19 Tahun Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Semanggi I: Presiden Harus Penuhi Janji Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Secara Berkeadilan

Memperingati 19 tahun peristiwa Tragedi Semanggi I, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden RI, Joko Widodo untuk segera mengambil langkah konkrit guna penyelesaian kasus Tragedi Semanggi I dan kasus – kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya yang tak kunjung selesai hingga hari ini. Peristiwa Tragedi Semanggi I yang terjadi tepat pada hari ini, 13 November 1998, telah menewaskan 5 orang mahasiswa, diantaranya BR Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya; Engkus Kusnadi, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Terbuka; Sigit Prasetyo, mahasiswa Universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI); dan Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI). Peristiwa ini juga melukai sebanyak 253 orang lainnya.

Namun demikian, sudah 19 tahun Tragedi Semanggi I ini berlalu tetapi dalam perjalanannya praktik impunitas (kejahatan tanpa hukuman) tetap terjadi hingga hari ini. Hal tersebut menandakan gagalnya pemerintah dalam melaksanakan dan mengawal agenda keadilan transisi (transitional justice) dari rezim Orde Baru yang identik dengan otoritarianisme menuju pemerintahan yang demokratis pada era Reformasi. Beberapa fakta sebagai faktor yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal ini, yaitu ;

Pertama, mereka yang diduga kuat sebagai aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat masih duduk dan pemegang kekuasaan atau berada di lingkaran kekuasaan Pemerintahan. Salah satu contohnya adalah dengan diangkatnya Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Wiranto, berdasarkan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk dalam peristiwa Tragedi Semanggi I. Lebih lanjut, sejak menjabat sebagai Menkopolhukam, KontraS mencatat bahwa terdapat agenda terselubung yang dilakukan Wiranto untuk mencampuraduk penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu dengan tugasnya sebagai Menkopolhukam dengan mengusulkan pembentukan lembaga baru, Dewan Kerukunan Nasional (DKN). KontraS mencatat bahwa rencana pembentukan DKN merupakan upaya cuci tangan Wiranto mengingat rekam jejaknya  diduga kuat bertanggungjawab atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat masa lalu dengan penanganan konflik sosial (lihat Siaran Pers KontraS tanggal 18 Februari 2017, https://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2357)

Kedua, sosok Jaksa Agung yang seharusnya menjadi ujung tombak penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Tragedi Semanggi I, pada faktanya tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai  penegak hukum. Dengan latar belakangnya sebagai anggota partai politik, Jaksa Agung, AM Prasetyo seringkali memberikan komentar yang berada di luar peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti menyatakan bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat sedang diupayakan penyelesaiannya melalui jalur rekonsiliasi dengan mengundang beberapa lembaga negara terkait (Komnas HAM dan Kemenkopolhukam).

Ketiga, Komnas HAM  pada periode sebelumnya (2012-2107) telah gagal mendorong proses penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu termasuk Tragedi Semanggi I yang telah disimpulkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu dalam proses penyelidikan. Tidak adanya upaya inovatif dan kreatif oleh Komnas HAM, dan lemahnya kinerja  serta posisi Komnas HAM mengakibatkan peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu terus mengalami stagnansi dan ping-pong antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dalam penyelesaiannya.

Presiden Joko Widodo harus memenuhi janji politiknya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan, sebagaimana telah dituangkan secara eksplisit di dalam Nawa Cita. RPJMN 2014-2019 juga menyebutkan bahwa penyelesaian secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu, memerlukan konsensus nasional dimana Komisi melakukan proses pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan melalui serangkaian kegiatan, baik pengumpulan informasi langsung maupun dokumen untuk menyusun suatu laporan yang komprehensif, mengenai berbagai kekerasan dan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.

Penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia telah memiliki beberapa rujukan peraturan perundang-undangan yang seharusnya bisa digunakan untuk menyokong langkah-langkah politik dan hukum dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu: 1) Ketetapan MPR RI (TAP MPR RI) Nomor V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional; 2) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28I yang secara tegas memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia; 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan; 4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Beberapa peraturan perundang-undangan di atas merupakan instrumen hukum HAM nasional yang penting untuk digunakan secara strategis oleh negara dalam menghadirkan komitmen akuntabilitas atas praktik pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu.

Berdasarkan hal-hal tersebut, KontraS merekomendasikan beberapa poin sebagai agenda penuntasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Tragedi Semanggi I, yaitu :

  1. Presiden Joko Widodo untuk secara langsung mengambil langkah konkrit dalam penuntasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, salah satunya Tragedi Semanggi I.Hal ini termasuk memerintahkan Jaksa Agung guna melakukan upaya penyidikan terhadap sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu;
  2. Presiden Joko Widodo menghentikan segala macam bentuk upaya-upaya yang melenceng pada tujuan pemenuhan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, salah satunya menolak pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang diusulkan oleh Menkopolhukam, Wiranto untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;
  3. Presiden membentuk Komite Kepresidenan yang secara normatif telah disebutkan di dalam RPJMN 2014-2019 sebagai solusi untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk mempermudah Presiden dalam mengambil kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal ini, kami ingin menegaskan bahwa proses pembentukan Komite Kepresidenan harus bersifat terbuka dan partisipatif yang melibatkan figur-figur yang berintegritas, berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak kredibel pada isu kemanusiaan;
  4. Mendorong 7 (tujuh) orang Komisioner Komnas HAM yang baru dilantik untuk periode 2017-2022 agar mampu untuk mengambil langkah-langkah konkrit, inovatif dan akuntabel sesuai parameter keadilan korban. Komnas HAM ke depan harus mengambil langkah yang tepat dan strategis agar penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Tragedi Semanggi I tidak berjalan di tempat dan tidak memberi celah bagi Jaksa Agung untuk menghindari proses penyidikan kasus Semanggi I.

 

 

Narahubung :

Farhan Mufti 08116904440