Mendiamkan Salah Kaprah Negara Dalam Aturan Main Dan Penindakan Terorisme
Membahayakan Ham Kita
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pertama-tama mengapresiasi sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memutuskan untuk menghapus ketentuan terkait yang memperbolehkan pihak penyidik atau penuntut umum untuk mengasingkan terduga teroris ke tempat tertentu selama kurang lebih 6 (enam) bulan. Pasal yang lebih dikenal dengan istilah Pasal Guantanamo ini sempat menjadi kontroversial ketika coba dipaksakan masuk ke dalam catatan revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dengan dalih utama bahwa pasal tersebut akan efektif untuk menangkal dan mencegah tindak pidana terorisme ketika praktik deradikalisasi diam-diam memang diakui gagal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Meski demikian, pembahasan yang masih dilakukan secara maraton di tingkat legislatif dan eksekutif melalui Panitia Kerja (Panja) masih terkesan terburu-buru tanpa memeriksa aturan-main dari penegakan hukum yang melekat pada institusi Polri dan konsep ‘operasi militer selain perang’ yang melekat pada institusi TNI. Diskursus hari ini kemudian bergeser pada penguatan peran dan fungsi Badan Nasional Penanggulangan Terorisms (BNPT) dengan menekankan pada konteks deradikalisasi.
KontraS tidak menutup mata bahwa ada masalah serius atas penerapan kebijakan deradikalisasi di Indonesia. Akan tetapi kita harus mendudukkan kembali apakah revisi UU ini akan memperbaiki standar-standar penanganan terorisme yang bisa dibahasakan sebagai aturan main. Ataukah menempatkan revisi ini sebagai medium untuk proses penindakan di lapangan yang melibatkan banyak aktor.
Beberapa kendala yang harus perhatikan jika kita melihat 2 skenario di atas:
Pertama, jika kita akan membahas secara serius aturan main dan standar-standar yang akan digunakan untuk melakukan penindakan terorisme; maka ada persoalan serius yang harus dijawab pemerintah dalam menghadirkan setidaknya 3 konteks dalam revisi UU Tindak Pidana Terorisme:
Kedua, dalam proses penindakan di lapangan ada kisi-kisi yang harus dipahami oleh setiap aktor yang terlibat dalam sebuah ataupun rangkaian operasi penindakan terorisme. Bahwa tidak dipungkiri kemampuan dan infrastruktur yang dimiliki baik oleh Densus 88 maupun elite tangkal terorisme TNI hampir sama. Dengan standar kemampuan yang hampir sama tersebut kerap mendapatkan pembenaran bahwa kedua elite atau lebih ini harus bekerja bersama-sama tanpa diimbangi dengan alat ukur yang tepat. Kapan TNI harus diperbantukan dalam kerja-kerja penindakan terorisme?
Dalam pantauan kami, kerja TNI memang terlihat menonjol ketika TNI dilibatkan dalam operasi perburuan Santoso dkk di Poso. Namun demikian jika kita lihat dalam kasus-kasus penindakan terorisme yang terjadi lebih banyak adalah kasus-kasus penyerangan yang masif menyasar ke tempat-tempat publik dan keramaian yang idealnya adalah domain kepolisian dan badan-badan penegakan hukum. Dalam situasi yang lebih rentan jika ruang kerja di lapangan ini tidak dikelola maka bisa melebar luas pula pada operasi-operasi penegakan hukum yang berkedok tangkal terorisme di wilayah-wilayah konflik seperti di Papua. Kecenderungannya ada dan mulai menguat.
Dengan dua penilaian di atas dan beberapa turunan catatan yang kami buat maka kiranya agenda revisi UU Tindak Pidana Terorisme harus tidak boleh semata-mata membela panggung keamanan dan kedaulatan dan mengecilkan praktik-praktik keadilan, akuntabilitas dan juga melupakan aturan main bahwa praktik teror sejatinya adalah tidak sekadar menggoncang stabilitas keamanan negara; namun juga rasa aman publik yang tidak boleh dihargai dengan sekadar mendukung kerja aktor-aktor keamanan dengan cek kosong.
Jakarta, 16 Desember 2016
Badan Pekerja KontraS
Haris Azhar, SH, MA
Koordinator
Narahubung:
Arif Nur Fikri – 081513190363