Dibalik Kelompok Tani Eks Gafatar di Kalimantan

Dibalik Kelompok Tani Eks Gafatar di Kalimantan

Tuduhan makar tengah menimpa eks petinggi Gafatar, yaitu Mahful Muis (eks Ketua Umum Gafatar), Abdussalam (alias Ahmad Mushaddeq) dan Andry Cahya. Mereka ditengarai mendirikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara (NKTN) setelah Gafatar dibubarkan. Misteri terkait NKTN kini menemukan titik terang dalam sidang ke-16, tiga mantan pengurus Gafatar dan mantan aparat NKTN hadir menjadi saksi. Saksi pertama ialah Dadang Darmawan, M.Si yang merupakan mantan Ketua DPD Gafatar Sumatera Utara dan mantan Koordinator Wilayah Sumatera Utara untuk NKTN. Saksi kedua adalah dr. Munandar, SpOG yang merupakan mantan Ketua Bidang Kesehatan DPP Gafatar dan mantan Kepala Departemen SDM NKTN. Saksi terakhir yang hadir ialah Laode Arsan Tira yang pernah menjabat sebagai Ketua DPD Gafatar Gorontalo dan mantan Koordinator Wilayah Sulawesi untuk NKTN.

 

Gafatar Bukan Ormas Terlarang

Menurut keterangan Dadang, Gafatar pernah menggelar Deklarasi Nasional pada tahun 2011. Saat itu, Mahful Muis memberi sambutan tentang adanya berbagai macam masalah yang ada di negara ini. “Gafatar didirikan untuk memberikan kontribusi dalam rangka ikut serta membangun bangsa dan negara,” jelas Dadang. Sementara dr. Munandar sebagai salah satu dari 52 orang pendiri Gafatar menyebut bahwa ada Akta Pendirian Gafatar yang disahkan oleh notaris. “Mahful Muis dalam memberikan ceramahnya selalu menyampaikan ulang visi misi Gafatar yang berlandaskan Pancasila,” terangnya. Pria berkacamata ini juga bersaksi bahwa Gafatar kerap kali bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain, seperti Departemen Kesehatan dan Kesbangpol.

Dadang Darmawan sempat menunjukkan bukti Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ormas. “Gafatar Sumatera Utara saat mendeklarasikan diri juga mengurus izin ke Kesbanglinmas. Kami mendapat SKT, saya selaku ketua juga mendapatkan pengakuan dari provinsi Sumatera Utara. Kami selalu berkoordinasi dengan pemerintah dan bekerjasama dengan masyarakat, contohnya dengan polisi dan TNI, desa-desa atau kelurahan, paling sering programnya bakti sosial kebersihan, ada juga donor darah, pencegahan narkoba, penghijauan, seminar kesehatan, dll” ungkap pria yang bekerja sebagai dosen ini.

 

Penolakan dan Pembubaran Gafatar

Sayangnya, niat dan perbuatan baik tidak selalu mendapatkan sambutan yang baik pula. “Kita menggelar baksos, tapi orang tidak menerima. Sudah gencar kalau Gafatar itu aliran sesat! Bahkan kami dituduh ISIS”, kisah Laode. Serupa dengan Dadang, ia juga menceritakan “Entah mengapa tiba-tiba banyak selebaran tentang kesesatan Gafatar di Sumatera Utara tahun 2014. Perwakilan masyarakat mengatakan mereka tidak mau ada Gafatar”.

“Gafatar dibubarkan karena ada yang memfitnah,” dr. Munandar berpendapat. Ia mengatakan bahwa tidak ada organisasi yang mampu rutin menggelar donor darah setiap tiga bulan sekali se-Indonesia. “Dalam setahun, Gafatar bisa mendonorkan 12-13 ribu kantong darah. Itu suatu perilaku kemanusiaan yang konkrit, namun kami dilarang dan difitnah,” ujar pria berusia 57 tahun ini kecewa.

Lebih lanjut, penolakan Gafatar ini tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga sampai kepada tindak kekerasan, pengurus Gafatar Gorontalo saat itu pernah dipukuli oleh masyarakat. “Masyarakat marah karena isi selebaran-selebaran (yang mengatakan Gafatar sesat), itu tidak benar. Seharusnya kalau tidak setuju, dilaporkan saja atau biarkan polisi yang melakukan tindakan, kemudian setelah dipukuli, ada informasi mereka mau merazia Gafatar. Bahkan mau membunuh saya” tutur Laode di muka persidangan. Hal ini mendorongnya bersama pengurus atau anggota Gafatar Gorontalo lainnya meninggalkan Gorontalo. Mereka bertolak ke Desa Mendung, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Akibat kericuhan yang terjadi, Gafatar menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Hotel Pinewood Bogor, dengan mengumpulkan 34 Ketua DPD Gafatar se-Indonesia pada 11-13 Agustus 2015. “Kita berkumpul atas dasar pentingnya menyatukan pandangan antar seluruh ketua DPD sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada bangsa dan negara,” jelas Dadang Darmawan. Berdasarkan keputusan KLB, mereka sepakat untuk membubarkan Gafatar.

