Menuntut Janji yang Diingkari
Presiden Harus Memastikan Gubernur Jawa Tengah Patuhi Putusan MA
Selasa, 17 Januari 2017 adalah batas waktu 60 hari bagi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo untuk mencabut SK Izin Lingkungan sesuai dengan bunyi amar putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai permohonan gugatan PK warga Kendeng dan WALHI atas kasus PT Semen Indonesia. Hari itu menjadi saksi kepada siapakah Ganjar akan berpihak, mematuhi putusan MA dengan mencabut izin lingkungan baru PT. Semen Indonesia atau berpihak kepada investasi modal semen dengan siasat-siasat baru yang selama ini sering dilakukan.
Pada hari itu juga, tepat sebulan warga Kendeng mendirikan tenda perjuangan di depan kantor Ganjar Pranowo sebagai aksi mengawal keadilan agraria bagi para sedulur Kendeng. Walaupun terus mendapat aksi represif dari aparat dimana pada hari ke-5 tenda perjuangan mereka dibongkar oleh pihak keamanan. Namun, kejadian tersebut tidak mematahkan semangat dan aksi dari para sedulur Kendeng.
Bukan apa-apa, siasat-siasat yang dilakukan selama ini oleh Ganjar telah menjadi bukti bahwa sebenarnya ia tidak pernah berpihak kepada aspirasi para sedulur Kendeng. Bahwa tanah dan air yang akan dieksploitasi oleh PT. Semen Indonesia apabila pambangunan pabrik terus berjalan adalah hidup dan mati para sedulur Kendeng. Oleh karena itu proses pengambilan keputusan ini harus terus dikawal agar tidak dibelokkan lagi dari proses hukum.
Setelah sebelumnya secara diam-diam Gubernur malah mengeluarkan izin baru. Keluarnya SK Izin lingkungan No. 660.1/30 pada 9 November 2016 tentang Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen yang merupakan perbuatan melawan hukum, pelecehan, pengabaian, dan penyelundupan hukum.
Akhir Desember lalu, Ganjar kembali melakukan siasat dengan berusaha melemahkan gerakan penolakan warga Kendeng atas pembangunan pabrik semen di mana dua petani Kendeng atas Murtini dan Sutrisno dipanggil oleh Polda Jawa Tengah. Dua orang sedulur Kendeng ini dikriminalisasi atas tuduhan pemalsuan identitas dan tanda tangan gugatan warga atas pembangunan pabrik semen.
Keputusan Ganjar untuk membuat tim kecil dalam rangka mengkaji kembali proses pembangunan pabrik juga patut dicurigai sebagai siasat baru Ganjar dalam upaya berkelit dari putusan MA. Karena apabila ia mematuhi putusan peradilan dan hukum tidak seharusnya tindakan ini dilakukan karna sudah jelas amar putusan MA memerintahkan untuk mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Rembang.
Amar putusan MK Nomor Register 99/PK/TUN 2016 tertanggal 5 Oktober 2016 sudah jelas-jelas menyatakan bahwa pembangunan pabrik semen Indonesia di Rembang mengindikasikan banyak terjadi penyelewengan dalam proses pembangunan pabrik tersebut, yang mana dalam putusannya menyatakan:
Kekuatan gugatan warga Kendeng atas pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang tidak hanya sampai disitu. Bahwa perjuangan perjuangan para petani Kendeng telah sampai pada pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo tertanggal Agustus 2016. Dalam pertemuan ini tercapai kesepakatan, yang intinya perlu segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung pegunungan Kedeng melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang dikoordinir oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Disepakati pula, selama proses 1 (satu) tahun proses KLHS semua izin dihentikan. Artinya terhitung semenjak dikeluarkan pernyataan tersebut maka segala bentuk operasi di wilayah Pegunungan Kendeng termasuk pabrik Semen Rembang harus dihentikan.
Berikutnya, pada tanggal 17 November 2016, Kantor Staf Presiden (KSP) bertemu para pihak di Provinsi Jateng, termasuk Gubernur dan pertemuan itu menegaskan kembali bahwa selama proses pembuatan KLHS semua izin dihentikan. Pemerintah juga menjamin terjadinya proses dialog atau rembug yang sehat selama penyusunan KLHS berlangsung.
Ironinya, disaat gugatan warga telah mendapat dukungan secara hukum oleh MA dan Presiden dalam menolak pabrik semen. Ganjar malah terus-terusan berkelit untuk tidak mematuhi keputusan yang telah berlaku, dan bahkan melakukan langkah-langkah yang cacat substansi, hukum dan prosedur dengan mengeluarkan izin lingkungan baru, dengan dalih izin lingkungan baru tersebut sebagai amandemen.
