Merespons Situasi Luwuk: Pentingnya Sistem Deteksi Dini oleh Kepolisian demi Mencegah Konflik Sosial

Merespons Situasi Luwuk
Pentingnya Sistem Deteksi Dini oleh Kepolisian demi Mencegah Konflik Sosial

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan terjadinya serangkaian konflik di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Kejadian tersebut bermula dari adanya perkelahian dan pengeroyokan kepada korban a.n. NH yang diketahui sebagai petugas pemadam kebakaran pada tanggal 22 Agustus 2017 di Komplek Dinas Kehutanan (mayoritas dihuni oleh Etnis Muna), Luwuk. Meski polisi telah menetapkan 3 (tiga) tersangka AB (17), HP (17), dan AD (19), namun konflik merambah ke arah yang lebih besar.  Setidaknya, telah terjadi dua konflik horizontal dalam satu minggu antara dua suku (Muna dan Saluan) dan meluas antara warga dan aparat kepolisian.

Peristiwa pengeroyokan terhadap NH (Etnis Saluan) berdampak pada masyarakat (Etnis Saluan) yang melakukan aksi dan sweeping terhadap Etnis Muna yang dituduh telah menganiaya korban hingga tewas. Kejadian tersebut sempat berhenti ketika komponen pemerintah dan sebagian masyarakat membuat alternatif penyelesaian masalah dengan tajuk Dialog Kebangsaan di Gedung Kantor DPRD Banggai. Namun, hal tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak, sebagian masyarakat dari Etnis Saluan tidak hadir dan menutup jalan Trans Sulawesi poros Kintom – Luwuk, termasuk menguasai pasar dan Pelabuhan Teluk Lalong. Sementara, dialog tetap berjalan. Massa yang berada di luar gedungpun bentrok dengan aparat. Setelah polisi dua kali menembakkan gas air mata, massa membubarkan diri. Dari hasil penelusuran polisi telah diamankan sejumlah 18 orang; masing masing 8 orang diduga melakukan pengerusakan, 8 orang membawa senjata tajam, dan 2 orang lainnya terduga yang melakukan pelemparan terhadap aparat. Dari rilis yang dikeluarkan oleh Polres Banggai tertanggal 29 Agustus 2017, diketahui terdapat 5 orang terluka akibat peluru karet. Kapolres Banggai yang sebelumnya telah mengeluarkan Himbauan Menjaga Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Himbauan/580/VIII/2017) tertanggal 25 Agustus 2017untuk situasi Luwuk.

KontraS ingin menggarisbawahi kelalaian polisi juga pemerintah daerah dalam mendeteksi persoalan konflik yang terjadi. Pasalnya, secara historis terdapat banyak suku atau etnis yang ada di daerah Luwuk. Tentu dari keberagaman tersebut jelas terdapat potensi konflik yang nyata jika tidak dikelola dengan baik.  Kejadian tersebut semestinya bisa ditanggulangi, jika polisi memaksimalkan sistem deteksi dini terhadap konflik yang akan terjadi. Sistem deteksi dini sebenarnya bisa menggunakan beberapa pendekatan yang melekat seperti instrumen pengumpulan informasi intelijen dan dialog menggunakan pendekatan pemolisian masyarakat. Mengulang kembali apa yang pernah menjadi temuan KontraS bahwa polisi sebagai alat negara atau sebuah departemen pemerintahan yang didirikan untuk memelihara keteraturan sosial dalam masyarakat, menegakkan hukum serta mendeteksi kejahatan serta mencegahnya serta memeranginya. Pesan-pesan ini ingin menyatakan bahwa polisi hadir dan tumbuh di tengah masyarakat, mengikuti kultur sosialnya.

Jika kita memeriksa kembali beberapa insiden yang muncul di sekitar Luwuk ini, KontraS mencatat setidaknya tahun 2003 pernah ada upaya pengusiran terhadap Etnis Banggai Kepulauan, Kecamatan Batui (lokasi yang saat ini menjadi wilayah konsesi tambang migas). Bermula dari kasus individu dan berujung pada konflik horizontal serta pengusiran. Pengusiran tersebut dilakukan dengan cara membakar 15 rumah yang membuat ratusan warga mengungsi.

