Merespon Praktik Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil

Merespon Praktik Pertambangan di Pulau-Pulau Kecil

 

Data Lengkap Temuan di Pulau Romang

Foto-Foto di Pulau Romang

 

Diskusi yang berlangsung di Anomali Coffee, Menteng, pada 9 Desember 2016 membicarakan tentang praktik tambang yang kerap diabaikan pemerintah di pulau-pulau kecil dengan studi kasus Pulau Romang, Maluku Barat Daya.

Bersama dengan pembicara, Rivanlee Anandar (KontraS), Melky Nahar dan Merah Johansyah (Jatam), Parid Ridwanuddin (KIARA), dan Ony Mahardika (WALHI) mengupas motif-motif pertambangan dan kecacatan kebijakan yang dilakukan untuk memaksakan praktik pertambangan di pulau-pulau kecil.

Pada akhir November 2016, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan melakukan penelitian dan investigasi terhadap dampak praktik pertambangan di Pulau Romang. Selama satu minggu, kami melakukan pemantauan, wawancara, dan FGD terhadap warga dan menemukan sejumlah dampak nyata yang timbul sejak beroperasinya penambangan emas oleh PT GBU (Gemala Borneo Utama), mulai dari sisi hukum, lingkungan, dan sosial kemasyarakatan.

Bahwa berdasarkan pada hukum dan hak asasi manusia, ada sejumlah temuan yang kami temukan di lapangan terkait kejanggalan praktik tambang yang dilakukan oleh PT Gemala Borneo Utama di Pulau Romang. Hal ini berdasarkan pada;

Pertama, bahwa kehadiran PT GBU di Pulau Romang memicu konflik internal antar warga yang pro dan kontra tambang. Ada serangkaian kejadian yang kami temukan di lapangan, seperti perbedaan pelayanan oleh kepala desa/camat terhadap warga penolak tambang dan sengketa tanah adat. Sengketa tanah adat ini seharusnya tidak terjadi di masyarakat adat. Sebab, di Pulau Romang ada aturan-aturan adat yang sudah mengatur tentang pembagian tanah adat ini. Proses penyelesaian sengketa tanah adat ini, kini sedang dalam proses pengadilan.

Kedua, bahwa kami menduga ada sejumlah dampak lingkungan yang timbul akibat operasi tambang di Pulau Romang, di antaranya, (1) tanaman agar-agar di laut yang kini sudah hilang semenjak praktik tambang berlangsung. (2) rusaknya tanaman pala dan cengkih akibat uap panas yang dihasilkan di areal penambangan, (3) berkurangnya hasil madu hutan di sekitar lokasi penambangan sebab bunyi-bunyian yang dihasilkan dari alat-alat penambangan. Menurut penuturan warga, sebelum ada operasi tambang, warga biasa mendapat 5-10 liter tiap panen. Tapi, semenjak tambang beroperasi hanya 1-2 liter madu. (4) tanaman agar-agar di laut yang keberadaannya kini sudah tidak ada lagi. Sebelumnya, tanaman agar-agar di Pulau Romang amat melimpah, bahkan di Desa Solath, untuk sandar perahu saja hanya tersisa satu jalur karena dipenuhi agar-agar.

Ketiga, bahwa telah terjadi atau munculnya bunyi gas dan tercium bau yang tidak sedap pada salah satu lubang mata bor yang ada di lokasi pengeboran di Desa Hila. Selain itu, pada awal 2016, warga pernah mendengar suara dentuman keras seperti ledakan bom. Lantas, disusul dengan getaran kuat. Suara tersebut diduga muncul dari daerah praktik tambang.

Menurut Melky Nahar (JATAM), persoalan praktik pertambangan di pulau-pulau kecil berawal dari paradigma pembangunan pemerintah. Tanah, air, dan kekayaan alam lainnya dianggap sebagai komoditas yang harus diuangkan. Urusan keselamatan rakyat dan lingkungan berikut ruang hidup masyarakat tidak menjadi agenda penting. Hal ini mengakibatkan sejumlah hal, (1) ribuan IUP diterbitkan dari pulau besar sampai pulau kecil, (2) ruang hidup untuk pertanian dan perkebunan semakin sempit, (3) mengorbankan kawasan hutan lindung dan konservasi, serta (4) memicu konflik sosial dan budaya.

Sedangkan, Parid Ridwanuddin (KIARA) mengamini pernyataan JATAM tentang paradigma pembangunan yang terjadi di Indonesia. ia juga menambahkan bahwa praktik pertambangan di pulau kecil jelas menutup persoalan sistemik yang sebetulnya terjadi di masyarakat kepulauan. Akses transportasi yang sulit, tenaga listrik yang terbatas, dan pemenuhan kebutuhan primer yang seadanya. Ony Mahardika (WALHI) menambahkan bahwa pemerintah sudah saatnya memfokuskan kepeduliannya terhadap pulau-pulau kecil dengan perspektif yang adil dan berkelanjutan. Artinya, tidak ada pembangunan yang merusak tatanan sosial masyarakat kepulauan. Sehingga, dampak yang timbul di masyarakat positif dan mereka bisa memberdayakan dirinya sendiri.

Diskusi publik ini sebagai langkah awal advokasi pulau-pulau kecil yang berbasiskan hak asasi manusia. Ke depan, jika pemerintah jeli melihat kondisi kepulauan sekarang, permasalahan jarak maupun akses transportasi bukan lagi masalah bagi masyarakat kepulauan. Juga, tak ada lagi pembangunan-pembangunan yang tidak berbasis pada masyarakat.