Politik Hukuman Mati Pemerintah Indonesia: Wajah Pengkerdilan Penegakan Hukum Dibilaki Politik Ketegasan

Politik Hukuman Mati Pemerintah Indonesia
Wajah Pengkerdilan Penegakan Hukum Dibilaki Politik Ketegasan

Memperingati 15 tahun gerakan melawan praktik hukuman mati sedunia pada 10 Oktober 2017, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ingin mengeluarkan catatan publik, khususnya terkait dengan upaya bersama dalam menjauhi bentuk-bentuk penghukuman yang bertentangan dengan semangat melindungi hak hidup, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Sebagai permulaan, patut untuk kita ketahui bahwa penggunaan hukuman mati dalam praktiknya telah jauh berkurang. Hal ini bisa dilihat data global yang disarikan oleh World Coalition Against the Death Penalty (WCADP): dari tren progresif dari 104 negara di dunia yang telah mengabolisi (baca: menghapus) secara keseluruhan vonis hukuman mati untuk seluruh kejahatan pidana. Setidaknya 7 negara di dunia telah menghapus vonis hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa, 30 negara lainnya telah meniadakan hukuman mati secara praktik, 57 negara telah meretensi hukuman mati. Namun tren ini tidak diikuti oleh 23 negara yang masih menerapkan eksekusi mati setidaknya sampai tahun 2016. Negara-negara tersebut adalah Tiongkok, Iran, Irak, Pakistan dan Saudi Arabia. Indonesia juga masuk dalam daftar negara-negara yang masih bersikap konvensional dalam hal ini.

Sebelum masuk ke situasi Indonesia, penting untuk dipahami bahwa praktik hukuman mati adalah bentuk penghukuman yang menyasar kepada kelompok rentan, dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Mereka menjadi rentan tidak sekadar faktor ekonomi semata, namun kerentanan tersebut juga akan memiliki konsekuensi pada kesulitan untuk mendapatkan akses keadilan, akses informasi, akses partisipasi, akses kesetaraan, ataupun tidak mendapatkan bentuk-bentuk penghukuman yang diskriminatif.

Untuk situasi Indonesia sendiri, KontraS mencatat setidaknya terhitung dari bulan Januari hingga September 2017 32 vonis mati yang dijatuhkan untuk 22 kasus berdimensi kejahatan pidana narkotika dan 10 lainnya merupakan tindak pidana untuk kasus pembunuhan.

Dok. KontraS, 2017

 

Mereka yang menerima vonis mati banyak dijatuhi di Pengadilan Negeri sebanyak 28 kasus dan ketika proses banding di Pengadilan Tinggi, sebanyak 4 kasus.

Dok. KontraS, 2017

 

KontraS mencatat terpidana mati yang divonis antara tahun 2016-2017 mencapai 44 orang, di mana seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Ke-44 orang tersebut juga memiliki beragam status kewarganegaraan, antara lain Tiongkok (2 terpidana mati), Malaysia (4 terpidana mati), Taiwan (1 terpidana mati) dan Indonesia (26 terpidana mati).

Dok. KontraS, 2017

Dok. KontraS, 2017

 

Ke-44 orang yang divonis mati ini memiliki usia produktif terbanyak di rentang usia 26 hingga 35 tahun. Wilayah vonis hukuman mati tertinggi diberikan di Provinsi DKI Jakarta. Meskipun demikian vonis mati rata-rata juga diberikan di secara konstan di banyak provinsi lainnya seperti di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa kepulauan seperti Bangka Belitung.

Dok. KontraS, 2017

 

Vonis tertinggi rata-rata diberikan di sekitar bulan Januari, April, dan dan Juli 2017 untuk kasus-kasus yang berdimensi kejahatan narkotika. Jika ditelisik lebih lanjut, bentuk kejahatan yang terjadi juga memiliki karakteristiknya kejahatan narkotika yang masih terpelihara di dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Dok. KontraS 2017

 

Namun, penting juga untuk kita memeriksa perilaku aparat keamanan dalam penggunaan senjata api untuk merespons kejahatan narkotika. Merujuk catatan dokumentasi KontraS, sepanjang bulan Januari hingga September 2017 tercatat setidaknya 107 peristiwa penembakan menggunakan senjata api, dengan korban jiwa mencapai 106 orang, 36 orang lainnya menderita luka.

