Presiden dan DPR Harus Mengevaluasi Panglima TNI

Presiden dan DPR Harus Mengevaluasi Panglima TNI

Pada tanggal 23 September 2017, dalam pertemuan dengan para purnawirawan TNI, Panglima TNI menyampaikan adanya institusi negara yang memesan 5000 unit senjata api. Selain itu, Panglima TNI juga menyatakan akan melakukan penyerbuan kepada Polisi jika institusi Kepolisian membeli senjata yang dapat menembak tank.
Kami menilai pernyataan Panglima bukan hanya tidak tepat, tetapi juga sikap yang tidak sejalan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Intelijen.
Panglima TNI seharusnya tidak boleh menyampaikan informasi intelijen yang didapatkannya itu kepada publik melainkan harus disampaikan kepada Presiden sebagai end-user. Hakikat dari informasi intelijen sesungguhnya bersifat rahasia, sehingga langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen ke publik jelas tindakan salah dan keliru.
Lebih dari itu, informasi intelijen yang disampaikan oleh Panglima TNI memiliki tingkat keakuratan yang lemah sebagaimana terlihat dari munculnya bantahan resmi dari Menko Polhukam. Padahal prinsip kerja intelijen itu seharusnya velox et exactus (cepat dan akurat).
Meski demikian, persoalan keakuratan itu bukan hanya sebatas persoalan miskomunikasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Menko Polhukam. Akan tetapi hal itu menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sikap dan tindakan yang salah dari Panglima TNI serta sekaligus permasalahan serius dalam dunia intelijen, khususnya dalam menjaga sifat kerahasiaan dan akurasi data intelijen.
Langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen di depan publik dan bukannya kepada Presiden seperti diatur dalam UU intelijen, merupakan bentuk fetakompli (fait accompli), berdimensi politis, menimbulkan polemik serta dapat menggangu situasi keamanan itu sendiri.
Kami juga memandang pernyataan Panglima TNI terkait ancaman penyerbuan kepada Polisi jika Polisi membeli senjata penembak tank (anti-tank) adalah pernyataan yang keliru, tidak tepat dan berlebihan serta menyalahi UU TNI.
Dalam negara demokrasi, TNI adalah alat pertahanan negara yang bertugas menjalankan kebijakan pertahanan negara. Sehingga otoritas pengerahan kekuatan militer hanya bisa dilakukan oleh Presiden sebagaimana ditegaskan pada pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat (2 dan ayat 3), pasal 17 ayat (1) jo 19 ayat (2) UU TNI. Pengerahan kekuatan seharusnya juga ditujukan untuk menghadapi ancaman bagi negara. Dalam konteks ini, institusi kepolisian jelas bukan merupakan objek ancaman keamanan negara yang harus diserang oleh TNI. Kalaupun terdapat persoalan yang melibatkan sebuah institusi negara, upaya penyelesaiannya seharusnya dilakukan bukan dengan cara-cara koersif seperti melakukan aksi penyerbuan melainkan melalui kelembagaan politik demokratik dan hukum.
Pernyataan Panglima TNI ini lebih jauh dapat membuka ruang konflik antar institusi negara, dalam hal ini TNI dan Polri. Padahal Panglima TNI seharusnya bisa memberikan contoh dan sikap yang konstruktif dalam membangun sinergitas TNI-Polri.
Kami mencatat bahwa sikap dan kebijakan kontroversial dari Panglima TNI bukan hanya terjadi kali ini saja. Sebelumnya, Panglima TNI juga pernah memantik polemik dengan hadir di dalam Rapimnas salah satu partai politik serta menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui sebuah puisi. Selain itu, Panglima juga membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan UU TNI, yakni membuat berbagai MoU dengan instansi pemerintah lainnya yang mana hal itu melanggar UU TNI. Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI menyebutkan bahwa Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara bukan melalui MoU.
Lebih lanjut, Panglima TNI juga pernah memantik konflik terbuka dengan Menteri Pertahanan ketika melakukan rapat kerja di DPR yang sempat diliput oleh media melalui pernyataan dan sikapnya terkait masalah anggaran. Pernyataan dan sikap itu menciptakan hubungan yang tidak konstruktif antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan yang akan mempengaruhi sektor pertahanan. Pandangan yang berbeda atas suatu persoalan seharusnya tidak disampaikan Panglima/Menteri Pertahanan kepada publik, melainkan kepada Presiden.
Dalam menyikapi persoalan-persoalan di atas, kami mendesak kepada Presiden dan DPR untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas sektor pertahanan untuk mendorong terciptanya sektor pertahanan yang baik, kuat dan profesional. Khusus kepada Presiden, kami meminta agar presiden melakukan regenerasi dan penyegaran di dalam tubuh TNI dengan melalukan rotasi pergantian panglima TNI dan segera memilih Panglima TNI yang baru.

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Imparsial, SETARA Institute, ELSAM, KontraS, Lesperssi, LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, Institut Demokrasi, PBHI, Amnesty Internasional, Yayasan Satu Keadilan.