Padahal, pembatalan izin berdasarkan putusan PK MA, seyogyanya telah diatur dalam pasal 40 ayat (2) UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahwa “Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan Dibatalkan”. Artinya seluruh kegiatan yang dilakukan PT Semen Indonesia dibatalkan. Tak ada dasar hukum pengecualian apabila perusahaan telah berganti nama. Dengan demikian, maka hukuman pembatalan izin tetap melekat. Jelaslah Ganjar Pranowo telah melakukan perbuatan melawan hukum karena mengingkari kekuatan hukum tetap dan final.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kegiatan tambang semen, selain akan menggusur lahan, area eksploitasi operasi pabrik juga akan merusak daerah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng yang menopang kebutuhan air bagi sekitar 153.402 petani Rembang dan menimbulkan bencana ekologis seperti kekeringan dan pencemaran. Terlebih Watuputi telah ditetapkan oleh Presiden melalui Keputusan Presiden RI nomor 26/2011 sebagai salah satu CAT yang seharusnya dilindungi, sebagai bagian dari kawasan ekosistem karst yang memiliki fungsi ekologis dan hidrologis.
Mengacu konstitusi agraria kita, bahwa bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber kekayaan agraria yang harus dilindungi oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960.
Hak petani atas tanah juga telah dijamin oleh UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) dalam bentuk kepastian hak atas tanah dan lahan pertaniannya. Hak agraria petani Rembang juga dilindungi UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, dimana aktivitas pembangunan lainnya harus menjamin perlindungan fungsi lahan pertanian yang ada.
Penerbitan izin untuk pembangunan pabrik semen oleh pemerintah Jawa Tengah di wilayah pegunungan Kendeng, Rembang tanpa memperhatikan dampak sosial, budaya, ekonomi dan ekologis yang lebih utuh dan luas, merupakan tindakan yang telah merampas hak-hak dasar warga Rembang di sekitar Pegunungan Kendeng. Hak dasar petani dan msyarakat sekitar Kendeng yang telah turun temurun bergantung dari ruang hidup Pegunungan Kendeng terus menerus diabaikan demi tujuan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan target ekspor semen.
Padahal produksi ekspor semen telah mengalami surplus secara nasional. Menurut data Kementrian Perindustrian, produksi semen mengalami suplus (oversupplay) sekitar 25 % dari kebutuhan. Selaras dengan itu menurut Asosiasi Semen Indonesia (ASI), oversupplay produksi semen di dalam negeri mencapai 25-30 % dari konsumsi yang mencapai 65 juta ton. Sehingga lebih banyak diorientasikan guna kebutuhan eksport. Selain itu, kepemilikan saham Semen Indonesia, juga tidak seratus persen milik negara (sejak 2010, kepemilikan saham Pemerintah Indonesia sebesar 51% dan 49% publik). Artinya, klaim bahwa Semen Indonesia demi kepentingan nasional layak untuk ditinjau ulang. Apalagi cara dan bagaimana praktik industri ektraktif semen di sekitar pegunungan Kendeng ini kerap mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis.
Adalah kewajiban konstitusional Negara menempatkan masyarakat petani dan rakyat di Pegunungan Kendeng sebagai warga negara yang memiliki hak agraria sebagai pemilik, pengolah, sekaligus penjaga keberlanjutan kekayaan agrarianya; bumi, tanah-airnya dihormati. Pemberian ijin pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang dan pabrik semen lainnya di Pegunungan Kars Kendeng menunjukkan watak dasar kebijakan pembangunan saat ini, yang lebih menitikberatkan pada tujuan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan, namun mengabaikan prinsip keadilan sosial-ekologis, pemerataan, dan keberlanjutan layanan alam.
Dengan dasar pertimbangan dan memperhatikan fakta-fakta di atas, kami mengajak seluruh masyarakat, terutama masyarakat Jawa Tengah untuk terus mengawal hasil keputusan MA agar keadilan agraria bagi warga Kendeng bisa ditegakkan. Di mana pada tanggal 17 Januari 2017 nanti adalah batas akhir Gubernur Ganjar Pranowo untuk mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia. Publik harus terus mengawal proses ini, agar Gubernur Ganjar dan tim kecil yang dibuatnya tidak lagi melakukan tindakan melawan hukum dan mengabaikan hak dasar masyarakat atas tanah, air, dan ruang hidupnya dengan cara mengeluarkan hasil kajian yang tidak sesuai dengan putusan MA.
Atas dasar seluruh pertimbangan di atas, maka kami, dari Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kendeng menuntut kepada:
Demikian pernyataan ini kami sampaikan. Mari bersama-sama terus kita kawal perjuangan warga Rembang dan Pegunungan Kendeng untuk menyelamatkan tanah, air dan ruang hidup mereka demi anak cucu kita mendatang. Pegunungan Kendeng adil dan lestari untuk Kelestarian Negeri dan Bumi Pertiwi.