 

NKTN Didirikan

Gafatar dibubarkan pada tanggal 11 Agustus 2015, kemudian KLB masih berlanjut dengan agenda lain. Menurut Dadang, saat Gafatar masih berdiri, organisasi tersebut memang sudah lama prihatin terhadap masalah krisis pangan. “Saya ingat kalau Kementerian Pertanian pernah menyinggung pentingnya elemen bangsa untuk ikut andil terlibat dalam pencetakan sawah baru karena minimnya petani saat ini”.

Sewaktu Gafatar masih berdiri, ormas tersebut pernah diundang oleh pemerintah sebagai pilot project untuk mencoba varietas bibit padi baru, varietas sigenuk. Oleh karena itu, meskipun sudah membubarkan diri, kami masih sangat bersemangat untuk melanjutkan program kedaulatan pangan. Ada usulan untuk membentuk satu wadah yang kita sebut dengan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara,” ungkap Dadang dalam kesaksiannya. Dalam keterangan dr. Munandar, Gafatar banyak bergerak di ranah sosial, budaya dan ilmiah. Sedangkan NKTN yang berdiri pada tanggal 13 Agustus 2015 memilih fokus ke pertanian saja.

“Tujuan NKTN tidak lain untuk membangun akhlak dan kualitas manusia. Kita membuktikan bahwa kita mau mengorbankan harta dan jiwa kita untuk kemajuan bangsa, kalau mau berkorban harta dan jiwa, pasti membuahkan kontribusi yang signifikan untuk negara ini,” tutur Dadang bijak.

Seperti diketahui, Eks Gafatar dalam wadah baru bernama NKTN berbondong-bondong ke Kalimantan untuk bertani. Mereka rela meninggalkan daerah asalnya dan memulai hidup baru di tanah Borneo. Pilihan pergi ke Kalimantan bukan tanpa alasan. “Tidak ada satupun provinsi yang pernah mengajak Gafatar membangun bangsa dalam konteks kedaulatan pangan, kecuali Kalimantan,” terang Dadang lagi.

Senada dengan Dadang, dr. Munandar menjabarkan, “Ada penawaran dari orang Kalimantan untuk mengelola lahannya. Arahan Departemen Pertanian juga mengatakan adanya potensi Kalimantan menjadi lumbung pangan Nasional. Pemindahan ke Kalimantan itu yang mau saja, dan mau bekerja di bidang pertanian. Dari segi efektifitas (letak geografis), Kalimantan itu di tengah Indonesia, lahan di sana harganya juga terjangkau. Kami patungan untuk membeli lahan di Kalimantan, hasil pertanian kami di sana luar biasa. Kalimantan bisa menjadi lumbung padi Nusantara,” tegas dr. Munandar yakin.

Nama NKTN menimbulkan spekulasi bahwa Eks Gafatar ingin mendirikan negara baru. Laode memaparkan, “NKTN adalah suatu negeri yang tidak ada apa-apanya (untuk dapat) menjadi karunia karena kehadiran kita, dalam hal ini dengan bertani.” Sementara Dadang Darmawan menyebut, “NKTN itu masih organisasi imajiner, jadi kedudukannya belum jelas. Kami sebetulnya ingin membentuk Kelompok Tani.”

Salah satu Penasihat Hukum, Yudistira Arif Rahman Hakim sempat menanyakan kepada Dadang yang menjadi Presidium dalam KLB mengenai filosofi NKTN. Ia menjabarkan “Negeri itu adalah makna secara kultural atas hubungan spontan yang berbasis nilai kekerabatan antara satu desa atau kampung untuk memperkuat rasa kebersamaan. Ini upaya kita untuk membangun bangsa secara kultural, oleh karena itu kita menamainya negeri.

“Negeri ini dibangun atas berkat rahmat Allah. Kami mendirikan NKTN bukan dalam rangka menyaingi NKRI. Kami sangat mencintai negara ini. Kami sangat peduli dalam hal berbangsa dan bernegara. Jadi, kami sama sekali tidak punya niatan menyaingi pemerintah,” pungkasnya dalam sidang yang secara keseluruhan berlangsung selama hampir enam jam.