50 Tahun Okupasi Militer Israel di Jalur Gaza dan Yerusalem Timur: Antara Stagnansi Penyelesaian dan Kewajiban Perlindungan Internasional

50 Tahun Okupasi Militer Israel di Jalur Gaza dan Yerusalem Timur
Antara Stagnansi Penyelesaian dan Kewajiban Perlindungan Internasional

Di tengah peringatan 50 tahun okupasi militer Israel di Palestina, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ingin menyampaikan solidaritas untuk Palestina melalui situasi terkini yang terjadi di Palestina dan kebijakan luar negeri Indonesia untuk Palestina terkait dengan gerakannya untuk mendukung kemerdekaan atas Palestina. Hal ini sungguh disayangkan, setelah 50 tahun perang dan usaha untuk penyelesaian tidak pernah mencapai hasil yang positif.

Okupasi militer Israel di Palestina masih berlangsung dan stagnan. Okupasi ini sesungguhnya sudah melampaui definisi dari okupasi itu sendiri. Militer Israel tidak hanya mengokupasi teritorial Palestina, namun juga membunuh para warga sipil, memisahkan anggota keluarga dan merusak fasilitas sipil. Jalur Gaza hingga saat ini masih dikepung oleh militer Isrel, walaupun telah tercantum pada Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 yang mengatur mengenai kebijakan humaniter di area konflik, Israel masih menggunakan kekuatan militer kepada warga sipil dengan mengatasnamakan keamanan. Pada tanggal 23 Desember 2016, resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2016, Dewan Keamanan PBB menegaskan bahwa pengesahan dari penyelesaian konflik di Tepi Barat merupakan pelanggaran berat terhadap hokum internasional. Namun, setelah resolusi tersebut pemerintah Israel mengumukan rencana untuk meluncurkan 6,000 pasukan di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

Berdasarkan laporan dari Pelapor Khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di Palestina, seiring dengan pengumuman konstruksi penyelesaian yang melaporkan semakin banyaknya peristiwa pemusnahan pemukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Pemusnahan akan penghidupan ini pada tahun 2016 mencapao 1,093 dan merupakan angka tertinggi yang terekam dari tahun 2009. Penyerangan tidak hanya terjadi terhadap warga sipil secara umum, organisasi hak asasi manusia Palestina saat ini dilaporkan mengalami lingkungan kerja yang represif.

Berdasarkan fakta di atas, situasi hak asasi manusia di Palestina sama sekali tidak membaik. Badan-badan PBB telah mengeluarkan berbagai rekomendasi dan juga usaha penyelesaian untuk menghentikan perang dan okupasi di teritori Palestina. Disamping tekanan yang terus berulang dan blokade untuk dari komunitas internasional, keadaan masih terus memburuk. Terlebih lagi, stagnannya pergerakan dan situasi yang terjadi tidak hanya berasal dari militer Israel saja, namun juga dari pergerakan komunitas internasional terhadap situasi ini.

Dari konteks nasional pada kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Palestina, saat ini Indonesia masih memiliki komitmen yang stagnan untuk mendukung Palestina pada forum internasional, dengan kurangnya inovasi dan realita terus bertambahnya konflik yang membuat situasi humaniter memburuk di area konflik ini. Organisasi masyarakat sipil di Indoneisa harus melakukan gerakan solidaritas yang merekomendasikan para pembuat kebijaka untuk okupasi Israel di Palestina. Saat ini, kebijakan luar negeri Indonesia untuk Palestina masih sangat pragmatis ketika kerjasama ekonomi masih menjadi prioritas, maka dari itu langkah untuk memajukan hak asasi manusia di dalam maupun luar negeri tidak berjalan signifikan.

KontraS pun ingin menegaskan bahwa konflik yang masih terjadi di teritori Palestina bukan hanya semata-mata mengenai konflik agama antara Yahudi dan Islam. Situasi ini merupakan tragedi kemanusiaan yang telah diabaikan secara implisit oleh komunitas internasional ketika situasi ini tidak membaik seiring dengan usaha penyelesaian yang juga menurun. Okupasi militer Israel telah memenuhi unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Mahkamah Pidana Internasional pada Statuta Roma, namun tidak pernah ditindak lanjuti oleh komunitas internasional untuk mendorong proses hingga menuju ke peradilan. Indonesia sebagai pionir dari kemerdekaan Palestina harus merekomendasikan Israel untuk meratifikasi Statuta Roma, namun dikarenakan Indonesia pun belum menjadi bagian dari Negara anggota yang meratifikasi Statuta Roma, pergerakan Indonesia menjadi stagnan.

Pemerintah yang menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi, dan secara serius menjunjung tinggi kewajiban atas pergerakan hak asasi manusia harus mendorong pemerintah Israel untuk patuh terhadap rekomendasi komunitas internasional dan hukum hak asasi manusia internasional. Komunitas internasional telah berada dibawah kewajiban untuk menghentikan okupasi Israel dan menahan Israel yang telah diduga menjadi pelaku dari kejahatan internasional serius untuk menjadi akuntabel. Ini merupakan waktu bagi komunitas internasional, termasuk Indonesia sebagai salah satu pemimpin untuk mendukung Palestina agar mengambil inovasi baru pada forum internasional untuk menghentikan kejahatan serius dan pelanggaran pada teritori Palestina.

 

 

Jakarta, 6 Juni 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Puri Kencana Putri, MA

Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi

 

Sumber Foto: Al-Jazeera