Penanganan Wabah Difteri Harus Belajar dari Kasus Vaksin Palsu

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menaruh perhatian pada pemenuhan hak asasi manusia di sektor kesehatan.sebab kami menilai bahwa pemenuhan hak atas kesehatan menjadi salah satu kunci penting untuk pemenuhan hak-hak lainnya. Hal ini mengingat pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasional.

Di sektor kesehatan, belakangan sedang ramai penyakit difteri yang mewabah. Berdasarkan berita dari Kompas (4/12/2017), wabah difteri telah tersebar di 19 Provinsi di Indonesia. Difteri adalah penyakit menular yang dapat tersebar melalui udara pernafasan, juga dari tenggorokan melalui batuk dan bersin. Penyakit ini biasanya menyerang amandel, faring, laring dan kadang-kadang kulit. Gejala berkisar dari tenggorokan yang cukup sakit sampai difteri mengancam jiwa dari laring atau saluran pernafasan bagian bawah dan atas. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan bahwa jumlah kematian akibat Difteri meningkat hingga 502 kasus. Berdasarkan laporan yang diterima oleh Kemenkes, di tahun 2017 ada 591 kasus terlapor dan persentase meninggal 6 persen[1]. Sejak November 2017, Kementerian juga sudah menyatakan difteri sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sebagaimana Permenkes RI No. 1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu.

Melalui rilis ini, KontraS ingin memberikan catatan agar pelayanan maupun penanggulangan terhadap pasien yang terjangkit difteri dapat dilakukan dengan maksimal berdasarkan kerangka hak asasi manusia. Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, sifat dari pemenuhan, pertanggungjawaban, relasi-relasi antar hak adalah menjadi perwujudan untuk mendorong negara memberikan akses dan jaminan yang kuat terhadap agenda perlindungan kelompok-kelompok masyarakat. Belajar dari kasus vaksin palsu yang terjadi pada 2016, dalam penanganan wabah difteri haruslah maksimal dan dalam jangka panjang harus dilakukan penanggulangannya secara komprehensif, juga mengedepankan prinsip nondiskriminasi.

 

Berkenaan dengan kondisi di atas, KontraS merekomendasikan beberapa hal kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di antaranya:

  1. Jangka pendek, Memastikan ketersediaan vaksin anti-difteri agar pasien yang terduga/terpapar difteri dapat segera ditanggulangi.  Keberadaan fasilitas kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat, pelayanan dilakukan tanpa diskriminasi, dan memastikan kualitas vaksin adalah yang terbaik sesuai dengan Komentar Umum 14 Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang mencakup ketersediaan (availability), keteraksesan (accessability), keberterimaan (acceptability) dan kualitas (quality).
  2. Jangka menengah, Menindaklanjuti pemetaan yang telah dibuat oleh Kementerian Kesehatan terkait dengan penyebaran difteri harus ditindaklanjuti dengan mengenali pola penyebab terjadinya difteri dan model penyebarannya agar dapat ditemui akar masalahnya. Serta, membangun kerja sama antar lembaga negara yang bertugas untuk mensosialisasikan kewajiban vaksin secara komprehensif.
  3. Jangka panjang, proses perumusan dan implementasi strategi kesehatan nasional harus mengedepankan prinsip nondiskriminasi dan partisipasi masyarakat. Secara khusus, hak individu dan kelompok untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut dapat dimaksudkan sebagai upaya negara dalam memastikan kewajiban negara dapat berjalan dengan lancar.