TAP-HAM AJUKAN PRAPERADILAN ATAS TINDAKAN KEKERASAN DAN IMPUNITAS POLISI

Hari ini (3/1) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Ciliwung Merdeka mengajukan permohonan praperadilan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan (Kapolres Jakarta Selatan) dalam kasus pengeroyokan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap Alldo Fellix Januardy ketika terjadi penggusuran paksa di Bukit Duri pada 12 Januari 2016.

Alldo merupakan Pengacara Publik LBH Jakarta yang menjadi kuasa hukum warga Bukit Duri. Ketika terjadi penggusuran paksa Alldo meminta agar pihak Kepolisian dan Satpol PP menghormati proses hukum yang sedang ditempuh warga Bukit Duri berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan upaya negosiasi di Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta. Bukannya menghentikan penggusuran untuk menghormati hukum, tiba-tiba 5 (lima) orang anggota Satpol PP dan polisi melakukan pengeroyokan terhadap Alldo dengan cara menarik, mencekik, serta memukul Alldo. Tidak hanya itu, Alldo juga dijatuhkan ke tanah dan ditarik paksa sejauh kurang lebih 20 (dua puluh) meter dengan disaksikan oleh banyak orang. Akibatnya Alldo menderita memar-memar pada tubuh, kacamatanya dan telepon genggamnya pecah. Alldo juga diancam akan ditangkap jika menghalangi proses penggusuran yang tengah terjadi pada waktu itu. Ada banyak foto yang beredar di internet mengabadikan kejadian tersebut.

Alldo kemudian melaporkan para anggota Satpol PP dan anggota Kepolisian tersebut pada hari itu juga dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dan diterima dengan Laporan Polisi Nomor LP/146/I/2016/PMJ/Ditreskrimum tanggal 12 Januari 2016 setelah sebelumnya dilakukan visum. Laporan polisi tersebut kemudian dilimpahkan ke Polres Jakarta Selatan namun mengalami penundaan yang tidak semestinya (undue delay). Saksi-saksi sudah diperiksa dan bukti-bukti sudah diberikan kepada penyidik namun hingga Desember 2016 perkara masih jalan di tempat dan pelaku tak kunjung ditangkap. Bahkan Alldo ditawarkan untuk berdamai dengan sejumlah uang agar mencabut laporan polisi.

LBH Jakarta berkali-kali menyurati Kapolres Jakarta Selatan untuk meminta perkembangan perkara hingga akhirnya pada 28 Agustus Alldo menerima Surat Ketetapan tentang Penghentian Penyidikan dari Kapolres Jakarta Selatan, namun surat tersebut tertanggal 8 Mei 2017 (4 bulan sebelumnya) dengan alasan penghentian yang tidak jelas, padahal bukti-bukti sudah terang benderang untuk menunjukkan siapa pelakunya.

Kepolisian lagi-lagi melakukan kekerasan terhadap para advokat, pengacara publik sekaligus Pembela HAM yang seharusnya mendapatkan penghormatan dan perlindungan secara hukum dalam menjalankan tugasnya yang dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Tindakan-tindakan kekerasan ini haruslah dikutuk karena merupakan cara-cara barbar yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam kerangka negara demokrasi. Sepanjang apa yang dilakukan oleh pengacara publik/advokat/pembela HAM tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak boleh ada ancaman, apalagi kekerasan secara fisik. Hal itu secara jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berulang kali menyebutkan bahwa Kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Lebih dari itu, tindakan SP3 oleh Kapolres Jakarta Selatan adalah bentuk impunitas terhadap para pelanggar HAM. Kepolisian otomatis menambah daftar panjang “dosa-dosa” pelanggaran HAM yang telah dibuatnya terutama terhadap rakyat yang “melawan” kekuasaan yang menindas dengan cara-cara damai. Kapolres Jakarta Selatan juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan karena melakukan penghentian penyidikan (SP3) tanpa alasan yang jelas. TAP-HAM dalam kasus ini mendudukkan Kapolda Metro Jaya sebagai Turut Termohon Praperadilan I dan Kapolri sebagai Turut Termohon Praperadilan II.

Melalui permohonan praperadilan ini, Tim Advokasi Pembela Hak Asasi Manusia (TAP-HAM) meminta agar:

  1. Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk menyatakan penghentian penyidikan tidak sah;
  2. Majelis Hakim memerintahkan Polda Metro Jaya untuk melanjutkan penyidikan karena penyidikan selama ini tertunda tanpa alasan yang jelas;
  3. Mendesak Polda Metro Jaya dapat melakukan proses hukum secara obyektif dan transparan.
  4. Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi Pembela HAM dan menghormati Pengacara Publik/Advokat dalam menjalankan tugas;

Hormat kami,
Jakarta, 3 Januari 2018
TIM ADVOKASI PEMBELA HAM (TAP-HAM)
(LBH Jakarta, YLBHI, Kontras, Ciliwung Merdeka)