Koalisi Tolak Perppu Ormas Daftarkan Gugatan Ke MK: Perppu Ormas Tanda Pemerintah Otoriter Terhadap Hak Politik Warga

Koalisi Tolak Perppu Ormas Daftarkan Gugatan Ke MK
Perppu Ormas Tanda Pemerintah Otoriter Terhadap Hak Politik Warga

Koalisi Tolak Perppu Ormas mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan merupakan tindak lanjut jalur hukum terhadap sikap dari koalisi yang sebelumnya menyampaikan penolakan terhadap kebijakan Pemerintah yang otoriter ini. Gugatan bertambah relevan karena otoritarian kembali dipraktekan Pemerintah melalui Kepolisian saat membubarkan diskusi korban 1965 (16/9) di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan YLBH Jakarta.

Koalisi melakukan gugatan terhadap Perppu Ormas karena kebijakan inisiatif dari Presiden Joko Widodo ini punya lima permasalahan. Pertama, berdasar Perppu Ormas, Pemerintah bisa menghilangkan penggunaan hak warga dalam berserikat dan berkumpul. Kedua, Pemerintah bisa membubarkan bentuk organisasi masyarakat tanpa proses pengadilan.

Ketiga, Perppu Ormas bisa mempidana anggota organisasi masyarakat padahal penggunaan hak politik yang dijamin konstitusi sejatinya tak bisa dipidanakan. Keempat, Perppu Ormas mengancaman pidana seumur hidup dengan hukuman penjara 5 sampai 20 tahun.

Presiden mengeluarkan Perppu Ormas atas dasar negara darurat. Padahal, istilah negara darurat (state of emergency) adalah saat kekuasaan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tak berfungsi normal dan saat mekanisme hukum dan kelembagaan demokrasi tak berfungsi. Dan, permasalahan kebebasan hak sipil selama ini lebih banyak karena tak hadirnya Pemerintah menegakan hukum saat terjadi kekerasan dari dinamika kebebasan sipil.

Jika Pemerintah berpendapat menguatnya Ormas anti-Pancasila sebagai tanda negara darurat, regulasi yang sudah ada bisa digunakan. Malah, Perppu Ormas menambah permasalahan karena sifat karet dan kewenangan otoriter. Pemerintah atau pelaporan warga berdasar nalar kekuasaan atau logika mayoritas bisa menghilangkan hak politik dan hak hidup warga negara lainnya.

Gambaran konkret penghilangan nalar kekuasaan dan logika mayoritas terjadi pada 16 dan 17 September 2017 di Kantor YLBHI dan YLBH Jakarta. Hari pertama, atas dasar regulasi Kepolisian bisa meminta pembubaran terhadap suatu bentuk implementasi hak politik warga. Hari kedua, atas dasar logika mayoritas, antarwarga bisa sewenang-wenang mengintimidasi dan meminta membubarkan kegiatan.

Padahal kegiatan 16 September 2017 merupakan diskusi ilmiah pelurusan sejarah ’65 dan dan 17 September merupakan aksi seniman yang prihatin terhadap pelanggaran demokrasi yang terjadi di hari sebelumnya. Suasana YLBHI-LBH Jakarta mencekam karena digeruduk sekelompok masa dengan provokasi kebencian dan tuduhan bahwa YLBHI-LBH Jakarta secara aktif memfasilitasi deklarasi PKI.

Ada 10 organisasi masyarakat sipil sebagai Pemohon: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Perkumpulan Working Group of NGO Coalition For International Advocacy of Human Rights (HRWG).

 

KOALISI TOLAK PERPPU ORMAS

Narahubung:

Ketua Badan Pengurus YLBHI, Asfinawati (08128218930)
Direktur LBH Jakarta, Alghifari Aqsa
Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf (081381694847)
Ketua Badan Pekerja KontraS, Yati Andriyani (081586664599)