Surat Terbuka: Penanganan Kasus Vaksin Palsu Jalan di Tempat

Hal: Surat Terbuka “Penanganan Kasus Vaksin Palsu Jalan di Tempat”

 

Kepada Yang Terhormat

Menteri Kesehatan

Nila Djuwita Anfasa Moeloek

Di Tempat

 

Dengan hormat,

Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu bersama dengan Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui surat ini bermaksud menyampaikan desakan penyelesaian kasus vaksin palsu secara profesional, akuntabel dan transparan, khususnya berkenaan dengan penangangan vaksin palsu yang terjadi di RS Harapan Bunda, yang seharusnya ada dibawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan badan – badan pemerintah lainnya.

Kami kembali mengingatkan bahwa sesuai dengan Pasal 14 dan 15 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan pada pelayanan publik, termasuk bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Beredarnya vaksin palsu membuktikan adanya kelalaian Kementerian Kesehatan dan institusi pemerintah terkait lainnya atas pengawasan obat, alat kesehatan dan jaminan hak atas pelayanan dan penyelenggaran kesehatan lainnya.

Kewajiban pelayanan dan penyelenggaran hak atas layanan kesehatan telah mengikat pemerintah Indonesia, karena pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR),  Pasal 12 ayat (1) Kovenan tersebut memaksa negara peserta konvenan untuk mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental, dan ayat (2.a) untuk memberikan jaminan atas perkembangan anak yang sehat. Artinya, tanpa segala macam bentuk diskriminasi dan pengecualian.

Pembentukan Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu yang terdiri dari BPOM, IDAI, Kemenkes dan Bareskrim untuk penanganan kasus vaksin palsu adalah langkah positif, di mana Satgas disebutkan akan berkoordinasi dalam menanggulangi permasalahan vaksin palsu, baik untuk keperluan pemeriksaan laboratorium, maupun proses penegakkan hukum. Namun demikian, keluarga korban vaksin palsu masih terus mengalami kendala untuk dapat segera menyelesaiakan permasalahan yang dihadapi akibat dari praktik vaksin palsu, kinerja Satgas belum sepenuhnya hadir dan tanggap untuk menindaklanjuti dan menjembatani persoalan penyelesaian vaksin palsu yang dialami keluarga.

Kami menyayangkan beberapa hal terkait kinerja Satgas, diantaranya lambannya kinerja Satgas dalam merespon harapan keluarga korban, tidak terbukanya proses penanganan vaksin palsu, baik yang akan dilakukan, maupun yang sudah dilakukan. Kondisi tersebut menimbulkan keraguan dan kegelisahan terkait kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah vaksin palsu.

Upaya penegakan hukum yang dilakukan juga nyata-nyata belum menyentuh pertanggungjawaban negara dan korporasi dalam kasus kejahatan vaksin palsu, serta cenderung mengkerdilkan kasus ini menjadi kejahatan antara produsen vaksin palsu dan oknum dokter, namun belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin tersebut secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang terjadi sejak belasan tahun tersebut.

Kami juga menyayangkan tindakan negara yang sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; mengganti vaksin palsu dengan vaksinasi ulang. Padahal, dalam hal ini bukan pergantian vaksin semata, namun perlu dilakukannya penelitian dan pengkajian akan pengawasan yang lebih ketat serta perubahan kebijakan secara menyeluruh agar kasus serupa tidak berulang di kemudian hari. Dalam hal ini kami belum melihat keterlibatan negara secara nyata dalam memberikan penjelasan dan pendekatan kepada para korban vaksin palsu.

 

Di sisi lain, kami juga menemukan bahwa hilangnya tanggung jawab korporasi dan pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak korban. Hal ini berdasarkan pada;

Pertama, dalam beberapa hal, dilemparkannya tanggung jawab terhadap Satgas terkait korban vaksin palsu (terlampir), seperti landasan dasar penentuan korban vaksin palsu, daftar pasien yang diduga mendapat vaksin palsu sejak 2003. bahwa belum adanya pembuktian perihal waktu beredarnya vaksin palsu di RS Harapan Bunda. Beberapa kali RS Harapan Bunda mengatakan bahwa vaksin palsu beredar pada periode Maret – Juni 2016, tapi kami menemukan bahwa ada salah satu dari 44 nama anak yang terverifikasi oleh satgas mendapat vaksin palsu.

Kedua, bahwa pihak Satgas Kementerian Kesehatan dan Bareskrim tidak memberikan surat pemanggilan atau bukti resmi lainnya terkait pelaksanaan vaksin ulang tanggal 18 dan 19 Juli 2016 di RS Harapan Bunda. Adapun hingga saat ini orang tua korban di luar 44 anak yang sudah terverifikasi vaksin palsu belum juga mendapatkan kejelasan mengenai pertanggungjawaban yang akan diberikan pihak rumah sakit serta pemerintah kepada anak-anak mereka.

Ketiga, bahwa berdasarkan surat pernyataan yang dibuat oleh RS Harapan Bunda dengan nomor surat berita dalam pemberitaan media (Sindonews.com), pihak Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengaku telah menerima surat dari RS Harapan Bunda yang menyatakan bahwa biaya vaksinasi ulang akan ditanggung oleh pihak rumah sakit untuk korban yang terbukti terkena vaksin palsu. Kami merasa ini sikap yang terburu-buru. Di satu sisi, terjadi kesimpangsiuran informasi terkait nama anak-anak yang terkena dan terdampak vaksin palsu. Didukung pula dengan surat pernyataan RS Harapan Bunda Surat 630/Eks-Dir/RSHB/VII/2016 melalui dr. Seto Hanggoro bahwa RS Harapan Bunda akan bertanggung jawab terhadap korban di RS Harapan Bunda.

