Membiarkan Menkopolhukam yang Melanggar Hukum, Menurunkan Kualitas Hukum Kita

Membiarkan Menkopolhukam yang Melanggar Hukum
Menurunkan Kualitas Hukum Kita

KontraS merespons sikap dan pernyataan yang dikeluarkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, dengan pernyataan menyimpang terkait: (1) ketiadaan bentuk pelanggaran HAM pada peristiwa Deiyai Papua,(2) sikap perlawanan hukum yang ia sampaikan di Lembaga Pertahanan Nasional tentang ketidakterkaitannya pada kasus pelanggaran HAM serius di Timor Leste jelang pelaksanaan dan pasca Jajak Pendapat 1999, dan yang terakhir (3) pernyataan Menkopolhukam yang menyatakan bahwa Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang terinspirasi untuk melakukan tindakan tembak ditempat sebagaimana yang terjadi pada Peristiwa Penembakan Misterius 1983-1985. Ketiga sikap yang kontroversial itu menjadi sulit dibayangkan keluar oleh posisi jabatan publik yang idealnya mengampu pelaksanaan peta pembaharuan hukum, politik dan keamanan di Indonesia.

Sulit juga untuk membayangkan pelaksanaan aturan hukum yang sesuai standar dan termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dipelopori oleh salah satu aktor yang diduga kuat bertanggung jawab atas kasus-kasus tersebut. Selain berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum di Indonesia (impunitas), hal tersebut juga dapat mendorong terjadinya kembali pelanggaran HAM. Bertepatan dengan 20 tahun Peristiwa Kudatuli (27 Juli), Presiden Joko Widodo mengangkat Wiranto menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Hal ini menjadi menarik mengingat nama Wiranto selalu ada dalam sejarah impunitas Indonesia. KontraS secara khusus melakukan pemantauan sikap dan pernyataan yang dikeluarkan secara gencar oleh Menkopolhukam di era Joko Widodo ini. Tercatat setidaknya ada 18 sikap kontroversal Wiranto yang mencakup pada isu: (1) hukuman mati, (2) status pelanggar HAM, (3) Isu 1965, (4) persetujuan Wiranto untuk melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, (5) rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional, (6) penolakan aksi Bela Islam dan pembubaran HTI, (7) pembentukan Perppu Ormas, (8) Deiyai bukan pelanggaran HAM. Catatan ini akan membedah tingkat kekacauan hukum yang disebabkan oleh sikap Menkopolhukam Wiranto.

Berdasarkan laporan Komnas HAM, Wiranto terlibat dalam beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi, seperti Tragedi Trisakti, Mei 1998, Semanggi I dan II, Penculikan dan Penghilangan Aktivis Prodemokrasi 1997/1998, Biak Berdarah, Penyerangan 27 Juli, serta namanya disebut-sebut di dalam sebuah laporan khusus setebal 92 halaman yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandate Serious Crimes Unit, yang menyatakan bahwa Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku di dalam institusi TNI. Dengan sederet kasus yang menyeret namanya, tentu pengangkatan dirinya menjadi tanda tanya besar pada rezim Kabinet Kerja ini.

KontraS mencatat sejumlah pernyataan dan kebijakan yang keluar sejak Wiranto diangkat menjadi menteri cenderung memberikan ruang gerak kepada rezim untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada kontroversi, melanggengkan impunitas, dan melanggar hukum. Wiranto mengatakan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak perlu dievaluasi,[1] penyelesaian peristiwa 1965 diselesaikan dengan pendekatan nonyudisial,[2] membenarkan pengejaran terhadap anggota PKI,[3] pembuatan Dewan Kerukunan Nasional[4], mendukung pembubaran organisasi.[5]

