Hari Kebenaran Internasional (Mencari Kebenaran di Dalam Damai)

Hari Kebenaran Internasional (Mencari Kebenaran di Dalam Damai)

 

Tanggal 24 Maret – diperingati sebagai hari Internasional untuk Hak atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM yang berat. Sejak tahun 2010, Dewan HAM PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) telah menyerukan untuk memajukan pemahaman publik tentang pentingnya hak atas kebenaran terkait peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Apa yang dimaksud dengan hak atas kebenaran adalah hak korban dan keluarganya untuk mengetahui seputar peristiwa yang telah terjadi atas diri mereka, serta pelaku yang bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Hak atas kebenaran juga hak publik untuk mengetahui kebenaran sepenuhnya yang berkaitan dengan pelanggaran atau kejahatan tersebut, baik karena pelanggaran atau kejahatan itu sendiri maupun untuk menghindari keberulangan pelanggaran atau kejahatan serupa di masa yang akan datang.

Pada momen ini, saya hendak mengingat kembali semangat pemenuhan hak korban dan masyarakat yang menderita akibat pelanggaran HAM yang berat masa lalu di Aceh. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum bahwa fase konflik bersenjata telah mengakibatkan berbagai peristiwa kemanusiaan yang sangat serius. Secara kejam telah menghancurkan sendi kehidupan manusia, baik dalam dimensi hak sipil politik maupun ekonomi, social dan budaya. Berbagai peristiwa masih terekam dalam ingatan kita, sebutlah misalnya peristiwa Tgk Bantaqiah, Simpang KKA, Jambo Keupok, Rumoh Geudong, Tragedi Idi Cut, dan lain sebagainya. Rentetan peristiwa kemanusiaan tersebut hingga kini belum terungkap fakta kebenaran secara resmi, dan keadilan bagi para korban masih sangat jauh dari harapan.

Para korban yang masih hidup juga dihadapkan pada kondisi trauma, sakit-sakitan akibat penyiksaan, dan ekonomi yang memprihatinkan. Ditengah berbagai keterbatasan tersebut, mereka telah berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh kembali martabat dan hak mereka. Namun ruang politik semakin hari semakin menyulitkan untuk memunculkan diskursus pemenuhan hak korban dan pertanggungjawaban penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

 

Mengormati Korban
Aceh punya ruang menyelesaikan masalah ini, menyusun sebuah kebenaran resmi, menemukan keberadaan orang-orang hilang yang diculik pada masa konflik, memulihkan kondisi para korban (fisik dan psikologis), dan membangun skema keadilan sesuai kebutuhan korban. Ruang ini dapat digunakan melalui sebuah mekanisme kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Banyak Negara bekas konflik telah berhasil menerangi sejarah kelam masa lalunya dengan mengungkap kebenaran melalui KKR. Sebutlah misalnya; KKR Afrika Selatan, Chili, Argentina, Maroko, Timor Leste, dsbnya.

Sebagai contoh Timor Leste dengan CAVR (Comissao de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao) atau Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi, berhasil mengungkap kebenaran peristiwa pelanggaran HAM disana, dan merekomendasikan tindaklanjutnya. Salah satu tindaklanjut, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) pada tahun 2005-terlepas dari kelemahan dan muatan politik dari pembentukan KKP. Salah satu bagian dari rekomendasi lembaga tersebut, ada kewajiban mencari keberadaan anak-anak yang diambil paksa oleh militer Indonesia selama pendudukan di Timor Leste 1976-1999. Saat ini sudah 43 orang telah ditemukan keberadaannya, dan telah dipertemukan kembali dengan keluarga sahnya di Timor Leste.

Lalu bagaimana dengan KKR Aceh? Dua dokumen penting bagi Aceh yaitu MoU Helsinki dan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh telah memberikan ruang dan sekaligus perintah kepada pemerintah, baik pemerintah Aceh maupun Nasional untuk membentuk KKR Aceh.

Pembentukan KKR Aceh juga memiliki landasan kebijakan yang kuat di tingkat Nasional. Kita bisa merujuk kepada semangat amanat UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan berbagai aturan lainnya yang memandatkan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan. Dalam TAP MPR No V/MPR/2000- secara tegas juga menyebutkan “kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau”.

Disamping itu, bapak Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2014, juga telah memasukan Agenda penyelesaian masa lalu dalam Sembilan Agenda Prioritas Nawa Cita. Secara normatif juga disebutkan didalam RPJMN 2015-2019-sebagaimana dikutip disini “Penanganan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan dilakukan melalui pembentukan suatu komisi yang yang bersifat ad-hoc/temporer, dengan tugas memfasilitasi proses pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM di masa lalu yang berada langsung dibawah Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden.”

Namun sayangnya, ruang dan kesempatan ini tidak digunakan sebaik mungkin oleh Pemerintahan Aceh dan DPR Aceh selama ini. Penyelesaian masalah korban tidak menjadi prioritas pihak Pemerintah Aceh dan DPR Aceh yang notabanenya adalah pelaku konflik dan penandantangani nota perdamaian. Selama rentang waktu itu suara-suara korban dipinggirkan.

Setelah melalui proses yang panjang dan berbagai usaha yang telah dilakukan oleh korban dan masyarakat, pada penghujung tahun 2013, baru disahkan Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh-sebagai dasar hukum pembentukan KKR Aceh. Tiga tahun kemudian ditetapkan 7 (tujuh) Komisioner KKR Aceh yang akan menjalan tugas kerja-kerja KKR. Namun penetapan 7 Komisioner tidak disertai dengan pengalokasian anggaran yang memadai dan kebijakan untuk mendukung kerja-kerja KKR Aceh.

 

Harapan pada Pemerintah Aceh baru
Melandaskan pada kondisi tersebut, Pemerintah Aceh paska Pilkada 2017 dan DPRA-diharapkan memiliki keberpihakan dan kepedulian penuh pada kondisi korban dengan melakukan terobosan dan upaya progresif.

Beberapa indicator yang dapat diukur untuk melihat kesungguhan Pemerintah Aceh dan DPRA peduli pada para korban yaitu mendukung kerja-kerja KKR Aceh sebagai prioritas. Dukungan konkrit dapat dilihat dari pengalokasian anggaran sesuai kebutuhan; mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penyuksesan kerja-kerja KKR Aceh; mensinergiskan kerja-kerja perangkatnya untuk penguatan korban (ekonomi, kesehatan, pendidikan, dsbnya). Disamping itu, adanya pembangunan Museum Perdamaian di Aceh dan pembangunan monumen-monumen peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Aceh sudah memiliki Museum Tsunami sebagai bukti sejarah musibah Tsunami. Sementara terkait monument peristiwa, para korban telah membangun monument Simpang KKA di Aceh Utara, monument Jambo Keupok di Aceh Selatan, dan monument Ara Kundo di Aceh Timur.

Selain itu, Pemerintah Aceh dan DPRA-juga diharapkan menjadi pelopor utama mengadvokasi KKR Aceh untuk memperoleh dukungan baik di level nasional maupun internasional. Dengan demikian, harapan para korban dapat terwujud selama 5 tahun ini. Dan perdamaian benar-benar terasa berkeadilan. Semoga! Selamat Hari Kebenaran.

 

MFK

 

Sumber Foto: acehtrend