Keempat, bahwa tidak terdapat standar yang baku dalam mekanisme pembayaran atas pelayanan dan pembelian vaksin di RS Harapan Bunda. Hal ini dibuktikan dengan adanya empat (4) macam modus bukti pembayaran yang telah ditemukan oleh korban dalam transaksi vaksin; (1) Bukti pembayaran resmi di kasir, (2) Bukti pembayaran di ruang pemeriksaan dengan kuitansi tidak resmi, (3) Bukti pembayaran di ruang pemeriksaan dengan kuitansi yang diketik, kop resmi RS Harapan Bunda, menggunakan materai, dan ditandatangani oleh Dr. Indra Sugiarno, (4) pembayaran via m-banking ke nomor rekening pribadi suster, dan (5) tidak adanya bukti pembayaran yang dipegang oleh korban. Hal ini membuktikan bahwa secara administrasi terdapat kelalaian pihak RS dalam mengawasi pengadaan dan pembelian vaksin yang ada di RS Harapan Bunda.

Kelima, Kami meyakini bahwa kondisi botol vaksin yang diambil dari bekas limbah terkandung bakteri-bakteri karena tidak steril. Ini mengakibatkan imunitas dari anak-anak kami melemah dan rentan terhadap penyakit. Hal ini menegaskan bahwa persoalan vaksin palsu tidak terhenti pada perdebatan ada atau tidaknya dampak, melainkan meyakini bahwa vaksin palsu berasal dari bahan yang tidak steril. ini yang menjadi landasan kami, kalau pemulihan atas korban vaksin palsu harus dilakukan secara tepat dan menyeluruh, serta jaminan kesehatan harus diberikan untuk menangani dampak dari dugaan pemberian vaksin palsu.

Keenam, bahwa kami belum mengetahui respon dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta terhadap RS Harapan Bunda. Berdasarkan Pergub No 233 tahun 2014 dalam pasal 3(e) bahwa Dinas Kesehatan DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk pengawasan, pemantauan, pengendalian dan evaluasi sistem, upaya dan kegiatan pengembangan kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan serta pelayanan kesehatan. Pada bagian (x), Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga memiliki kewenangan untuk pelaporan, dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Kesehatan. Kami menduga Dinas Kesehatan DKI Jakarta melepas tanggung jawabnya karena kehadiran Satgas penanggulangan vaksin palsu seolah sudah mengambil alih masalah ini. Kami berharap ada sanksi yang tegas bagi Rumah Sakit Harapan Bunda terkait kelalaian peredaran obat yang masuk ke dalam rumah sakit.

Ketujuh, bahwa kami juga menyayangkan sikap Badan Pengawas Rumah Sakit yang tidak hadir dalam penangangan  kasus vaksin palsu. Berdasarkan PP 49 tahun 2013, BPRS Provinsi memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban rumah sakit maupun pasien, sampai kewenangan untuk melakukan inspeksi penegakan hak dan kewajiban rumah sakit maupun pasien yang nantinya disampaikan kepada BPRS Pusat.

Kedelapan, bahwa kami mempertanyakan kinerja BPOM dalam mengawasi peredaran obat di Indonesia. sebagaimana tugas dan fungsi BPOM sebagai badan pengawas, seharusnya kasus vaksin palsu bisa dicegah jika pengawasannya ketat.

 

Bahwa berdasarkan uraian diatas, kami mendesak Kementerian Kesehatan untuk melakukan tindakan sebagai berikut:

  1. Menindaklanjuti laporan dengan melakukan investigasi atas temuan-temuan hasil pemantauan Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu, KontraS, dan YLBHI terkait dengan ketiadaan tanggung jawab RS Harapan Bunda atas pemenuhan hak-hak korban;
  2. Memanggil pihak-pihak yang patut dimintai pertanggungjawaban dan keterangan, baik pihak pemerintah, perusahaan/penyedia, rumah sakit, dan individu terkait lainnya untuk dimintai keterangan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana telah diuraikan di atas, guna memastikan adanya pertanggungjwaban negara dan rumah sakit secara menyeluruh, sistematis dan berkelanjutan atas penagangan kasus ini;
  3. Mendorong penegakkan hukum atas kelalaian yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat dalam distribusi vaksin palsu;
  4. Membuat rekomendasi penyelesaian kasus ini dalam kerangka pelayanan publik yang baik serta pemenuhan jaminan hak anak atas kesehatan, memberikan akses keadilan bagi keluarga korban dan pemulihan yang efektif, dan memastikan tunduknya pelaku bisnis (rumah sakit, perusahaan, penyedia) dan kelompok profesi (dokter) terhadap standar hak asasi manusia dan pelayanan publik yang baik, kemudian memberitahukan hasil temuan, kesimpulan, serta rekomendasi tersebut kepada publik;
  5. Menyampaikan temuan Satgas penanggulangan vaksin palsu kepada publik atas proses yang telah berjalan selama ini.
  6. Mendorong Dinas Kesehatan provinsi untuk memberi sanksi yang tegas kepada rumah sakit yang terlibat dalam peredaran-penjualan-pemberian vaksin palsu.
  7. Meminta pemerintah, dalam hal ini institusi yang memiliki kewenangan pengawasan, penyediaan, dan pendistribusian, untuk meminta maaf terhadap keluarga korban vaksin palsu atas kelalaian yang dilakukan.
  8. Memberhentikan sementara pelayanan kesehatan RS Harapan Bunda sampai dilakukan pemeriksaan terhadap rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

Jakarta, 22 September 2016

 

Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu/ KontraS/ YLBHI

 

CP:

Rivanlee (KontraS) 081391969119

August Siregar (Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu) 08129659003