Jakarta, 16 Januari 2017
Hormat kami
Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kendeng
Masyarakat Sipil untuk Keadilan Kendeng | |
Organisasi Masyarakat Sipil: | Akademisi: |
1. Walhi
2. KPA 3. Epistema 4. HuMa 5. Desantara 6. Elsam 7. YLBHI 8. JATAM 9. PilNet 10. KontraS 11. AMAN 12. SAINS 13. RMI 14. Solidaritas Perempuan 15. BINA DESA 16. IHCS 17. API 18. SNI 19. JKPP 20. KNTI 21. Sawit Watch 22. AGRA 23. SPR 24. IGJ 25. AURIGA 26. Gemawan 27. Swandiri Institute 28. Lingkar Borneo 29. PSHK 30. PPMAN 31. LBH Pers 32. Elpagar 33. PUSAKA 34. TuK Indonesia 35. PBHK 36. Laskar Hijau 37. Front Nahdiyyin untuk Kedaulatan SDA (FNKSDA) 38. KPBI 39. LAPAR Sulsel 40. FPSS – Sulsel 41. YLSKR Salatiga 42. PRAXIS 43. SD INPERS Jember 44. ICEL 45. Asosiasi Kader Strategis (AKSES) 46. Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi (KOSAKTI) 47. Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Unair 48. SUPHEL – Solo 49. Belantara Papua 50. PBHI Jawa Tengah 51. ARuPA Yogyakarta 52. PPLH Mangkubumi – Tulungagung 53. LSPP Temanggung 54. KPRI 55. Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia (JRKI) 56. Jaringan Dokumentarian Nusantara (JDN) 57. KARSA – Yogyakarta 58. Institute for Ecosoc Rights 59. Jejer Wadon 60. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) 61. KPRI Jateng 62. KPRI Yogyakarta 63. KRuHA 64. Yayasan Pratista (Bali) 65. Pusat Studi Agraria (PSA) IPB 66. LBH Apik (Semarang) 67. Greenpeace Indonesia |
1. Satyawan Sunito, Dr. (Institut Pertanian Bogor)
2. Endriatmo Soetarto, Prof. (Institut Pertanian Bogor) 3. Amrih Widodo (Australia National University) 4. Hendro Sangkoyo, Dr. (SDE) 5. Tri Chandra Aprianto (UNEJ) 6. Moh. Sobary (Universitas Indonesia) 7. Franky Butar Butar, SH., M.Dev. 8. Melany A. Sunito, M.Si. (Institut Pertaian Bogor) 9. Awaludin Marwan, S.H., M.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang) 10. Benny D. Setianto, SH., LLM., MIL. (Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang) 11. Bivitri Susanti, SH., LL.M. (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta) 12. David Bayu Narendra, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang) 13. Devi Rahayu, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo, Madura) 14. Donny Danardono, SH., Mag.Hum. (Ketua Prodi Magister Lingkungan dan Perkotaan dan Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang) 15. Dri Utari CR, S.H., LL.M (Fakultas Hukum Universitas Airlangga) 16. Dwi Rahayu K, S.H., MA. (Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum Universitas Airlangga) 17. E. Prajwalita Widiati, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga) 18. Esmi Warasih Pujirahayu, SH., MS., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang) 19. Fery Amsari, SH., MH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang) 20. Franky Butar-Butar, SH., M.Dev.Prac. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya) 21. Frits Siregar, SH., LLM., PhD. (Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta) 22. Haris Azhar, SH., MA (Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta) 23. Haris Retno S, S.H,.M.H. (Ketua Pusat Studi Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda) 24. Harry Supriyono, SH., M.Si., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta) 25. Hasan Muazis, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang) 26. Herdiansyah Hamzah, S.H., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda) 27. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya) 28. Hifdzil Alim, S.H,.M.H. (Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) 29. HS. Tisnanta, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung) 30. Iman Prihandono, SH., MH., LLM., PhD. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya) 31. Joeni A. Kurniawan, SH., MA. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya) 32. Khairani Arifin, SH., M.Hum (Ketua Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh) 33. Kurnia Warman, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang) 34. Manunggal K. Wardaya, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto) 35. Mela Ismelina, SH., M.H., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung) 36. Melkias Hetharia,S.H.,M.H., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Jayapura) 37. Mohamad Ilham Agang, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Borneo, Tarakan) 38. Muhtar Said, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta) 39. Myrna A. Safitri, PhD (Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta) 40. Oce Madril, S.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) 41. Rahayu., SH., MH. Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro) 42. Rian Adhivira Prabowo, S.H., S.Sos, M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran, Semarang) 43. Rikardo Simarmata, PhD. (Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, Yogyakarta) 44. Siti Rakhma Mary Herwati, SH., M.Si., MA. (Prodi Hukum Universitas Presiden, Bekasi) 45. Stefanus Laksanto Utomo, S.H.,M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Sahid) 46. Suteki, S.H., M.Hum., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang) 47. Syukron Salam, SH., MH. (Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Semarang) 48. Tristam P. Moeliono, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung) 49. W. Riawan Tjandra, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta) 50. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat) 51. Yance Arizona, SH., MH., MA. (Prodi Hukum Universitas Presiden, Bekasi) 52. Zainal A. Mochtar, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta) |