Berdasarkan temuan KontraS, pernyataan dan kebijakan Wiranto tersebut keluar dari jalur penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam urusan negara melakukan eksekusi mati, terhadap sejumlah terpidana kerap tidak melalui peradilan yang adil (fair trial), seperti yang terjadi pada kasus Yusman Telaumbanua[6]. Evaluasi terhadap sistem peradilan yang masih menerapkan vonis hukuman mati harus segera dilakukan. Termasuk juga di dalamnya menghadirkan evaluasi terhadap proses eksekusi mati yang hingga kini belum pernah dilakukan, dengan melibatkan fungsi eksekutif, lembaga penegak hukum, badan pengawas yang memiliki mandat HAM seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Apalagi saat ini sedang dibahas amandemen KUHP yang mendiskusikan posisi penerapan vonis hukuman mati sebagai hukuman alternatif. Sehingga sikap Wiranto sebagai Menkopolhukam berada di pisis konservatif, sangat jauh dari tren pembahasan hukum yang tengah berlangsung.

Pernyataan Wiranto yang membenarkan pengejaran dan penghancuran simpatisan PKI dan Soekarno sebagai tindakan penyelematan negara dari tindakan makar diperparah dengan agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dengan jalan pintas melalui pembentukan Dewan Kerukunan Nasional. KontraS menilai hal tersebut tidak lebih dari sekadar agenda cuci tangan negara untuk melemahkan proses penegakan hukum, terlebih jalur tersebut tidak berangkat dari kemauan korban. Atas usul tersebut, Wiranto dipanggil oleh Ombudsman. Namun, ia melakukan pembangkangan terhadap panggilan Ombudsman pada Rabu, 29-Maret-2017 dengan alasan kesibukan. Sikap Wiranto tersebutmelecehkan hukum dan lembaga negara untuk bertanggungjawab terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia. Apalagi jika kita berprinsip taat hukum bahwa terdapat 2 aturan UU yang harus dijadikan acuan oleh Komnas HAM (sebagai penyelidik) dan Jaksa Agung (sebagai penyidik) untuk mengoperasionalisasikan pelaksanaan UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; maka sikap Wiranto sebagai Menkopolhukam telah melanggar fungsi hukum yang bisa memberikan rasa keadilan kepada para korban pelanggaran masa lalu.

Di lain hal, wacana melibatkan TNI ke dalam penanggulangan terorisme dinilai sarat dengan kepentingan. Menengok kembali tahun 1999, ketika Wiranto sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Panglima ABRI, BJ Habibie menawarkan suatu Rancangan Undang-Undang yang berbunyi Keselamatan dan Keamanan Negara yang kemudian diubah menjadi RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Dalam RUU PKB tersebut secara kuat dan tersirat ada keinginan Wiranto untuk membaca situasi politik nasional hari ini dalam bungkusan keadaan negara darurat. Negara dalam RUU tersebut secara sewenang-wenang dapat menurunkan ABRI (TNI) untuk menanggulangi ancaman keamanan negara. Sembilan belas tahun yang lalu RUU PKB ini ditentang masif oleh mahasiswa dan publik yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa, termasuk mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Yap Yun Hap. Dengan gaya yang mirip, hari ini Wiranto hadir sebagai pelopor kembalinya TNI di urusan hukum yang berakibat pada minimnya ruang koreksi dan terbatasnya alat uji akuntabilitas dalam agenda “criminal justice system” untuk penanganan terorisme. Sementara, kasus-kasus seperti penyiksaan, tindakan keji, pembunuhan di luar proses hukum, hingga penghilangan paksa berpotensi untuk terjadi sepanjang akuntabilitas TNI tidak dibenahi secara internal.

