Perppu Nomor 2 Tahun 2017: Insekuritas Pemerintah atas Konsep Ormas dan Kedaulatan

Perppu Nomor 2 Tahun 2017
Insekuritas Pemerintah atas Konsep Ormas dan Kedaulatan

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) protes keras atas disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara dalam melihat dinamika kebebasan berserikat, berkumpul dan termasuk tanding tafsir atas situasi kebebasan beropini serta gagasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Keluarnya Perppu ini adalah indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum.

KontraS mencatat beberapa pokok hal yang dapat menyulut permasalahan hukum dan perlindungan HAM di masa depan pasca dikeluarkannya Perppu ini:

Pertama, tentang tafsir ambigu derogasi HAM. Menurut hukum HAM internasional, hak asasi manusia dapat diderogasi (dibatasi) dengan sejumlah ukuran ketat yang telah diatur oleh instrumen hukum HAM internasional melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Derogasi tersebut dapat digunakan secara absah oleh negara-negara pihak dari ICCPR untuk menjamin berlangsungnya roda negara dan perlindungan absolut atas operasionalisasi hak-hak asasi manusia lainnya jika situasi ancaman, konflik, kedaruratan terjadi.

Pada dokumen ini, derogasi kemudian dirujuk langsung kepada Pasal 4 ICCPR (khusus soal kedaruratan) yang menemukan alas hukumnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 138/PUU-UI/2009 yang dijabarkan sebagai berikut:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang
  2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

 

Namun KontraS tidak melihat operasionalisasi dari “hal kegentingan yang memaksa” sehingga Putusan MK, Pasal 4 ICCPR, yang dielaborasi melalui Pasal 22(1) dan 28J UUD 1945 (perihal situasi khusus dan keadaan darurat dan kewenangan negara untuk membatasi hak asasi manusia) juga bertautan dengan konsep partikularisme HAM di kawasan Asia Tenggara yang membangun sentimennya tersendiri pada universalisme HAM sebagaimana yang dirujuk melalui Deklarasi HAM ASEAN, yang menurut KontraS dengan merujuk Deklarasi HAM ASEAN yang memiliki banyak kritik dan kecacatan konsep juga mengurangi derajat Perppu ini sendiri. Negara sekali lagi telah menggunakan tafsir derogasi ambigu yang seakan-akan situasi “kegentingan yang memaksa” hasil dari situasi penegakan hukum yang compang camping belakangan ini menjadi pembenar lahirnya Perppu 2/2017.

Sebagaimana Komentar Umum dari Komite HAM PBB (komite yang didirikan oleh PBB untuk pemantauan ICCPR) bahwa derogasi harus bersifat non-permanen dan eksepsional. Yang utama adalah apakah pengelola negara telah mendeklarasikan bahwa situasi negara masuk pada ukuran “darurat” dan “genting yang memaksa”? Maka keberadaan Perppu ini akan amat diuji dengan ukuran legalitas dan ketersediaan penegakan hukum (rule of law) yang dapat memberikan panduan.

Kedua, tentang larangan eksesif dan tidak terukur pada Pasal 59(2). KontraS menemukan banyak kejanggalan dari logika yang ditawarkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan terselenggara dengan baik. Mengapa? Pasal 59(2) memberikan bobot larangan ketimbang pembatasan yang kuat dan eksesif pada isu dan topik sebagai berikut: (a) larangan mengadopsi simbol yang memiliki kemiripan dengan ormas, negara, organisasi internasional, (b) larangan untuk menerima dan memberikan termasuk mengumpulkan dana untuk parpol, (c) larangan ormas untuk melakukan penistaan  agama dan praktik kekerasan, termasuk mengambil sikap dan tindakan menyerupai aparat penegak hukum, dan (d) isu ormas dengan larangan kegiatan separatisme termasuk penyebar luasan ide dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila.

