Kasus Kekerasan Jurnalis Di Madiun, Cermin Brutalitas Aktor Keamanan di Indonesia

Kasus Kekerasan Jurnalis Di Madiun
Cermin Brutalitas Aktor Keamanan di Indonesia

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyampaikan protes keras terkait dengan tindakan penganiyaan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI AD Bataliyon Infantri Lintas Udara 501 Madiun pada minggu 02 Oktober 2016 terhadap seorang jurnalis Net. Tv a.n Soni Misdananto (yang selanjutnya disebut sebagai korban) yang sedang melakukan peliputan terkait dengan peristiwa Lakalantas yang melibatkan Perguruan Pencak Silat dengan Masyarakat.

Peristiwa itu berawal ketika terjadi peristiwa Lakalantas yang melibatkan Perguruan Pencak Silat dengan masyarakat di perempatan Ketaken, Madiun, Jawa Timur. Setelah peristiwa Lakalantar tersebut, sejumlah orang yang diduga merupakan anggota TNI AD Bataliyon Infantri Lintas Udara 501 Madiun, mendatangi lokasi dan langsung memukuli anggota Perguruan Pencak Silat, disaat yang bersaman korban yang berada dilokasi kejadian langsung melakukan peliputan dengan merekam peristiwa perkelahian tersebut, namun pada saat korban sedang melakukan peliputan, korban tiba – tiba dipukul dan ditendang setelah itu korban kemudian dibawa oleh sejumlah anggota ke Pos terdekat dan meminta secara paksa kartu perekam dan langsung merusaknya. Akibat dari peristiwa penganiyaan dan brutalitas sejumlah anggota TNI tersebut, korban dibawa ke RSUD dr. Soedono.

Kami mengingatkan bahwa, aksi – aksi kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI bukanlah kali pertama. Sebelumnya, peristiwa kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kerja – kerja jurnalistikpun terjadi di Kelurahan Sari Rejo, Medan Polonia, Kota Medan, Sumatra Utara pada tanggal 15 Agustus 2016 oleh anggota TNI AU. Tindakan – tindakan kekerasan yang dilakukan oleh TNI tersebut menujukan bahwa masih banyak anggota – anggota TNI yang belum taat aturan sebagaimana peraturan – peraturan yang ada sehingga cara – cara kekerasan dan tindakan – tindakan brutalitas masih dijadikan alat penyelesaian suatu masalah, hal ini juga ditambah dengan tidak adanya penghukuman yang berat yang dapat memberikan efek jera yang dilakukan oleh atasannya terhadap anggota – anggota TNI yang melakukan tindakan kekerasan dan penganiyaan. Lebih dari itu, kami juga menilai bahwa masih ada ancaman terhadap kebebasan untuk mendapatkan informasi dilapangan terhadap para jurnalis dalam melakukan kerja – kerja jurnalistik, padahal Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjamin tentang perlindungan kerja – kerja jurnalistik.

Berdasarkan informasi diatas, kami menilai bahwa tindakan – tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI terhadap korban telah melanggar sejumlah peraturan perundang – undangan, sehingga proses penyelesaian secara kekeluargaan bukanlah solusi dari penyelesaian peristiwa kekerasan diatas, terlebih penyelesaian tersebut juga tidak memberikan jaminan keberulangan tindakan – tindakan kekerasan dan prilaku brutalitas yang dilakukan oleh aktor kemanan terhadap jurnalis tidak akan terjadi dan berrulang, sehingga kami menilai bahwa proses hukum harus terus dikedepankan berdasarkan pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangan yang ada, yang antara lain berupa tindakan penganiayaan berkaitan dengan pasal 351 KUHP dan pasal 406 tentang Perampasan Barang, pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 7 UU No 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Perbuatan Merendahkan Martabat Manusia (pasal 12 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia dan pasal 6 tentang pelanggaran hak atas pekerjaan yang dialami oleh jurnalis) Undang – Undang Nomor 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 12 ayat (1) huruf J, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Tentara Pasal 137 tentang  Anggota yang melakukan kekerasan terhadap orang, serta Undang – Undang No 40/ 1999 tentang Pers. Bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

 

Oleh karena itu, dengan terus berulangnya kasus – kasus kekerasan dan brutalitas anggota TNI terhadap kerja – kerja jurnalis dan demi terwujudnya  penegakan hukum yang berkeadilan bagi  korban, tanpa adanya diskriminasi hukum, dengan proses hukum yang transparan, serta menjadikan persoalan ini serius dan harus menjadi perhatian oleh TNI kami mendesak Panglima TNI dan Kepala Staf TNI AD untuk:

Pertama, Memerintahkan anggotanya melakukan penyelidikan dan penyidikan yang mendalam terkait kasus kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah anggota TNI 501 Madiun terhadap jurnalis, serta melakukan penindakan terhadap anggota TNI yang diketahui terbukti melakukan tindak kekerasan tersebut secara akuntabel,trasnparan dan profesional, guna memberikan efek jera dan jaminan ketidak berulangan penggunaan kekerasan oleh anggota TNI.

Kedua, Melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap setiap anggotanya di lapangan dalam hal penggunaan kekuatan, khususnya tindakan-tindakan anggota yang menggunakan kekuatan secara berlebihan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Ketiga, Mekanisme Internal  bisa dilakukan namun bersifat complementer (melengkapi saja) bukan meniadakan mekanisme pidan.

 

 

Jakarta, 03 Oktober 2016

Badan Pekerja

 

Haris Azhar

Koordinator KontraS