Dok. KontraS, 2017

 

Bulan Maret dan Agustus 2017 adalah dua bulan tertinggi peristiwa pemberantasan narkotika menggunakan senjata api. Angka 15 peristiwa untuk 2 bulan tersebut, di mana Maret 2017 telah terjadi penembakan mengakibatkan 14 orang tewas. Agustus 2017 dengan 15 peristiwa memiliki 11 korban jiwa. Di mana aparat kepolisian di tingkat Polsek dan Polres memiliki tindakan ekstrem penembakan hingga mematikan tersebut.

Dok. KontraS, 2017

 

Detail korban adalah sebagai berikut: bandar narkotika (41 orang), pengedar (34 orang), kurir (19 orang), dan pemakai (19 orang).

Pihak-pihak terkait dengan penembakan ini meliputi badan: BNN (18 peristiwa), Polda setempat (44 peristiwa), Polsek setempat (3 peristiwa) dan Polres setempat (45 peristiwa).

Dok. KontraS, 2017

 

Kecenderungan ini menunjukkan bahwa para pelaku penembakan masih didominasi oleh aparat kepolisian, dengan minim proses evaluasi dan koreksi. Peristiwa paling banyak terjadi di Sumatera Utara (27 peristiwa), DKI Jakarta (16 peristiwa), Sulawesi Selatan (13 peristiwa), Lampung (10 peristiwa), Jawa Barat, dan Aceh (masing-masing memiliki 6 peristiwa). Jika kita melihat tren aparat kepolisian yang masih menggunakan senjata api secara eksesif maka ada aturan-aturan internal yang sebenarnya bisa mengkoreksi tindakan tersebut.

Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”).

Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:

  1. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
  2. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:
  • dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;
  • membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;
  • membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;
  • mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;
  • menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan
  • menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009):

  • tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
  • anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
  • anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009). Jadi, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa manusia. Sebelum menggunakan senjata api, Polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009):

  1. menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas;
  2. memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya; dan
  3. memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).

Pengecualiannya yaitu dalam keadaan yang sangat mendesak di mana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, peringatan tidak perlu dilakukan (Pasal 48 huruf c Perkapolri 8/2009).

Bagaimana pertanggungjawaban polisi terhadap penggunaan senjata api? Jika ada pihak yang dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009). Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009):

  • tanggal dan tempat kejadian;
  • uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
  • alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
  • rincian kekuatan yang digunakan;
  • evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
  • akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

Dok. KontraS, 2017.

 

Menguatnya kecenderungan tembak ditempat, adalah fakta yang menunjukkan bahwa ada proses hukum yang ingin diperpendek namun tidak menunjukkan efek jera dan solusi. Perintah tembak di tempat bahkan datang dari mulut Presiden Joko Widodo. Sekitar bulan Juli 2017 perintah ini banyak ia sampaikan secara publik untuk para bandar narkotika. Ditambahkan lagi, Presiden bahkan seraya menginstruksikan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono untuk langkah “kejami” dengan permintaan untuk “digebuki ramai-ramai” “diinjak”. Suatu instruksi yang tidak memiliki ruang koridor penegakan hukum, sangat ceroboh, dan membahayakan proses akuntabilitas.

Pernyataan presiden juga tidak sebanding lurus dengan komitmen Pemerintah Indonesia di level PBB lewat putaran ketiga Universal Periodic Review yang telah diikat melalui sejumlah pengakuan rekomendasi di dalamnya. Meski dengan status tercatat (noted) – rekomendasi terkait situasi hukuman mati di Indonesia; status tercatat itu merupakan kesempatan yang harus bisa ditafsirkan dan dibawa pada ruang kebijakan progresif, dengan tidak menyerukan tindakan dan bentuk sikap politik yang anti ataupun berseberangan dengan komitmen-komitmen internasional