Polri Harus Segera Melakukan Audit Terhadap SP3 Kasus Kebakaran Hutan Dan Lahan!

Polri Harus Segera Melakukan Audit Terhadap SP3 Kasus Kebakaran Hutan Dan Lahan!

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk segera melakukan audit atas terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 15 kasus pembakaran hutan yang melibatkan korporasi oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda Riau), secara akuntabel dan transparan dengan melibatkan elemen masyarakat sipil didalamnya.

Kami menilai, tindakan Polda Riau yang menerbitkan Surat Penghetian Proses Penyidikan (SP3) terhadap ke-15 perusahaan tersebut bertentangan dengan semangat menagih pertanggung-jawaban korporasi dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang telah mengakibatkan belasan orang meninggal dunia dan ratusan lainnya mengalami kerugian akibat pelanggaran hak atas lingkungan yang baik dan sehat.

Alasan Polda Riau menerbitkan SP3 dikarenakan adanya sengketa lahan antara perusahaan dan warga juga terkesan dibuat-buat dan sangat dipaksakan. Pada kenyataannya dilapangan, lahan yang disebut mejadi objek sengketa tersebut jelas-jelas digunakan dalam menjalani kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan selama ini. Terlebih terdapat fakta yang menguatkan kesan saling lempar tanggung-jawab antara pihak Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi dalam proses tersebut.

Secara jelas Pasal 88 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) juga menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya … menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Berdasarkan pasal tersebut, sudah semestinya Polda Riau menggunakan konsep pertanggung-jawaban mutlak (strict liabillity) terhadap korporasi pelaku kejahatan pembakaran hutan dan lahan.

Mandulnya penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan yang berkaitan dengan korporasi, juga menunjukkan lemahnya kualitas penyidikan yang dilakukan, di mana pola-pola penyidikan masih bersifat kaku dan hanya terpaku pada pemenuhan syarat formil belaka. Oleh karena itu dengan memanfaatkan perkembangan teori-teori hukum, aparat penegak hukum seharusnya dapat mewujudkan penyidikan yang progresif dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.

Belum tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi sejumlah korban pelanggaran HAM akibat kasus kebakaran hutan dan lahan juga semakin menunjukan abainya negara dalam upaya memenuhi hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh warga negaranya. Hal ini secara jelas menciderai rasa keadilan yang dimilik masyarakat, khususnya warga Riau yang menjadi korban kejahatan pembakaran hutan dan lahan.

 

Oleh karnanya, berdasarkan hal diatas kami merekomendasikan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut;

Pertama, melakukan pengkajian ulang secara akuntabel dan transparan atas penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap ke-15 perusahaan yang diduga terlibat dalam kejahatan pembakaran hutan dan lahan oleh Polda Riau, dengan mempertimbangan kepentingan umum/masyarakat dalam proses penegakan hukum yang dilakukan.

Kedua, sesegera mungkin melakukan audit hak asasi manusia dalam kasus kebaran hutan dan lahan, serta menjamin tersedianya akses pemulihan yang efektif bagi sejumlah korban pelanggaran HAM dalam kasus tersebut.

Ketiga, mendorong dibentuknya suatu upaya penegakan hukum yang terpadu guna menindak para pelaku kejahatan pembakaran hutan dan lahan, baik perseorang maupun perusahaan, guna menjamin ketidak-berulangan permasalahan tersebut dikemudian hari.

 

 

Jakarta, 29 Agustus 2016

Badan Pekerja,

 

Haris Azhar, SH. MA.

Koordinator KontraS