Mencermati Motif Lain Menkopolhukam Dibalik Revisi UU Tindak Pidana Terorisme

Mencermati Motif Lain Menkopolhukam Dibalik Revisi UU Tindak Pidana Terorisme

 

Dalam sepekan ini, pasca ledakan bom Kampung Melayu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengamati secara serius pesan-pesan yang telah disampaikan negara, khususnya Presiden Joko Widodo dan Menkopolhukam Wiranto yang secara menggebu-gebu ingin melibatkan TNI kembali pada jalur penanganan tindak pidana terorisme melalui revisi UU No. 15/2003.

Bagi KontraS, ada tiga hal yang layak untuk mendapatkan respons keras.

Pertama, Presiden Joko Widodo tidak memberikan pesan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan atas keinginannya untuk melibatkan TNI dalam proses penanganan terorisme di Indonesia. KontraS melihat ada gestur reaktif yang potensial diakibatkan karena Presiden tidak secara seksama membaca aturan hukum yang mengatur tentang keterlibatan TNI melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tercantum dalam UU No. 34/2004 tentang TNI. Sepanjang pantauan KontraS, melalui UU tersebut sebenarnya TNI telah memainkan banyak peran untuk terlibat pada serangkaian operasi melumpuhkan teroris. Bahkan yang masih berlangsung hingga kini adalah operasi untuk melumpuhkan 9 orang kelompok teror di Pegunungan Biru Poso, Sulawesi Tengah; di mana TNI dan Badan Intelijen Strategi (BAIS, unit intelijen yang bertanggung jawab secara penuh kepada Panglima TNI) masih terlibat aktif pada Operasi Tinombala di lapangan. Artinya apa? Presiden Joko Widodo hanya menggunakan studi kasus bom Kampung Melayu, tetapi tidak melihat secara komprehensif dan evaluatif ketika melibatkan TNI pada agenda penegakan hukum tindak pidana terorisme.

Kedua, agenda revisi ini bertitik pijak pada upaya untuk memperbaiki fungsi ‘criminal justice system’ yang selama ini mengalami ketimpangan, ketika operasi penanganan terorisme sejak tahun 2002 (Bom Bali) hingga sekarang lebih banyak menghasilkan praktik-praktik hukum yang buruk seperti: praktik penyiksaan hingga berujung pada kematian (kasus Siyono, 2016), penembakan kilat (kasus Cawang, 2011), hingga banyak pelanggaran HAM yang tidak terungkap pada serangkaian operasi terorisme di Poso. Polri yang dalam hal ini memiliki kapasitas untuk membuktikan baik kepada Pemerintah dan publik bahwa ‘criminal justice system’ berjalan proporsional dan tidak menggunakan jalan pintas yang menyerupai tindakan militeristik (baca: mematikan). Apalagi kita mengetahui bahwa Polri menginginkan untuk mendapatkan penguatan fungsi pencegahan (pre-emptive) yang amat bertentangan dengan fungsi penegakan hukum apalagi standar hak asasi manusia.

Ketiga, pesan Presiden Joko Widodo untuk merespons cepat situasi Kampung Melayu dengan melibatkan TNI pertama kali ditanggapi dengan cepat oleh Menkopolhukam Wiranto. Tentu sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan memiliki kapasitas dalam melanjutkan pesan Presiden tersebut. Akan tetapi, sekali lagi KontraS tegaskan bahwa Wiranto memiliki niatan buruk yang akan mengakibatkan poin pertama tidak dijalankan oleh Presiden Jokowi. Kita harus ingat pada tahun 1999, Wiranto yang saat itu duduk sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Panglima ABRI di masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie telah menawarkan suatu Rancangan Undang-Undang yang berbunyi Keselamatan dan Keamanan Negara yang kemudian diubah menjadi RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Dalam RUU PKB tersebut secara kuat dan tersirat ada keinginan Wiranto untuk  membaca situasi politik nasional hari ini dalam bungkusan keadaan negara darurat. Negara dalam RUU tersebut secara sewenang-wenang dapat menurunkan ABRI (TNI) untuk menanggulangi ancaman keamanan negara. Sembilan belas tahun yang lalu RUU PKB ini ditentang masif oleh mahasiswa dan publik yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, termasuk mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Yap Yun Hap.

Kita juga harus ingat bahwa TNI hingga hari ini hanya terikat pada 2 alat ukur akuntabilitas: (1) UU No. 31/1997 tentang Peradilan Militer – yang tidak memiliki ukuran akuntabilitas yang ketat apalagi standar HAM, (2) Peraturan Panglima No. 73//IX/2010 tentang Penentangan Terhadap Penyiksaan dan Perlakuan Lain yang Kejam dalam Penegakan Hukum di Lingkungan TNI. Hari ini Wiranto hadir sebagai promotor kembalinya TNI di urusan hukum. Memasukkan TNI pada agenda ‘criminal justice system' untuk penanganan terorisme akan berrisiko pada praktik-praktik buruk yang minim ruang koreksi dan terbatasnya alat uji akuntabilitas. Kasus-kasus seperti penyiksaan, tindakan keji, pembunuhan di luar proses hukum, hingga penghilangan paksa potensial terjadi sepanjang urusan akuntabilitas TNI tidak dibenahi secara internal.

Tiga pandangan KontraS di atas adalah rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh Presiden Joko Widodo dan para pengambil kebijakan lainnya di ruang legislatif. Melawan terorisme harus segaris lurus dengan agenda perlawanan militerisme. Jika tidak, maka Presiden Joko Widodo tengah bermain api dengan institusi yang minim koreksi. Ada ongkos besar yang akan ditanggung tidak cuma oleh pemerintah, namun juga publik jika revisi kali ini dengan segala unsur reaktifnya tidak hati-hati mengatur tata kelola lembaga keamanan dan pertahanan.

 

 

Jakarta, 2 Juni 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Putri Kanesia, S.H.

Wakil Koordinator Bidang Advokasi

 

Narahubung:

Arif Nurfikri – 081513190363