Bagi KontraS keempat poin tersebut yang jika diperiksa dengan baik di Pasal 60 dan 61 tentang sanksi administratif dan sanksi pidana amat mengerdilkan apa yang dimaksud dengan penegakan hukum di Indonesia. Di badan pasal kami sama sekali tidak menemukan adanya mekanisme peradilan yang disediakan dan dijamin negara; khususnya apabila suatu ormas ingin menggugat tindakan derogasi sepihak negara. Sanksi administratif yang muncul pada Pasal 61 dititiktekankan pada: peringatan tertulis (1 kali peringatan 7×24 jam), penghentian kegiatan, pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum dengan mendapatkan pertimbangan dari menteri dan badan yang terkait pada bidang hukum dan HAM. Selain itu, untuk mereka yang melakukan pelanggaran kekerasan dan ketentraman publik (Pasal 59(3) c) sebagaimana diatur pada Pasal 82A dijatuhi 6 bulan -1 tahun. Mereka yang melanggar perihal penistaan agama dan isu separatisme (sebagaimana yang diatur pada Pasal 59(3) a dan b dan 59 (4)) akan dipidana 5-20 tahun maksimal seumur hidup. Ada juga nuansa pencampuradukan juga antara beberapa isu yang dipolitisasi belakangan ini seperti persoalan penistaan agama, ekspresi advokasi kekerasan ormas-ormas; dengan pokok permasalahan fundamental seperti isu ketidakadilan yang terjadi di Papua pada keranjang solusi instan yang sama.

Ketiadaan ruang yudisial pada dokumen Perppu ini sebenarnya juga melanggar Pasal 14 ICCPR, Pasal 17 dan 18  UU No. 39/1999, KUHP maupun KUHAP perihal peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial). Maka siapa saja yang melanggar Pasal 59(2) dalam kacamata negara dan pengelola hukum adalah potensi ancaman negara. Pasal ini kemudian dapat mengancam ormas-ormas yang selama ini hadir dengan gagasan HAM yang kuat dan mengajak negara untuk mengoperasionalisasikan ideologi dasar negara dan termasuk Pancasila secara konsekuen dengan tren akuntabilitas global dapat dijadikan target ancaman.

Ketiga, ketidakmampuan negara untuk membedakan pembatasan hak dengan situasi kedaruratan. Sebagaimana pada poin pertama isu “kegentingan yang memaksa” nampak kabur dan dipaksakan dengan konsep pembatasan hak. Pada Komentar Umum No. 29 untuk Pasal 4 ICCPR, Komite HAM PBB menerangkan bahwa,”derogasi untuk beberapa kewajiban kovenan di masa dan situasi darurat harus dapat dipisahkan dengan larangan atau pembatasan (limitations) yang diperbolehkan di masa damai (normal) untuk sejumlah aturan-aturan yang memang telah diatur di dalam Kovenan.” (Para. 4). Komentar ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya negara tanpa melalui Perppu yang sumir ini tetap bisa melakukan pembatasan hak dengan ukuran-ukuran penegakan hukum yang ada. Selain itu Pasal 4 ICCPR juga harus diikuti dengan Pasal 5 ICCPR yang menerangkan pokok kewajiban negara untuk menggunakan tafsir berlebihan dalam mengoperasionalisasikan Pasal 4 ICCPR.

Perppu yang tidak memiliki prinsip proporsionalitas, legalitas, tujuan dan manfaat ke depannya (nesesitas) ini dan oleh karenanya, KontraS secara tegas menyatakan bahwa:

  1. Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan Perppu Pembubaran Ormas dan melakukan kajian hukum seksama atas situasi penanganan praktik ujaran kebencian, advokasi kekerasan dan operasionalisasi diskriminasi yang dilakukan ormas-ormas garis keras menggunakan landasan penegakan hukum yang telah tersedia dan bisa dimaksimalkan.
  2. Dewan Perwakilan Rakyat harus segera melakukan pembahasan dan menolak keberadaan Perppu pembubaran Ormas.
  3. Pemerintah harus bertanggungjawab atas segala kemungkinan ekses buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya kebijakan jalan pintas melalui Perppu ini, termasuk memastikan bahwa Perppu ini tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput.
  4. Menghentikan segala bentuk jalan pintas yang melangkalahi hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi dinamika politik dan kebangsaan.

 

 

Jakarta, 12 Juli 2017

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani, S.HI.

Koordinator