Putar Balik Memori 19 Tahun Tragedi Trisakti dan Mei 1998: Negara Putar Balik Demokrasi

Putar Balik Memori 19 Tahun Tragedi Trisakti dan Mei 1998
Negara Putar Balik Demokrasi

 

19 tahun yang lalu adalah 4 mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak aparat keamanan dalam demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya pada 12 Mei 1998. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie yang terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher dan dada. Dipicu hal tersebut serta krisis finansial Asia, 19 tahun yang lalu pula lebih dari 1.300 orang tewas dan ratusan wanita diperkosa dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Bandung, Solo dan beberapa kota besar lain. Fakta adanya sekelompok provokator yang memancing massa untuk menjarah, memperhatikan penjarahan tanpa ikut menjarah dan memiliki sistem komunikasi serta “kekosongan” aparat keamanan kendati kondisi pada saat itu menggambarkan kuatnya indikasi kerusuhan terencana dan terorganisir. Hasil penyelidikan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) dan Komnas HAM telah menyebutkan bahwa terdapat kejahatan kemanusiaan pada kedua peristiwa di atas.

Sejak hasil penyelidikan tersebut diserahkan pada Jaksa Agung (tahun 2002 untuk berkas Trisakti, Semanggi I-II dan tahun 2003 untuk berkas Kerusuhan Mei) hingga saat ini, Jaksa Agung menolak untuk menindaklanjuti berkas tersebut ke tingkat penyidikan dikarenakan sejumlah alasan yang terus berubah-ubah setiap tahunnya, seperti sumpah penyelidik, kelengkapan bukti dll. Namun bukannya mengatasi kebuntuan komunikasi dengan Komnas HAM selama ini, Jaksa Agung HM Prasetyo malah mengingkari tupoksinya sebagai penegak hukum, dan sejak 2015 giat membawa penyelesaian kedua kasus melenceng keluar dari hukum dengan membentuk Komite Rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM Berat. Tidak hanya itu, Jokowi bahkan mengangkat Wiranto yang seharusnya bertanggung jawab atas sejumlah praktik pelanggaran HAM berat, termasuk atas Trisakti dan Mei 98 sebagai Pangab saat itu, dalam jajaran kabinetnya sebagai Menko Polhukam.

Dibanding rangkaian janji dan bunga-bunga politik yang terus disampaikan Jokowi dalam pidatonya, sesungguhnya sejumlah keputusan diatas telah menujukan sikap real Pemerintah dalam memandang korban pelanggaran HAM berat masa lalu, sebatas konstituen dan tidak memandang pentingnya pemenuhan kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi jaminan tidak berulangnya kekerasan serupa di masa depan. Penyelesaian kasus dengan cepat memang harus, namun tindakan-tindakan penyelesaian kasus yang diambil oleh Jaksa Agung, Menko Polhukam dkk sejauh ini hanya “sekedar” mau cepat selesai lalu menghilangkan aspek keadilan dan kebenaran serta mengenyampingkan proses yang seharusnya dan terbuka.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak berlanjutnya pelanggaran hak atas keadilan, tindakan-tindakan tidak transparan dan melenceng hukum oleh pemerintah atas kasus-kasus masa lalu yang telah memutar balik demokrasi menjadi semakin mundur, dan meminta :

  1. Jaksa Agung segera melakukan penyidikan pada tahun ini (2017) atas kasus yang telah diselidiki Komnas HAM; dan
  2. Presiden untuk membentuk Komisi Kepresidenan yang berada langsung dibawah Presiden dan bertanggungjawab sepenuhnya kepada Presiden. Komisi ini tidak bertujuan mengenyampingkan mekanisme Pengadilan HAM yang diatur dalam UU 26/2000, sejalan dengan RPJMN saat inni dan dapat menjadi solusi terbaik untuk menjembatani semua persoalan, serta mempermudah Presiden dalam mengambil kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Rumusan yang telah dihasilkan oleh Komisi Kepresidenan harus ditindaklanjuti oleh Presiden dengan mengintruksikan instansi-instansi terkait dibawahnya untuk dikerjakan atau direalisasikan.

 

 

Jakarta, 12 Mei 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Yati Andriyani, S.HI.

Koordinator