan normalisasi sungai, pengabaian hak-hak buruh, nelayan di Muara Baru yang terkena reklamasi, petani di Rumpin yang berkonflik dengan militer, dan kelompok rentan lainnya. Dari kekosongan tersebut kami melihat adanya kelompok masyarakat yang berdaya, LSM-LSM atau komunitas yang gigih memperjuangkan, tapi kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana respon negara menyikapi aspirasi mereka?” kata Anggar.

Dalam konteks nasional, saat ini kita dihadapkan pada tantangan dengan berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang cenderung progresif linear serta mengabaikan hak-hak masyarakat atas sumber daya ekonomi, sosial, dan budaya. #Masihberjuang mengingatkan kita untuk terus memelihara ingatan dan semangat dalam perjuangan menuntut kehadiran negara dalam pemenuhan akan hak asasi manusia ini.

 

 

Jakarta, 20 Agustus 2016

 

Peserta SeHAMA 8

KontraS

 

CP: Anggar (081327649240)