Medio tahun 2012-2013 di Sulawesi Tengah sendiri pernah terjadi pertikaian antar warga yang terjadi di Sigi, di kecamatan Marawola dan Kinovaro. Pertikaian tersebut terjadi antara suku, kampung, dusun, maupun kelompok masyarakat yang ada. Kesepakatan damai yang digagas oleh Gubernur pada 22 Agustus 2012, belum mampu menghentikan konflik yang terjadi. Hingga Kapolda Sulteng mengeluarkan maklumat Kapolda Sulawesi Tengah nomor NAK/04/I/2013 tentang larangan membawa senjata tajam dan benda-benda berbahaya lainya. Kemudian, hal tersebut ditanggapi pimpinan daerah Kabupaten Sigi dengan mengeluarkan Surat Edaran Bersama Nomor 850/798.62/Kesbangpol Kab. Sigi/2012 yang pada dasarnya memperkuat posisi Maklumat Kapolda tersebut. Kedua surat tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Perintah Bupati Sigi Nomor 200/01.01/Kesbangpol, yang memerintahkan untuk mensosialisasikan serta memperbanyak Surat Edaran Bersama yang dibuat oleh aparat kepolisian dan pimpinan daerah Kabupaten Sigi.

Dalam peristiwa Luwuk hari ini, peran sentral negara dalam pengendalian sosial dipegang oleh institusi yang memiliki kewenangan untuk mengatur melalui tindakan langsung serta menyusun serangkaian kebijakan dan regulasi dalam melaksanakan pengendalian sosial; termasuk di dalamnya adalah Polri dan badan-badan negara terkait lainnya seperti Komnas HAM. Selain itu, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menyebutkan bahwa polisi juga memiliki peran sentral dalam penanganan konflik. Dengan segala kelemahan dari tafsir dan pelaksanaan UU Penanganan Konflik Sosial, menurut KontraS polisi tetap harus menjalankan fungsi-fungsi preventif yang melekat pada tanggung jawab dan kewenangannya dalam membaca potensi konflik di dalam masyarakat, secara proporsional, menggunakan asa hukum yang tepat dan memiliki alasan kuat bagi kepolisian untuk turut mencegah perluasan konflik.

Terkait dengan peristiwa tersebut, guna membuktikan keseriusan polisi dalam memelihara keamanan, ketertiban masyarakat dalam kaitannya dengan konflik sebagaimana tertera dalam Pasal 15 ayat 1 huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), termasuk juga sejumlah Peraturan Kapolri seperti Perkap Pengendalian Massa, Perkap HAM, Perkap penggunaan senjata api dan lain sebagainya KontraS merekomendasikan Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah dan Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah untuk melakukan sejumlah hal:

Pertama, dalam jangka dekat, menyusun agenda pencegahan, penanganan, hingga pemulihan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang dilakukan bersama dengan pemerintah daerah sesuai dengan kultur yang ada dalam masyarakat.

Kedua, dalam jangka menengah, membangun sistem deteksi dini yang lebih kuat untuk mengenali sumber-sumber penyebab konflik sosial yang dapat menimbulkan terjadinya konflik kekerasan. Kemudian, disampaikan informasi tersebut secara dua arah dengan pendekatan keamanan dan ketertiban masyarakat berwawasan perdamaian untuk menenteramkan situasi keamanan.

Ketiga, dalam jangka panjang, dapat melakukan pendekatan kepada daerah-daerah yang potensial konflik secara terus menerus, berwawasan kemitraan dan kesetaraan dengan masyarakat dan tokoh agama, tokoh masyarakat untuk secara bersama-sama dalam mencegah dan menangani terjadinya konflik atau gangguan keamanan

Keempat, semua instrumen hukum yang melekat di dalam tubuh kepolisian harus diterapkan secara seksama, termasuk melibatkan unsur evaluasi dan koreksi. Beberapa badan negara yang harus turut memantau ketika Luwuk pecah seperti Komnas HAM harus memerhatikan unsur pemenuhan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

 

 

31 Agustus 2017,

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator

 

Sumber http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/126/pdf diakses pada tanggal 30 Agustus 2017