Menagih Kembali Tanggung Jawab Negara atas Kasus Vaksin Palsu

Menagih Kembali Tanggung Jawab Negara atas Kasus Vaksin Palsu

 

Pada 18 Juli 2017, KontraS bersama Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu dan YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia) melakukan diskusi publik di Bakoel Koffie, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi  yang dimulai pukul 14.00 ini sebagai upaya menolak lupa atas kasus vaksin yang terjadi satu tahun silam bahwa upaya penegakan hukum yang dilakukan juga nyata-nyata belum menyentuh pertanggungjawaban negara dalam kasus kejahatan vaksin palsu, serta cenderung mengkerdilkan kasus ini menjadi kejahatan antara produsen vaksin palsu dan pihak rumah sakit/klinik, namun belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin tersebut secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang terjadi sejak belasan tahun tersebut.

Dalam diskusi tersebut, dr Marius dari YPKKI mengatakan “Dari data yang di terima YPKKI, 31 persen kasus vaksin palsu melapor adanya keluhan. Keluhan kesehatan yang diterima diantaranya adalah 41,8 persen mengaku mengalami iritasi kulit, 30,6 persen alergi dan 22,6 persen munculnya luka bakar. Selain itu, banyak juga korban vaksin palsu yang mengeluhkan munculnya bintik-bintik merah pada kulit, serta panas tinggi hingga 41 derajat celsius. Dari kejadian tersebut, pihak korban bersama KontraS kembali meminta kejelasan kasus vaksin palsu yang dianggap berjalan lambat bahkan hilang di tengah jalan.”

Sedangkan, KontraS melalui Rivanlee Anandar menganggap “rantai kejahatan bisnis vaksin palsu memiliki kaitan dengan jalur suplai, distribusi resmi, serta badan-badan pemantau dari pihak pemerintah melalui pedagang besar farmasi. Adanya korban yang terverifikasi terkena vaksin palsu oleh pihak Bareskrim Polri, namun dengan yakin telah melakukan pembayaran resmi mengindikasikan adanya peran dari pihak rumah sakit dalam pengaturan distribusi vaksin palsu ke dalam sistem rumah sakit”.

Upaya pertanggungjawaban dalam melakukan vaksinasi ulang seolah hanya mengganti permen dengan coklat, sementara hal lain yang menjadi hak-hak korban tidak tersentuh. Kami meyakini bahwa kondisi botol vaksin yang diambil dari bekas limbah terkandung bakteri-bakteri karena tidak steril. Hal ini menegaskan bahwa persoalan vaksin palsu tidak terhenti pada perdebatan ada atau tidaknya dampak, melainkan meyakini bahwa vaksin palsu berasal dari bahan yang tidak steril. ini yang menjadi landasan kami, kalau pemulihan atas korban vaksin palsu harus dilakukan secara tepat dan menyeluruh, serta jaminan kesehatan harus diberikan untuk menangani dampak dari dugaan pemberian vaksin palsu.

Hadir sebagai penanggap, Hans Kakeris dari BPOM mengatakan bahwa “ke depan kewenangan BPOM akan ditambah untuk menindak mengingat kasus-kasus yang terjadi seperti vaksin palsu, obat palsu terjadi dalam waktu yang dekat dan sebagai upaya BPOM untuk mengawasi peredaran obat di Indonesia”

Diskusi tersebut sebagai upaya kami untuk mengingatkan dan menagih kembali tanggung jawab negara dalam penyelesaian kasus vaksin palsu. Acara tersebut juga hadir beberapa media yang turut meliput kegiatan dan diakhiri dengan sesi tanya jawab.