Dalam dua bulan terakhir saja, pernyataan Wirantosemakin menghilangkan aspek HAM dan kebenaran serta mengenyampingkan proses hukum yang seharusnya dan terbuka, setidaknya membuka ruang akuntabilitas yang saat ini tengah dilakukan oleh para penyidik di bawah kontrol kendali Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Papua dan Komnas HAM atas beberapa peristiwa kekerasan yang melibatkan unsur kepolisian. Hal ini terlihat dari dukungannya terhadap pembubaran organisasi yang semata-mata hanya menunjukkan kekuatan negara. Kemudian, pernyataannya terhadap peristiwa penembakan di Deiyai, Papua yang terjadi pada akhir bulan Juli 2017. Pernyataan Wiranto selaku Menkopolhukam yang menyatakan bahwa peristiwa bukanlah masuk pada kategori pelanggaran HAM harus diperiksa secara seksama. Pertama,Menkopolhukam tidak berhak menyebut sebuah kejadian pelanggaran HAM atau bukan, apalagi diucapkan ketika tim DivPropam Polda Papua dan Komnas HAM tengah mengurus proses penyelidikan; kedua, ucapan tersebut berpotensi melemahkan proses penegakan hukum yang akan berjalan, juga telah melampaui kewenangannya sebagai menteri sebab yang berhak menentukan sebuah kasus masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat ialah Komnas HAM sesuai dengan mandat UU No. 39/1999.

Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) yang dibangga-banggakan oleh Menkopolhukam sebagaimana yang telah disadurkan oleh harian the Jakarta Postuntuk konteks penembakan kilat yang mematikan sebagaimana terjadi di Filipina dan dibenarkan oleh Presiden Rordrigo Duterte juga menunjukkan bahwa ada pengingkaran prinsip hukum yang tetap dilanggengkan melalui impunitas dalam konteks Indonesia. Mengingat hingga kini terhambatnya proses hukum dan keadilan kepada para korban dan keluarga banyak disebabkan terkatung-katungnya proses tindak lanjut pengadilan HAM adhoc, ketika Komnas HAM pada tahun 2012 telah menyatakan secara terang bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat sesuai UU No. 26/2000 pada kasus Petrus. Sikap dan posisi Wiranto menunjukkan sekali lagi pengingkaran hukum yang bisa dipelintir sedemikian rupa oleh seorang pelaku pelanggaran HAM yang kini mendapatkan kekebalan hukum di bawah administrasi Presiden Joko Widodo.

Sesuai dengan Perpres no 24 tahun 2010, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Kemenkopolhukam dapat berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara kunci yang berkaitan denga penegakan HAM, seperti Kemendagri, Kemenlu, Kemenhan, Kemenkumham, Keminfo, Kemen PAN RB, Kejagung, BIN, TNI, Polri, dan instansi lain yang dianggap perlu. Atas dasar pasal tersebut, maka peran dan kewenangan Menteri Polhukam menjadi sangat strategis dan dalam perumusan kebijakannya pun harus matang. Namun, situasi sekarang amat berlawanan dengan harapan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. dimulai dari diangkatnya Wiranto, hingga kebijakan-kebijakan yang muncul pasca penangkatan dirinya.

Sedari awal KontraS telah mengingatkan bahwa memilih Wiranto untuk duduk pada posisi signifikan ini akan membangun kontradiksi dan bertolak belakang dengan konteks visi dan misi politik Presiden. Namun mengapa Presiden diam saat pernyataan kontroversial dari menterinya itu keluar? Sementara, diamnya Presiden justru mengendurkan komitmen pemerintahan yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebagaimana yang rutin disampaikan pada pidato-pidato Presiden Joko Widodo di Hari HAM Sedunia sejak tahun 2014, yang juga sebenarnya minim realisasi. Secara tegas KontraS akan mengatakan bahwa situasi yang terjadi selama ini, termasuk terus membiarkan Wiranto mengacak-acak sistem penegakan hukum, martabat politik, dan rasa aman yang didagangkan dengan ukurannyatelah menggambarkan bahwa ada inkonsistensi dalam mengoperasionalisasikan HAM dan penegakan hukum di Indonesia. Rezim Joko Widodo hari ini juga tidak memiliki itikad baik untuk menegakkan hukum dan HAM setinggi-tingginya. Satu hal yang dapat Presiden lakukan untuk memperbaiki situasi ini adalah mengevaluasi jajaran menteri, termasuk Wiranto, yang hingga kini tidak berkontribusi pada perbaikan tata kelola hukum dan HAM.

 

 

Jakarta, 18 Agustus 2017

 

Yati Andriyani

Koordinator

 


[6]lihat rilis KontraS http://kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2370 diakses pada 18 Agustus 2017 diakses pad